26 Agustus 2020

DUDUK ISTIRAHAT BID’AH?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِلرَّحِيمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه و تعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. 

Ada beberapa hal yang menarik yang saya temui dalam permasalahan tentang khilafiah. Secara umum tidak mungkin saya mengungguli hujjah para ulama salaf atau menyamai atau bahkan jauh di bawah itu. Saya meyakini masing-masing para ulama salaf tidak menerima dalil secara lengkap untuk berhujjah dikarenakan kondisi saat itu dengan minimnya literatur yang tersedia, bahkan untuk mencari satu hadits, mereka harus menempuh perjalanan dengan kaki atau berkendaraan hingga berbulan-bulan lamanya. Wajarlah jika ditemui satu ulama berbeda dalam beristidlal dengan ulama lain bahkan hingga bertolak belakang dalam menghukumi sesuatu. Itulah realita yang terjadi dan itulah fatwa-fatwa emas mereka di zamannya. Demikian halnya, maka saya juga berkeyakinan bahwa para ulama salaf tidak mungkin berkhianat dengan menyembunyikan satu atau beberapa hadits demi memperkuat pendapatnya dalam pembenaran satu hukum.
Dalam khilafiah ada beberapa hukum yang memang sudah tidak bisa melulu berpedoman dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh ulama-ulama terdahulu. Maka untuk itu saya menawarkan beberapa terobosan dalam mensyarahkan hukum Islam dengan tidak mengesampingkan pendapat para ulama terdahulu. Dan semoga ini merupakan titik langkah awal untuk para intelektual muslim terutama yang masih muda agar termotivasi mengeksplor dan meneliti pendapat para ulama terdahulu dan mengembangkan ide-ide terbaiknya untuk kesempurnaan hukum Islam.

Hal ini bukanlah tidak berdasar, dengan mengacu hadits berikut:

سنن أبي داوود ٣٧٤٠: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ شَرَاحِيلَ بْنِ يَزِيدَ الْمُعَافِرِيِّ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِيمَا أَعْلَمُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

Sunan Abu Daud 3.740: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud Al Mahri berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb berkata, telah mengabarkan kepadaku Sa'id bin Abu Ayyub dari Syarahil bin Yazid Al Mu'arifi dari Abu Alqamah dari Abu Hurairah yang aku tahu hadits itu dari Rasulullah , beliau bersabda:
"Setiap seratus tahun Allah mengutus kepada umat ini seseorang yang akan memperbaharui agama ini (dari penyimpangan)."

Begitu juga dengan hadits berikut:

صحيح البخاري ٦٥٥١: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا قُرَّةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ سِيرِينَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ وَعَنْ رَجُلٍ آخَرَ هُوَ أَفْضَلُ فِي نَفْسِي مِنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
..... قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّهُ رُبَّ مُبَلِّغٍ يُبَلِّغُهُ لِمَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ .....

Shahih Bukhari 6551: Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya telah menceritakan kepada kami Qurrah bin Khalid telah menceritakan kepada kami Ibnu Sirin dari Abdurrahman bin Abi Bakrah dari Abu Bakrah dan dari seorang lainnya yang dia lebih utama menurutku daripada Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari Abu Bakrah
..... Nabi  bersabda: "Ya Allah, saksikanlah, hendaklah yang hadir menyampaikan berita ini kepada yang tidak hadir, berapa banyak orang yang menyampaikan berita kepada orang yang lebih paham" ....

Saya sengaja membedah masalah ini dengan mengacu kitab ”Ashlu Sifat Shalat Nabiy” oleh syaikh Nashiruddin Al-Albani yang sangat fenomenal. Dalam judul sengaja saya tulis duduk istirahat sebagaimana dalam kitab ini karena lebih masyhur di kalangan ulama dari pada duduk tegak (اسْتَوَى قَاعِدًا), tetapi saya lebih mengedepankan yang sesuai dengan hadits karena pasti terjamin kebenarannya. Beliau mensyarahkan masalah ini sangat panjang lebar dan begitu detil, sayangnya dalam hal ini dalil yang dipakai penekanan hukum banyak bersifat umum yang justru membiaskan kebenaran. Saya mendasari kaidah dalam shalat bahwa semua duduk itu ditakbiri, karena termasuk salah satu tertibnya gerakan dalam shalat.

Pokok permasalahannya:

1. Apakah duduk tegak setelah sujud kedua pada rakaat ganjil itu disyariatkan?
2. Jika disyariatkan, apakah pada shalat fardhu atau shalat sunnah atau kedua-duanya?
3. Jika tidak disyariatkan pada shalat fardhu dan dilakukan padanya, apakah ini merupakan bid’ah
 
Pembahasan:

Hadits I

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ كَانَ مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ يَأْتِينَا فَيَقُولُ
أَلَا أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلِّي فِي غَيْرِ وَقْتِ الصَّلَاةِ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ فِي أَوَّلِ الرَّكْعَةِ اسْتَوَى قَاعِدًا ثُمَّ قَامَ فَاعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyar dia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahhab dia berkata; telah menceritakan kepada kami Khalid dari Abu Qilabah dia berkata;
bahwa Malik bin Huwairits datang kepada kami lalu berkata, “Maukah kalian saya beritahukan tentang shalat Rasulullah ? Beliau suatu kali mengerjakan shalat di luar waktu shalat. Apabila beliau mengangkat kepalanya dari sujud kedua pada rakaat pertama, beliau duduk tegak, kemudian bangkit berdiri dan bertelekan di atas tanah dengan kedua tangannya.”
Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i di dalam al-Umm (1/101), an-Nasa’i (1/1730). al-Baihaqi (2/124 dan 135) dari sanad Abdul Wahhab bin Abdul Majid ats-Tsaqafi dari Khalid al-Hadzdza’ dari Abu Qilabah dia berkata: Malik bin al-Huwairits pernah mengatakan: ........... sanad hadits ini sahih sesuai dengan kriteria asy-Syaikhain.  (Sifat Shalat Nabi; oleh syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

Hadits II

Hadits ini memiliki mutaba’ah berikut

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالَ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ قَالَ أَخْبَرَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ اللَّيْثِيُّ
أَلَا أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِأَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَإِذَا كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلَاتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabah berkata, telah mengabarkan kepada kami Husyaim berkata, telah mengabarkan kepada kami Khalid Al Hadzdza' dari Abu Qilabah berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik bin Al Huwairits AL Laitsi,
“Bahwa ia telah melihat Rasulullah  mengerjakan shalat. Apabila beliau berada pada rakaat yang ganjil, beliau tidak segera bangkit sebelum duduk tegak terlebih dahulu.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/240), Abu Daud (1/134), an-Nasa’i, at-Tirmidzi (2/79), ad-Daruquthni (hadits no. 132), juga ath-Thahawi dan al-Baihaqi. at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni mensahihkannya. (Sifat Shalat Nabi oleh syaikh  Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

Hadits III

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ قَالَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ
جَاءَنَا مَالِكُ بْنُحَدَّثَنَاجَاءَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ فَصَلَّى بِنَا فِي مَسْجِدِنَا هَذَا فَقَالَ إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيدُ الصَّلَاةَ وَلَكِنْ أُرِيدُ أَنْ أُرِيَكُمْ كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَالَ أَيُّوبُ فَقُلْتُ لِأَبِي قِلَابَةَ وَكَيْفَ كَانَتْ صَلَاتُهُ قَالَ مِثْلَ صَلَاةِ شَيْخِنَا هَذَا يَعْنِي عَمْرَو بْنَ سَلِمَةَ قَالَ أَيُّوبُ وَكَانَ ذَلِكَ الشَّيْخُ يُتِمُّ التَّكْبِيرَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنْ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ قَامَ

Telah menceritakan kepada kami Mu'allaa bin Asad berkata, telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Ayyub dari Abu Qilabah berkata,
“Malik bin al-Huwairits shalat mengimami kami dan shalat di masjid kami ini, dia berkata, ‘Aku akan shalat mengimami kalian dan tidaklah aku bermaksud shalat (yang biasanya), akan tetapi aku bermaksud memperlihatkan kepada kalian bagaimana aku melihat Nabi  shalat’.” 
Ayyub berkata, “Aku berkata kepada Abu Qilabah, bagaimanakah shalat beliau?” Dia menjawab, “Sama seperti syaikh kita ini -yakni Amr bin Salamah-.” Ayyub berkata, “Adapun syaikh tersebut menyempurnakan takbir. Apabila mengangkat kepalanya dari sujud kedua, dia duduk dan bertumpu di atas tanah kemudian berdiri.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh al- Bukhari di dalam sahihnya (2/241) dan juga al-Baihaqi (2/132).  (Sifat Shalat Nabi oleh syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

Hadits IV

Jalan ini diperkuat dengan mutaba’ah dari Hammad bin Zaid dari Ayyub dengan lafaz:


كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ الْأُولَى وَالثَّالِثَةِ الَّتِي لاَ يَقْعُدُ فِيهَا، اسْتَوَى قَاعِدًا، ثُمَّ قَامَ.

“Apabila beliau bangkit dari rakaat pertama dan ketiga yang mana tidak dilakukan duduk tasyahud, beliau duduk tegak, kemudian bangkit berdiri.”
Diriwayatkan oleh ath-Thahawi (2/405) dan Ahmad (5/53-54). Hadits ini juga sahih sesuai dengan kriteria al-Bukhari dan Muslim. (Sifat Shalat Nabi oleh syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

JALUR PEPERIWAYATAN HADITS DUDUK ISTIRAHAT


Perhatikan jalur periwayatan dari hadits-hadits di atas, terlihat bahwa ini adalah kabar ahad dua tingkat awal yaitu dari Malik bin Huwairits ke Abu Qilabah dan seterusnya. Jadi orang yang meriwayatkan sesudahnya tentu tidak boleh keluar dari konteks awal yaitu shalat sunnah ‎(seperti dimaksud oleh Malik bin Huwairits). Jika hadits-hadits di atas dimaknai parsial dan berdiri sendiri, maka akan kehilangan kaidah hukum yang sebenarnya.
Terbukti, para ulama menerima hadits berlainan, hingganya mereka beristidlal berdasarkan dalil yang dimiliki. Di mana ulama yang menerima hadits yang terbanyak sangat dimungkinkan menghasilkan hujjah mendekati kesempurnaan.
Makna mutaba’ah adalah hadits yang para rawinya ikut serta meriwayatkan suatu hadits gharib, dari segi lafaz dan makna, atau maknanya saja, dari seorang shahabat yang sama.
Hadits gharib (غارب = asing, tidak dikenal, jarang didapat) adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat secara sendirian di mana saja ia berada.
Jadi ke-empat riwayat di atas dan hadits semakna yang hanya diriwayatkan oleh Malik bin Huwairits ke Abu Qilabah dan seterusnya, adalah hadits gharib mutlaq.

Pada hadits gharib terdapat unsur kesendirian dalam periwayatannya dengan melihat unsur kekhususan yang ada padanya.


Dari hadits I adalah muqayyad (ada batasan) yaitu pada:

a. Shalat di luar waktu shalat yang menandakan bahwa ini adalah shalat sunnah‎, karena Rasulullah ﷺ selalu shalat fardhu di awal waktu. Pada Fathul Baari terdapat penjelasan bahwa shalat sunnah ‎pada waktu yang tidak dilarang.
b. Mengangkat kepala pada sujud kedua pada rakaat pertama, beliau duduk tegak. Di sini menandakan disyariatkan duduk tegak setelah sujud kedua pada rakaat pertama. 

Dari hadits II adalah bersifat muqayyad karena ganjil berarti 1, 3, 5, 7, 9 dan seterusnya, juga bermakna hanya ada pada rakaat ganjil saja. 

Dari hadits III adalah muqayyad, lihat pada kitab Fathul Baari pada:

1.    Bab 140. Diam Di Antara Dua Sujud, hadits no. 818 disebutkan bahwa pada selain waktu shalat
2. Bab 143. Bagaimana Bertumpu Di Atas Tanah Apabila Berdiri Dari Satu Rakaat hadits no. 824 disebutkan bahwa tidaklah aku bermaksud shalat (yang biasanya)

Dari dua hadits ini menjelaskan bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat sunnah.
Dalam hadits Malik bin Huwairits III dan hadits Fathul Baari no. 824 disyariatkan menyempurnakan takbir, yang dimaksud menyempurnakan takbir adalah menyelesaikan bacaan takbir di antara akhir gerakkan sebelumnya hingga awal gerakkan yang berikutnya (takbir intiqal). Pergerakan dari sujud ke dua lalu duduk tegak lalu berdiri adalah dua gerakkan yang masing-masing gerakan ditakbiri (perhatikan penjelasan hadits Abu Humaidi (I) pada poin ke 2 dan ke 3 di bawah).

Dari hadits IV adalah muqayyad pada:

1. Rakaat pertama dan ketiga yang berarti shalat empat rakaat karena pada akhir hadits ada penjelasan kemudian bangkit berdiri.
2. Yang mana tidak dilakukan duduk tasyahud yang berarti tidak ada tasyahud awal bukan tasyahud akhir, karena tasyahud akhir hukumnya rukun. Hal tersebut menjelaskan bahwa ini adalah shalat sunnah‎ karena sengaja meniadakan/ meninggalkan tasyahud awal. Jika hadits ini dimaknai shalat fardhu, maka akan menyelisihi hadits yang lebih rajih bahwa Rasulullah ﷺ selalu duduk tasyahud awal pada rakaat ke dua atau melakukan sujud sahwi ketika terlupa pada shalat fardhu 3 dan 4 rakaat.

Dari keempat hadits gharib di atas didapat kekhususan bahwa:

a. Shalat ini adalah shalat sunnah  empat rakaat
b. Adanya duduk tegak setelah sujud kedua pada rakaat pertama dan ketiga
c. Adanya takbir intiqal antara sujud kedua hingga duduk tegak
d. Tidak adanya tasyahud awal (pada rakaat kedua)

Perselisihan ke-ghariban hadits Malik bin Huwairits terhadap hadits-hadits shahih yang lain dikompromikan sebagai suatu amalan sunnah ‎oleh beberapa ulama mujtahid. Perhatikan hadits Malik yang ke IV, jika ini dipahami shalat fardhu terdapat hukum nasakh pada tasyahud awal. Hadits ini tidak mungkin dikompromikan, karena secara tegas menyebutkan “yang mana tidak dilakukan duduk tasyahud” yang berarti menghapus adanya duduk tasyahud (awal). Juga suatu yang mustahil bila amalan sunnah‎ pada shalat fardhu berjamaah yang dilakukan lima kali dalam sehari semalam tersembunyi dari para shahabat‎ dan tidak satu pun shahabat‎ yang meriwayatkan. Padahal gerakkan ini jika ada pada shalat fardhu, pasti terlihat oleh shahabat‎ karena gerakannya besar dan nyata juga tentunya sering dilakukan karena kepatuhan para shahabat‎ dan untuk menjaga sunnah Nabi . Ternyata hingga sekarang tidak ditemukan hadits yang menyatakan adanya duduk tegak pada shalat fardhu, yang ada justru atsar yang menyangkal atau mengingkari. Bandingkan dengan gerakkan jenggot Rasulullah ﷺ ketika membaca doa iftitah juga gerakan  jari telunjuk ketika tasyahud yang tersembunyi dari mayoritas para shahabat‎ ketika shalat, yang seperti ini saja diriwayatkan. Dan Rasulullah ﷺ telah bersabda bahwa tidak ada lagi amalan sekecil apa pun yang menghantarkan manusia ke surga yang belum beliau sampaikan hingga akhir hayat.

Duduk tegak ini diperkuat dengan hadits Abu Humaid رضي الله عنه ....(I):

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ ححَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهَذَا حَدِيثُ أَحْمَدَ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حُمَيْدٍ السَّاعِدِيَّ فِي عَشْرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو قَتَادَةَ قَالَ أَبُو حُمَيْدٍ
أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا فَلِمَ فَوَاللَّهِ مَا كُنْتَ بِأَكْثَرِنَا لَهُ تَبَعًا وَلَا أَقْدَمِنَا لَهُ صُحْبَةً قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حَتَّى يَقِرَّ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يَرْكَعُ وَيَضَعُ رَاحَتَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَعْتَدِلُ فَلَا يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلَا يُقْنِعُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَهْوِي إِلَى الْأَرْضِ فَيُجَافِي يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا وَيَفْتَحُ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ إِذَا سَجَدَ وَيَسْجُدُ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ يَصْنَعُ فِي الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ إِذَا قَامَ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا كَبَّرَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي بَقِيَّةِ صَلَاتِهِ حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ قَالُوا صَدَقْتَ هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim adalah Dlahak bin Makhlad dan telah di riwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dan ini adalah hadits (riwayat) Ahmad, dia berkata; telah mengabarkan kepada kami Abdul Hamid yaitu Ibnu Ja'far telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Umar bin 'Atha` dia berkata; saya mendengar Abu Humaid As Sa'idi berkata di tengah-tengah sepuluh sahabat Rasulullah  di antaranya adalah Abu Qatadah, Abu Humaid berkata;
“Saya adalah orang yang paling mengetahui di antara kalian perihal shalat Rasulullah . Mereka bertanya, “Bagaimana bisa? Demi Allah! Sesungguhnya anda tidak lebih sering mengikuti beliau  dari pada kami, dan tidak lebih dahulu menemani -menjadi shahabat- beliau ”, Abu Humaid berkata, “Benar demikian”. Mereka berkata, “Sampaikanlah”. Abu Humaid berkata, “Apabila Rasulullah  berdiri mengerjakan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar bahunya. Lalu bertakbir hingga setiap ruas tulang berada pada tempatnya masing-masing. Kemudian, beliau memulai membaca bacaan shalat. Kemudian beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya. Kemudian, beliau ruku’ dan meletakkan kedua telapak tangannya pada dua lututnya. Beliau melakukannya hingga i’tidal (sejajar), dan beliau tidak menekuk kepalanya dan tidak pula menengadahkannya. Kemudian, beliau mengangkat kepalanya dan mengucapkan: ((Sami’allahu liman hamidah)). Lalu, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar lurus dengan kedua bahunya. Lalu, beliau mengucapkan: ((Allaahu Akbar)). Kemudian, beliau turun menuju ke tanah, dan beliau merentangkan kedua tangannya di sampingnya, kemudian beliau mengangkat kepalanya, dan menyilangkan kaki kirinya dan duduk di  atasnya. Dan, beliau membuka jari-jari kakinya sewaktu sujud, kemudian sujud. Lalu, beliau mengucapkan: ((Allahu Akbar)), kemudian beliau bangun dan melipat kaki kirinya dan  duduk di atasnya hingga masing-masing tulang kembali ke ruas persendiannya. Kemudian beliau melakukan hal yang serupa pada rakaat yang kedua. Selanjutnya, apabila beliau hendak berdiri dari rakaat yang kedua, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya, seperti takbir beliau pada takbir iftitah -di awal shalat-. Kemudian beliau melakukan hal yang serupa pada sisa shalat beliauHingga pada saat duduk setelah sujud di mana beliau mengucapkan salam, beliau mengakhirkan kaki kirinya, dan duduk tawaruk di atas kaki kirinya.” Mereka berkata, “Engkau benar, demikian beliau  mengerjakan shalat.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam juz-nya (5), Abu Daud, dan lafaz ini adalah lafaz Abu Daud. Diriwayatkan pula oleh selain mereka berdua. (Sifat Shalat Nabi; jilid 2; hal: 251-252)
(Referensi Hadits: 9 Kitab Imam Lidwa Pustaka: Musnad Ahmad 22.493; Sunan Abu Daud 627; Sunan Ibnu Majah 1.051; Sunan Tarmidzi 280; Sunan Darimi 1.322 [Catatan: tidak ada di Shahih Bukhari])

Keterangan Hadits:

Abdul Hamid bin Ja’far dari Muhammad bin Amr bin Atha’ dalam riwayat Ashim dari Abdul Hamid yang diriwayatkan Abu Daud dan lainnya disebutkan (Aku mendengar Abu Humaid [berada] pada sepuluh [orang shahabat]). Dalam riwayat Husyaim dari Abdul Hamid yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur disebutkan (Aku melihat Abu Humaid bersama sepuluh [orang shahabat]) .

Pada sebagian jalur periwayatannya disebutkan nama Abu Qatadah di antara para shahabat, sementara Abu Qatadah telah meninggal pada masa Muhammad bin Amr bin Atha’ masih kecil sehingga ia tidak hidup semasa dengan Abu Qatadah. Ibnu Al Qaththan mengklaim -mengikuti ath-Thahawi- bahwa hadits tersebut terputus (ghairu muttashil) karena hal ini. Tapi hal ini bisa dibantah dengan kaidah hukum “KAPAN DIPERBOLEHKAN MENDENGAR PENDAPAT ANAK KECIL” pada hadits Ibnu Abbas masalah sutrah (Fathul Baari 1 bab 18). Sementara dalam riwayat Isa bin Abdullah bin Malik memasukkan Abbas bin Sahal sebagai sanad guru Muhammad bin Amr bin Atha’ hingga riwayat bersambung kepada Abu Humaidi. Bila dipahami bahwa Muhammad bin Amr bin ‘Atha meriwayatkan setelah beliau baligh dan ketika berguru dengan Abbas bin Sahal dan tidak adanya penyangkalan, maka hal ini akan memperkuat sanad hadits ini  

Dari hadits Abu Humaid ini bisa kita ambil pelajaran bahwa:

1. Abu Humaidi رضي الله عنه sebagai shahabat yunior tidak mungkin bersifat sombong di hadapan shahabat yang lebih senior darinya, karena saya yakin bahwa Abu Humaidi telah paham betul risalah Islam telah sempurna sebagaimana QS: Al-Maa’idah [5]: 3, termasuk shalat. Jika ini dipahami shalat fardhu, maka apabila ada amalan yang berbeda atau terlewatkan akan merusak tata cara shalat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah , karena waktu itu Nabi  sudah tidak ada lagi (wafat). Jika ini dipahami shalat sunnah adalah wajar, karena shalat sunnah yang beliau  kerjakan mayoritas di rumah, sehingga hal-hal yang demikian tersembunyi dari para shahabat yang lain.  

2. Dari hadits di atas, setelah sujud kedua tertulis: “Lalu, beliau mengucapkan: ((Allahu Akbar)), kemudian beliau bangun ....”, ini menjelaskan bahwa beliau menyelesaikan bacaan takbir antara setelah sujud kedua hingga awal duduk tegak, hal ini mempertegas makna menyempurnakan takbir seperti yang tercantum dalam hadits ke III Malik bin Huwairits رضي الله عنه. Jika duduk tegak ini dipahami hukumnya sunnah ‎sebagaimana menurut sebagian ulama, yang artinya boleh dilakukan atau boleh ditinggalkan. Dan jika ini dilakukan pada shalat fardhu berjamaah, maka akan terjadi kerancuan antara imam dan makmum, karena begitu imam menyelesaikan takbir lalu duduk tegak sementara makmum yang tidak melakukan duduk tegak (karena tidak tahu, musafir, orang buta dan terutama yang berpaham tidak disunnahkan), maka akan langsung berdiri, sementara makmum dilarang mendahului gerakkan imam.

Hadits ini menabrak hadits dari Abu Hurairah sebagai berikut :

حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ أَوْ لَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍأْسَ حِمَارٍ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ


Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin Ziyad, Aku mendengar Abu Hurairah رضي الله عنه

dari Nabi  bersabda: “Adakah salah seorang di antara kamu merasa takut atau apakah salah seorang di antara kamu tidak merasa takutapabila ia mengangkat kepalanya sebelum imam, maka Allah akan menjadikan kepalanya seperti keledai, atau Allah menjadikan bentuknya seperti bentuk keledai.” (HR. Bukhari 650).

Mengapa dasar hukum ini menetapkan pada mengangkat kepala sebagai sandaran hukum, padahal makmum jelas-jelas tidak melihat gerakkan imam? Di sinilah letak ketelitian seseorang dalam memahami kaidah hukum fiqh. Ternyata lafaz takbir tidak hanya sebagai peng-agungan Asma Allah semata dalam shalat tetapi juga sebagai komando gerakkan makmum. 

Perhatikan seksama hadits yang berkenaan dengan takbir di bawah:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ أَخْبَرَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ

صَلَّيْتُ خَلْفَ شَيْخٍ بِمَكَّةَ فَكَبَّرَ ثِنْتَيْنِ وَعِشْرِينَ تَكْبِيرَةً فَقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّهُ أَحْمَقُ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah mengabarkan kepada kami Hammam dari Qatadah dari 'Ikrimah berkata,
”Aku shalat bermakmum kepada seorang syaikh di Makkah, ia bertakbir sebanyak dua puluh dua kali. Aku berkata kepada Ibnu Abbas, ‘sesungguhnya ia adalah orang dungu’. Ibnu Abbas berkata, ‘Engkau kehilangan ibumu, itu sunnah Abu Qasim ’”.
(HR. Bukhari 746; Fathul Baari 788, hadits serupa pada no. 787) Pada riwayat lain ada tambahan pada shalat Zuhur.

‘Ikrimah dalam hal ini adalah ‘Ikrimah Maula Ibn Abbas seorang tabi’in, karena ‘Ikrimah bin Jahal yang seorang shahabat telah syahid dalam perang Yarmuk ketika Rasulullah  masih hidup. ‘Ikrimah mengatakan, seorang syaikh dungu karena menganggap ia lebih tahu dari syaikh dan jumlah takbirnya hanya sedikit (22X), jika banyak maka secara etika ia akan menanyakan takbir yang selebihnya. Dalam hal ini seorang tabi’in dihardik (celaan yang keras) oleh seorang shahabat dengan kata: “Engkau kehilangan ibumu”. 
Kenapa untuk menyampaikan jumlah takbir sebanyak 22 kali harus dengan skenario seorang syaikh dikatakan dungu oleh seorang tabi’in yang kemudian tabi’in dicela dengan keras oleh seorang shahabat? Pastinya ada kaidah hukum lain yang tersembunyi.
Sebetulnya takbir manakah yang diingkari oleh ‘Ikrimah? Mari kita pahami!
Kaidah hukum secara normal berlaku umum (amm), baik yang normal maupun yang punya keterbatasan. Takbir akan berimplikasi pada gerakkan shalat. Kejadian ini pada shalat Zuhur yang bacaannya sirri, sehingga hanya bacaan takbir (juga Sami’allahu liman hamidah dan salam -pen) yang diperdengarkan. Jika imam takbirnya kurang dari 22 kali berarti ada gerakan shalat yang kurang, adakah hal itu? Jika ada gerakkan yang ditakbiri kurang dari 22 kali, maka makmum bertasbih pada gerakkan yang salah/tertinggal. Anggap imam tidak bertakbir ketika bangun dari tasyahud awal, maka makmum akan kacau dengan berdiri tidak serempak. Bagaimana dengan orang yang buta? Bagi yang bisa melihat saja terjadi kekacauan apalagi untuk orang buta. Berarti ada shalat empat rakaat yang takbirnya lebih dari 22 kali. Jika takbirnya lebih dari 22 kali, berarti ada gerakkan lain yang perlu ditakbiri dalam shalat. Gerakkan apakah itu? Apakah mengangkat tangan ketika doa Qunut, ataukah sujud tilawah atau sujud sahwi? Ternyata tidak, karena doa Qunut tidak ditakbiri. Setelah Al-Faatihah, bacaan ayat Sajjadah yang dibaca imam ketika shalat sirri tidak terdengar oleh makmum, jika imam sujud pasti makmum akan bertasbih karena dianggap imam lalai atau salah. Pada sujud sahwi karena tertinggalnya tasyahud awal, maka makmum yang normal akan bertasbih mengingatkan imam sehingga makmum yang buta pun bisa memahami kejadian ini. Sedangkan dalam hadits ini tidak ada keterangan akan adanya sesuatu hal pada gerakkan shalat yang ditakbiri. Jadi takbir yang mana ? 

Perhatikan hadits Malik bin Huwairits رضي الله عنه ke III pada kata menyempurnakan takbir dan hadits Abu Humaidi رضي الله عنه (I) pada kata ...... ((Alahu Akbar)), kemudian ......” ini menunjukkan adanya takbir intiqal antara setelah sujud ke dua hingga duduk tegak sebagaimana telah diterangkan di atas. Dalam hadits Bukhari 742 dan 743 (atau Fathul Baari: 784 dan 785), disebutkan bahwa: “bertakbir setiap kali merunduk (turun) dan bangkit”. Jadi di sini, setelah sujud kedua pada rakaat pertama dan ke tiga hingga bangun berdiri terdapat dua takbir, dan takbir intiqal yang lain yaitu ketika akan bangun berdiri dari duduk tegak. Jadi dimanakah takbir yang selebihnya? Yaitu ketika bangun dari sujud kedua lalu duduk tegak yang hanya ada pada rakaat pertama dan ketiga pada shalat sunnah empat rakaat satu tasyahud.

3. Lalu, beliau mengucapkan: ((Allahu Akbar)), kemudian beliau bangun dan melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya hingga masing-masing tulang kembali ke ruas persendiannya. Di sini digambarkan bahwa disyariatkan duduk tegak yang cukup, sebagaimana duduk antara dua sujud. Kata “kemudian” bermakna menyelesaikan takbir ketika akan duduk tegak.

4. Selanjutnya, apabila beliau hendak berdiri dari rakaat yang kedua (rakaat kedua ke rakaat ketiga), beliau bertakbir dan mengangkat ........, jika ini dipahami shalat fardhu ada amalan yang tertinggal yaitu tasyahud awal. Mengapa tidak satu pun di antara sepuluh shahabat yang mengingatkan atau mengingkari? Lupa semuanya? Dengan adanya duduk tegak, maka tasyahud awal pun tidak ada (sebagaimana hadits Malik bin Huwairits IV). Juga tertulis melakukan hal yang serupa pada sisa shalat beliau sebagimana juga dikatakan melakukan hal yang serupa pada rakaat yang kedua yang artinya membaca Al-Faatihah dan surah dalam Al Qur’an pada raka’at ke tiga dan ke empat, sedang pada shalat fardhu hanya membaca Al-Faatihah (diringkas), ini mempertegas adalah shalat sunnahMaknanya sepuluh shahabat‎ sudah mengerti dan memahami betul hadits Malik bin Huwairits, oleh sebab itu mereka berkata, “Engkau benar, demikianlah beliau  mengerjakan shalat”. 

Perlu dipahami dengan teliti dan cermat bahwa Abu Humaidi meriwayatkan juga hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat fardhu sebagai berikut ......... (II):

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ خَالِدٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ خَالِدٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ وَحَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ وَيَزِيدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ
أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَأَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ

Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Khalid dari Sa'id dari Muhammad bin 'Amru bin Halhalah dari Muhammad bin 'Amru bin 'Atha', dan telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abu Habib dan Yazid bin Muhammad dari Muhammad bin 'Amru bin Halhalah dari Muhammad bin 'Amru bin 'Atha', bahwasanya dia duduk bersama beberapa orang sahabat Nabi لى الله عليه وسلم, mereka bercerita tentang shalatnya Nabi لى الله عليه وسلم. Maka berkatalah Abu Humid As Sa'idi رضي الله عنه:
“Aku adalah orang yang paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah ﷺ, aku melihat beliau bertakbir seraya menempatkan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Apabila ruku’ beliau menempatkan kedua tangannya pada kedua lututnya, kemudian beliau meratakan belakangnya (punggungnya). Apabila mengangkat kepalanya, beliau tegak hingga setiap ruas tulang belakang kembali pada tempatnya. Apabila sujud beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menelungkupkan dan tidak pula merapatkannya, dan menghadapkan jari-jari kakinya ke kiblat. Apabila duduk pada dua rakaat, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Apabila duduk pada rakaat terakhir beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang satunya, seraya duduk dengan pantatnya.” (Shahih Bukhari 785/Fathul Baari jilid: 4; hal: 654-655)

Sepertinya hadits Abu Humaidi yang pertama dan yang kedua ini sama. Perhatikan matannya, pada hadits yang pertama turun lebih dahulu dari pada hadits yang kedua dengan tidak diingkarinya oleh para shahabat pada hadits yang kedua tentang pernyataan: “Aku adalah orang yang paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah (hadits yang pertama diingkari yang kedua tidak). Disebutkan adanya duduk tegak pada hadits pertama dan tidak pada hadits kedua. Tidak disebutkan adanya tasyahud awal pada hadits pertama dan disebutkan adanya tasyahud awal pada hadits kedua, mayoritas shahabat pada hadits pertama membenarkan, sedang pada hadits ke dua mendiamkan/ mentaqrirkan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua hadits ini berbeda. 

Perbedaan kedua hadits Abu Humaidi ini harus dikompromikan bahwa hadits yang pertama menjelaskan tata cara shalat sunnah sedangkan yang kedua menjelaskan tata cara shalat fardhu. Jika perselisihan kedua hadits ini dipahami sebagai amalan sunnah, maka akan terjadi suatu kerancuan yang besar, karena pada shalat empat rakaat bisa dilakukan berikut:

🕐 duduk tegak dan duduk tasyahud awal
🕑 duduk tegak tanpa duduk tasyahud awal
🕒 duduk tasyahud awal tanpa duduk tegak, atau
🕓 tidak duduk tegak dan tidak duduk tasyahud awal

Jika shalat yang dilakukan sendiri saja bisa bermasalah karena melanggar kaidah hukum yang lain. Apalagi jika berjamaah, maka akan terjadi kekacauan besar, jika yang sebagian melakukan 🕐 sebagian melakukan 🕑 sebagian melakukan 🕒 sebagian melakukan 🕔?
Menurut ilmu ushul fiqh, jika hadits terbukti keshahihannya diriwayatkan lebih akhir dan ada perselisihan yang tidak mungkin untuk dikompromikan, maka akan menasakh hadits yang sebelumnya bukan sebaliknya.

Atsar yang menyangkal/mengingkari duduk tegak pada shalat fardhu:

Sebagai penguat bahwa duduk tegak ini hanya ada pada shalat sunnah adalah adanya atsar berikut ;
عَن ابْنُ الْمُنذِرِ عَن النُّعْمَانِ بْنِ أَبِي عَيَّاشٍ قَالَ:
أَدْرَكْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ مِن أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِن السَّجْدَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَفِي الثَّالِثَةِ قَامَ كَمَا هُوَ وَلَمْ يَجْلِسْ

Dari Ibnul Mundzir dari An-Nu’maan bin Abi ‘Ayyaasy bahwa ia berkata:
‘Aku bertemu dengan lebih dari satu Shahabat Nabi , mereka jika bangkit dari sujud (kedua) pada rakaat pertama dan ketiga (langsung) berdiri dan tidak duduk (terlebih dahulu)’. (Nailu al-Authar 2: 103).

Kesimpulan

1. Menetapkan hukum pengkhususan pada shalat sunnah empat rakaat satu tasyahud:

a. Disyariatkan adanya duduk tegak pada rakaat pertama dan ketiga.
b. Tidak dilakukannya duduk tasyahud awal dan tidak duduk tegak pada rakaat kedua.
c. Bertakbir (takbir intiqal) setelah sujud kedua hingga akan duduk tegak.
d. Bertakbir (takbir intiqal) setelah duduk tegak hingga akan berdiri.
e. Takbir dari rakaat ke dua ke rakaat ke tiga disertai mengangkat tangan seperti ketika takbir iftitah.
f. Pada rakaat 3 dan 4 setelah membaca Al Fatihah membaca surah dalam Al Qur’an sebagaimana rakaat pertama dan kedua.

Poin-poin di atas adalah di antaranya untuk membedakan antara shalat sunnah dengan shalat fardhu 4 rakaat.

2. Hal ini juga untuk menetapkan kaidah hukum lain bahwa shalat sunnah tidak bisa dimakmumi shalat fardhu kecuali shalat sunnahnya seorang imam yang telah shalat fardhu di tempat lain diminta mengimami shalat fardhu kaumnya dan ia wajib meniatkan shalat sunnah (baca artikel: ”Bid’ahnya Duduk Iftirasy Pada Tasyahud Yang Ada Salamnya Ketika Shalat” di sini)

Shalat sunnahnya imam saat itu dikarenakan adanya larangan shalat fardhu dua kali pada shalat yang sama dan shalat pada poin 2 ini tata caranya wajib sama dengan shalat fardhu pada waktu shalat ketika itu.

3. Jika saya lakukan duduk tegak sebagimana kesimpulan poin 1(a) dan ke lima poin yang lainnya pada shalat fardhu dan selain shalat sunnah empat rakaat satu tasyahud, apakah bid’ah?

Saya jawab: YA!!! sebagaimana hadits di bawah

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَن فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنهُ فَهُوَ رَدٌّ.


Dari ‘Aisyah رضي الله عنها, ia berkata bahwa Nabi  bersabda, “Siapa saja yang mengada-ada tentang urusan (agama) kami, yang tidak kami perintahkan, maka hal itu ditolak.” (HR: Bukhari dan Muslim)

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”


Demikianlah tahqiq dari saya semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin.

تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......

“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”

 

Wallahu a’lam bish shawwab

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Muara Bulian (Jambi), 17 Dzul Qa’idah 1434 H

اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي

 


CATATAN: Telah mengalami beberapa kali suntingan

email 1 : agung_swasana@outlook.co.id

email 2 : agungswasana@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar