05 Desember 2022

 HARAMKAH MUSIK?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏
 
Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Prolog 

Bahwasanya musik adalah budaya sebelum Islam yang tak terelakkan hingga merambah zaman Islam. Pada era ini musik juga dimainkan oleh orang Islam bahkan ada shahabat yang memiliki alat musik. Musik adalah hiburan yang menyangkut privasi orang banyak tetapi karena kemudharatannya dikhawatirkan berlanjut bahkan membesar, maka hal ini sudah diantisipasi oleh Rasulullah  yang dilanjutkan oleh para shahabat. Dikarenakan adanya beberapa faktor, hingga terjadi khilafiah tentang hukum musik hingga kini.

Baiklah perhatikan beberapa hadits-hadits di bawah:
 
مسند أحمد ٢١١٩٠: حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَنْبَأَنَا فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ الْحِمْصِيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكَبَارَاتِ يَعْنِي الْبَرَابِطَ وَالْمَعَازِفَ وَالْأَوْثَانَ الَّتِي كَانَتْ تُعْبَدُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَأَقْسَمَ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ بِعِزَّتِهِ لَا يَشْرَبُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي جَرْعَةً مِنْ خَمْرٍ إِلَّا سَقَيْتُهُ مَكَانَهَا مِنْ حَمِيمِ جَهَنَّمَ مُعَذَّبًا أَوْ مَغْفُورًا لَهُ وَلَا يَسْقِيهَا صَبِيًّا صَغِيرًا إِلَّا سَقَيْتُهُ مَكَانَهَا مِنْ حَمِيمِ جَهَنَّمَ مُعَذَّبًا أَوْ مَغْفُورًا لَهُ وَلَا يَدَعُهَا عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي مِنْ مَخَافَتِي إِلَّا سَقَيْتُهَا إِيَّاهُ مِنْ حَظِيرَةِ الْقُدُسِ وَلَا يَحِلُّ بَيْعُهُنَّ وَلَا شِرَاؤُهُنَّ وَلَا تَعْلِيمُهُنَّ وَلَا تِجَارَةٌ فِيهِنَّ وَأَثْمَانُهُنَّ حَرَامٌ لِلْمُغَنِّيَاتِ
قَالَ يَزِيدُ الْكَبَارَاتِ الْبَرَابِطُ

Musnad Ahmad 21.190: Telah menceritakan kepada kami Yazid telah memberitakan kepada kami Faraj bin Fadhalah Al Himshi dari 'Ali bin Yazid dari Al Qosim dari Abu Umamah dari Nabi  bersabda:
"Sesungguhnya Allah عز وجل mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk untuk seluruh alam, Ia memerintahkanku melenyapkan seruling, gambus, gendang dan patung-patung yang disembah di masa jahiliyah. Rabbku Azza Wajalla bersumpah dengan kemuliaan-Nya, tidaklah salah seorang hamba-Ku meminum seteguk khamer melainkan Aku akan menggantinya dengan air neraka Jahannam yang mendidih, ia tersiksa atau mendapat ampunan, tidakah memberikannya pada seorang anak kecil kecuali Aku akan menggantinya dengan air neraka Jahannam yang mendidih, ia tersiksa atau mendapat ampunan, tidaklah seorang hamba meninggalkannya karena takut pada-Ku melainkan Aku akan meminumkan padanya dari surga. Tidak halal memperdagangkan biduanita, membelinya atau mengajarinya, segala bentuk usaha komersial mereka, dan harganya, kesemuanya haram."
Berkata Yazid: Al Kabaroot maknanya adalah: gambus. ... [1]
Juga dalam Musnad Ahmad 21.275
 
مسند أحمد ٦٢٦٠: حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ وَزَادَنِي صَلَاةَ الْوَتْرِ
قَالَ يَزِيدُ الْقِنِّينُ الْبَرَابِطُ

Musnad Ahmad 6.260: Telah menceritakan kepada kami Yazid telah mengabarkan kepada kami Farj bin Fadlolah dari Ibrahim bin Abdurrahman bin Rafi' dari bapaknya, dari Abdullah bin Amr dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas umatku khamer, berjudi, minuman arak dari gandum, main catur, dan Al Qinnin (jenis permainan bangsa Romawi), dan Dia menambahkan untuk ku shalat witir."
Yazid berkata: Al Qinnin ialah Al Barabit (yaitu sejenis alat musik). ... [2]
Juga dalam Musnad Ahmad 2.347, 2.494, 14.933; Sunan Abu Daud 3.200, 3.210
 
صحيح البخاري ٥١٦١: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ
الْخَمْرُ يُصْنَعُ مِنْ خَمْسَةٍ مِنْ الزَّبِيبِ وَالتَّمْرِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالْعَسَلِ
بَاب مَا جَاءَ فِيمَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الْكِلَابِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ
وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمْ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ 

Shahih Bukhari 5.161: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abdullah bin Abu As Safar dari As Sya'bi dari Ibnu 'Umar dari 'Umar dia berkata:
"Khamer itu terbuat dari lima jenis, yaitu dari kismis, tamr (kurma kering), hinthah (biji gandum), tepung, dan (perasan) madu."
Bab apa-apa yang datang seputar orang yang menghalalkan khamer dan menamakannya dengan selain namanya.
Dan berkata Hisyam bin 'Ammar telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir telah menceritakan kepada kami 'Athiyyah bin Qais Al Kilabiy telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ghanm Al Asy'ariy dia berkata telah menceritakan kepadaku Abu 'Amir atau Abu Malik Al Asy'ariy (dia berkata): Demi Allah dia tidak mendustaiku bahwa dia mendengar Nabi  bersabda:
"Akan ada dikalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamer, alat musik (Al Ma'aazif). Dan sungguh beberapa kaum akan mendatangi tempat yang terletak di dekat gunung tinggi lalu mereka di datangi orang yang berjalan kaki untuk suatu keperluan. Lantas mereka berkata: 'Kembalilah kepada kami besok.' Pada malam harinya Allah menimpakan gunung tersebut kepada mereka dan sebagian yang lain dikutuk menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat." ... [3]
 
سنن ابن ماجه ٤٠١٠: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ حَاتِمِ بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمْ الْأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ 

Sunan Ibnu Majah 4.010: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Ma'n bin Isa dari Mu'awiyah bin Shalih dari Hatim bin Huraits dari Malik bin Abu Maryam dari Abdurrahman bin Ghanm Al Asy'ari dari Abu Malik Al Asy'ari dia berkata:
Rasulullah  bersabda: "Sungguh, sebagian dari ummatku akan meminum khamr yang mereka namai dengan selain namanya, akan bernyanyi dengan para biduan disertai dengan alat musik. Allah akan menutupi kehidupan mereka dan akan menjadikan sebagian mereka kera dan babi." ... [4]
Juga dalam Musnad Ahmad 21.202

 

صحيح البخاري ٩٣٤: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنَى تُدَفِّفَانِ وَتَضْرِبَانِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ أَيَّامُ مِنًى
وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُمْ عُمَرُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُمْ أَمْنًا بَنِي أَرْفِدَةَ يَعْنِي مِنْ الْأَمْنِ 

Shahih Bukhari 934: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata: telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Urwah dari 'Aisyah, bahwa
Abu Bakar رضي الله عنه pernah masuk menemuinya pada hari-hari saat di Mina (Tasyriq). Saat itu ada dua budak yang sedang bermain rebana, sementara Nabi  menutupi wajahnya dengan kain. Kemudian Abu Bakar melarang dan menghardik kedua sahaya itu, maka Nabi  melepas kain yang menutupi wajahnya seraya bersabda: "Biarkanlah wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari Raya 'Ied." Hari-hari itu adalah hari-hari Mina (Tasyriq).
'Aisyah berkata: "Aku melihat Nabi  menutupi aku dengan (badannya) sedangkan aku menyaksikan budak-budak Habasyah yang sedang bermain di dalam masjid. Tiba-tiba 'Umar menghentikan mereka, maka Nabi  pun bersabda: "Biarkanlah mereka dengan jaminan Bani Arfidah, yaitu keamanan." ... [5]
Juga dalam Shahih Muslim 1.480; Sunan Nasa'i 1.575
 
صحيح مسلم ١٤٧٩: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَبِمَزْمُورِ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
و حَدَّثَنَاه يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو كُرَيْبٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِيهِ جَارِيَتَانِ تَلْعَبَانِ بِدُفٍّ 

Shahih Muslim 1.479: Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Usamah dari Hisyam dari bapaknya dari Aisyah ia berkata:
Abu Bakar masuk ke dalam rumahku, sementara di tempatku terdapat dua orang budak wanita Anshar sedang bernyanyi sebagaimana yang dibawakan oleh orang-orang Anshar pada hari Bu'ats. Ia berkata: "Namun keduanya bukanlah penyanyi yang terkenal." Maka Abu Bakar pun bertanya, "Apakah di rumah Rasulullah  terdapat nyanyian syetan?" Pada hari itu merupakan hari raya. Maka Rasulullah  bersabda: "Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya, dan hari ini merupakan hari raya untuk kita."
Dan telah menceritakannya kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Kuraib semuanya dari Abu Mu'awiyah dari Hisyam dengan isnad ini. Dan di dalamnya dikatakan: Dua budak wanita yang bermain rebana. ... [6]

 

سنن النسائي ١٥٧٥: أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِدُفَّيْنِ فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُنَّ فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا

Sunan Nasa'i 1.575: Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dia berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad Ja'far dari Ma'mar dari Az Zuhri dari 'Urwah dari 'Aisyah dia berkata:
"Bahwa Rasulullah ﷺ masuk ke tempatnya dan di sisinya ada dua anak perempuan yang sedang menabuh dua rebana, maka Abu Bakar membentak kedua budak tadi'. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: 'Biarkan saja mereka, sesungguhnya bagi tiap-tiap kaum mempunyai hari raya.' ... [7]
 
سنن النسائي ١٥٧٩: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَفْصِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْهُ
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ وَتُغَنِّيَانِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَجًّى بِثَوْبِهِ وَقَالَ مَرَّةً أُخْرَى مُتَسَجٍّ ثَوْبَهُ فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَهُنَّ أَيَّامُ مِنًى وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ بِالْمَدِينَةِ 

Sunan Nasa'i 1.579: Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Hafsh bin 'Abdullah dia berkata: bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Thahman dari Malik bin Anas dari Az Zuhri dari 'Urwah bahwa ia menceritakan kepadanya, 'Aisyah telah menceritakan KII,
Abu Bakar Ash Shiddiq masuk kepadanya dan di sisinya ada dua anak perempuan kecil yang sedang menabuh rebana sambil bernyanyi, sedangkan Rasulullah  dalam keadaan berselimut dengan bajunya -dalam lafadz lain: menutup diri dengan bajunya- lalu beliau menyingkap wajahnya dan bersabda: 'Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar! Sesungguhnya ini adalah hari raya yang juga merupakan hari-hari Mina.' Saat itu Rasulullah  berada di Madinah. ... [8]

 

سنن الترمذي ٣٦٢٣: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ قَال سَمِعْتُ بُرَيْدَةَ يَقُولُ
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتْ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتْ الدُّفَّ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ بُرَيْدَةَ وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَائِشَةَ 

Sunan Tirmidzi 3.623: Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Huraits telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Husain bin Waqid telah menceritakan kepadaku Ayahku telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Buraidah dia berkata: saya mendengar Buraidah berkata:
Rasulullah ﷺ berangkat menuju salah satu peperangan, ketika telah usai seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi beliau sambil berkata: "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah mengembalikan baginda dalam keadaan baik, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di dekat baginda." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Jika kamu telah bernadzar demikian lakukan namun jika tidak, maka jangan kamu lakukan." Budak wanita itu pun menabuh rebana, kemudian Abu Bakar masuk dan budak itu masih menabuh rebana, Ali masuk, dia pun masih menabuh rebana, kemudian Utsman masuk dan dia tetap menabuh rebananya, dan ketika Umar masuk, budak itu menyembunyikan rebananya di balik pangkalnya dan duduk di atasnya." Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya setan benar-benar takut padamu wahai Umar, karena ketika aku sedang duduk dia (budak wanita) menabuh rebananya lalu Abu Bakar masuk dan ia masih menabuh, lalu Ali masuk dan ia masih menabuh, lalu Utsman masuk dan ia masih menabuh, namun tatkala kamu yang masuk wahai Umar ia segera membuang rebananya."
Abu Isa berkata: "Hadits ini adalah hadits hasan shahih gharib dari hadits Buraidah, dan dalam bab ini, ada juga riwayat dari Umar dan Sa'ad bin Abu Waqash serta Aisyah." ... [9].
 
سنن أبي داوود ٢٨٨٠: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ عُبَيْدٍ أَبُو قُدَامَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَخْنَسِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِكَ بِالدُّفِّ قَالَ أَوْفِي بِنَذْرِكِ قَالَتْ إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَذْبَحَ بِمَكَانِ كَذَا وَكَذَا مَكَانٌ كَانَ يَذْبَحُ فِيهِ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ لِصَنَمٍ قَالَتْ لَا قَالَ لِوَثَنٍ قَالَتْ لَا قَالَ أَوْفِي بِنَذْرِكِ 

Sunan Abu Daud 2.880: Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Al Harits bin 'Ubaid Abu Qudamah dari 'Ubaidullah bin Al Akhnas dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa
Seorang wanita telah datang kepada Nabi  dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah bernadzar untuk memukul rebana di hadapan anda." Beliau berkata: "Penuhi nadzarmu!" Ia berkata: "Sesungguhnya saya bernadzar untuk menyembelih di tempat ini dan ini." Yaitu tempat yang dahulu orang-orang Jahiliyah menyembelih padanya. Beliau berkata: "Untuk patung?" Ia berkata: "Tidak." Beliau berkata: "Untuk berhala?" Ia berkata: "Tidak." Beliau berkata: "Penuhi nadzarmu!" ... [10]
 
مسند أحمد ٢٥٧٧٩: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ وَمُهَنَّأُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ أَبُو شِبْلٍ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ خَالِدِ بْنِ ذَكْوَانَ قَالَ عَبْدُ الصَّمَدِ فِي حَدِيثِهِ حَدَّثَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ عَنِ الرُّبَيِّعِ وَقَالَ خَالِدٌ فِي حَدِيثِهِ قَالَ حَدَّثَتْنِي الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذِ ابْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا فَلَا تَقُولَاهُ 

Musnad Ahmad 25.779: Telah menceritakan kepada kami Abdus Shamad dan Muhanna' bin Abdul Hamid Abu Syibl keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Hammad dari Khalid bin Dzakwan, Abdus Shamad menyebutkan dalam haditsnya: telah menceritakan kepada kami Abu Al Husain dari Rubayi', dan Khalid menyebutkan dalam haditsnya, dia berkata: "Rubayi' bin Mu'awidz bin 'Afra' menceritakan kepadaku, ia berkata:
"Rasulullah ﷺ datang di hari pernikahanku, beliau duduk di kasurku ini. sementara aku mempunyai dua budak wanita yang sedang menabuh duff (gendang) dan mengisahkan tentang orang tuaku yang terbunuh pada perang Badar, di antara yang mereka dendangkan adalah, 'Di antara kita ada seorang Nabi yang mengetahui kejadian pada hari ini dan esok hari', kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Adapun tentang ini maka janganlah kalian mengatakannya."  ... [11]
Juga dalam Shahih Bukhari 3.700; Sunan Abu Daud 4.276; Sunan Ibnu Majah 1.887; Musnad Ahmad 25.785; Sunan Tirmidzi 1.010
 
سنن ابن ماجه ١٨٨٩: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِينَةِ فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ وَيَتَغَنَّيْنَ وَيَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْلَمُ اللَّهُ إِنِّي لَأُحِبُّكُنَّ 

Sunan Ibnu Majah 1.889: Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Ammar berkata: telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus berkata: telah menceritakan kepada kami 'Auf dari Tsumamah bin Abdullah dari Anas bin Malik berkata:
"Nabi  melewati sebagian kota Madinah dan menemukan gadis-gadis yang sedang menabuh rebana sambil bernyanyi dan bersenandung, 'Kami gadis-gadis Bani Najjar, alangkah indahnya punya tetangga Muhammad'." Lalu Nabi  bersabda: "Allah mengetahui, sungguh aku mencintai mereka." ... [12]
 
سنن ابن ماجه ١٨٨٥: حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَالْخَلِيلُ بْنُ عَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ خَالِدِ بْنِ إِلْيَاسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ 

Sunan Ibnu Majah 1.885: Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami dan Al Khalil bin Amru keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus dari Khalid bin Ilyas dari Rabi'ah bin Abu 'Abdurrahman dari Al Qasim dari 'Aisyah
dari Nabi , beliau bersabda: "Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhlah rebana atasnya." ... [13]
 
سنن ابن ماجه ١٨٨٦: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ أَبِي بَلْجٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ 

Sunan Ibnu Majah 1886: Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Rafi' berkata: telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Abu Balj dari Muhammad bin Hathib ia berkata:
"Rasulullah  bersabda: 'Pembatas antara yang halal dan haram adalah rebana dan suara dalam pernikahan." ... [14]
Juga dalam Sunan Nasa'i 3.316; Musnad Ahmad 14.904, 17.563; Sunan Tirmidzi 1.008
 
سنن ابن ماجه ١٢٩٢: حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ مُغِيرَةَ عَنْ عَامِرٍ قَالَ
شَهِدَ عِيَاضٌ الْأَشْعَرِيُّ عِيدًا بِالْأَنْبَارِ فَقَالَ مَا لِي لَا أَرَاكُمْ تُقَلِّسُونَ كَمَا كَانَ يُقَلَّسُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Sunan Ibnu Majah 1.292: Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa'id berkata: telah menceritakan kepada kami Syarik dari Mughirah dari Amir ia berkata:
 'Iyadl Al Asy'ari menghadiri shalat ied di Al Ambar, ia lalu berkata: "Kenapa aku tidak melihat kalian memukul rebana, sebagaimana pernah dilakukan pula di sisi Rasulullah صلى الله عليه وسلم?" ... [15]
 
سنن ابن ماجه ١٢٩٣: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ
مَا كَانَ شَيْءٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَقَدْ رَأَيْتُهُ إِلَّا شَيْءٌ وَاحِدٌ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَلَّسُ لَهُ يَوْمَ الْفِطْرِ
قَالَ أَبُو الْحَسَنِ بْنُ سَلَمَةَ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا ابْنُ دِيزِيلَ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ جَابِرٍ عَنْ عَامِرٍ ح وَحَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ جَابِرٍ ح وَحَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَصْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَامِرٍ نَحْوَهُ 

Sunan Ibnu Majah 1293: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Isra'il dari Abu Ishaq dari Amir dari Qais bin Sa'd ia berkata:
Segala sesuatu yang terjadi di masa Rasulullah  aku telah menyaksikannya, kecuali satu hal. Yakni, pada hari iedul fitri Rasulullah  di sambut dengan rebana. "
Abul Hasan bin Salamah Al Qaththan berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Dizil, berkata: telah menceritakan kepada kami Adam, berkata: telah menceritakan kepada kami Syaiban, berkata: Jabir dari Amir. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Isra'il dari Jabir. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Nashr, berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim, berkata: telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ishaq, dari Amir sebagaimana dalam hadits. " ... [16]

 

سنن ابن ماجه ١٨٩١: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا الْفِرْيَابِيُّ عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ أَبِي مَالِكٍ التَّمِيمِيِّ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ
كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ صَوْتَ طَبْلٍ فَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ ثُمَّ تَنَحَّى حَتَّى فَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Sunan Ibnu Majah 1.891: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata: telah menceritakan kepada kami Al Firyabi dari Tsa'labah bin Abu Malik At Tamimi dari Al Laits dari Mujahid ia berkata:
"Aku pernah bersama Ibnu Umar, tiba-tiba ia mendengar suara dentuman gendang, maka ia pun memasukkan kedua jarinya ke dalam telinganya dan menjauh. Ia lakukan hal itu sebanyak tiga kali, kemudian ia berkata: "Demikianlah yang Rasulullah  lakukan." ... [17]

Pembahasan

Dalam menentukan hukum, wajib berdasarkan dalil yang memenuhi kriteria kehujjahan ketika bersendiri. Jika tidak terpenuhi, maka wajib mendatangkan penguat (syahid) semisal atau di bawahnya hingga memenuhi kriteria kehujjahan, tetapi tidak berlaku untuk hadits maudhu’/palsu.
Musik yang merupakan amalan dunia pada awal hukumnya mubah/boleh, maka wajar jika ditemukan hadits yang menyebutkan shahabat bermain musik bahkan ada yang memiliki alat musik karena pensyariatannya belum turun. Karena menyangkut amalan akhirat, maka apakah musik menjadi wajib, sunnah, tetap mubah, makruh atau haram? (Untuk maksud amalan dunia dan akhirat please klik 👉 di sini).

Kita bedah!!! 

Perhatikan hadits [9] Tirmidzi 3.623 yang beliau nilai sendiri hasan shahih dan dinilai hasan oleh Ali Thahir Zubair ‘Ali Zai (pentanshihnya) dan telah memenuhi kriteria kehujjahan ketika bersendiri apalagi adanya beberapa penguat. 
Larangan atau celaan bisa dimaknai makruh hingga haram, tergantung kerasnya larangan atau celaan. Ketika keduanya ditujukan pada satu amalan, maka akan lebih menekankan pada nilai keharamannya.

Ketika Rasulullah  pulang jihad berperang yang akan diapresiasi dengan tabuhan rebana oleh budak perempuan yang masih anak-anak dengan pujian para syuhada perang Bu’ats/Badar, apa yang terjadi? Dilarang, karena terlanjur bernadzar, maka diizinkan tetapi dicela oleh Rasulullah  dengan amalan syaitan yang ditandai dengan berhenti memainkannya disebabkan kedatangan ‘Umar رضي الله عنه. Apakah celaan amalan syaitan hanya dihukum makruh? Jika menunaikan nadzar saja dicela amalan syaitan apalagi tidak, maka akan lebih mempertegas pengharamannya.
Apakah karena pelakunya berpredikat sebagai budak? Justru hanya dikhususkan untuk budak perempuan yang masih anak-anak (belum menikah) yang diizinkan dan hanya pada momen Ied (hari raya) hadits [6]. Hal ini juga dicela oleh Abu Bakar رضي الله عنه dengan nyanyian syaitan yang ditakrir oleh Rasulullah . Bagaimana jika yang melakukannya sekelompok pemuda bahkan bapak-bapak yang merdeka dan selain hari raya, maka berapa syaitankah yang akan disematkan? Terlebih tanpa nadzar, hanya amalan yang remeh bahkan tidak selayaknya diapresiasi dan musikya pun koplo (kali ini syaitannya yang bingung).

Dengan adanya syawahid (beberapa penguat) di bawah akan memperkuat haramnya musik. 

Dalam hadits [3 dan 4] dijelaskan bahwa kaum yang menghalalkan yang diharamkan Allah سبحانه وتعال yang salah satunya musik akan mengundang murka-Nya dengan menimpakan bencana dan sebagian akan dikutuk seperti kera dan babi hingga kiamat.
Yang dimaksud menghalalkan, secara hukum bukanlah mubah, sunnah atau wajib karena sudah pasti halalnya, maka yang dimaksud pastilah makruh atau haram. Ancaman ini tergolong keras yaitu ditimpakan bencana untuk jasad/badan dan yang berupa kutukan untuk ruh sebagai adzab qubur, karena jasad tidak mungkin diadzab hingga kiamat. Adzab ditimpakan hanya untuk kaum yang menghalalkan musik dan tidak untuk pelaku atau pendengar, lalu bagaimana jika dilakukan semua oleh satu kaum? Adzab apa yang akan ditimpakan? Ya pastinya diperkeras, disegerakan atau keduanya.
Dengan larangan, celaan dan adzab yang sedemikian kerasnya, apakah kita masih meragukan keharaman musik? .

Hadits [1 dan 2] mempertegas hukum atas keharaman musik secara umum, maka wajar jika disandingkan dengan zina, judi, sutra, khamer dan patung yang disembah. 

Penetapan hukum di atas jelas-jelas bertentangan dengan hadits tentang shahabat yang memainkan atau yang mempunyai alat musik. Dalam prolog dan awal pembahasan telah disinggung bahwa saat itu syariat pelarangan belum turun, jika masih penasaran silahkan teliti sanad dan matannya.
Tetapi zaman Rasulullah  ada hadits yang tegas menunjukkan adanya permainan musik setelah ditetapkan keharamannya !!! 
Ngosik .... sabar sedelo .... tak mikir sithik!!! .... Ngene ....
Bahwa hadits tidak mungkin saling berselisih atau bertentangan, apalagi pada hadits-hadits yang shahih. Maka metode yang dilakukan yaitu wajib dikompromikan lebih dahulu jika sudah tidak ada cara lain, terakhir baru ditarjih.

Perhatikan hadits [13 dab 14] bahwa permainan musik kala itu pada momen walimatul ‘urs (pernikahan) dan pelakunya pun sama sebagaimana yang disebutkan sebelumnya yaitu budak perempuan yang masih anak-anak sedangkan lainnya hanya pendengar, berikut haditsnya:

دخلت على قرظة بن كعب وأبي مسعود الأنصاري في عرس وإذا جوار يغنين فقلت أنتما صاحبا رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن أهل بدر يفعل هذا عندكم فقال اجلس إن شئت فاسمع معنا وإن شئت اذهب قد رخص لنا في اللهو عند العرس

Sunan Nasa'i 3.330: Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Hujr, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abu Ishaq dari 'Amir bin Sa'd, ia berkata:
saya menemui Qurazhah bin Ka'b dan Abu Mas'ud Al Anshari dalam suatu pesta pernikahan. Dan ternyata terdapat beberapa sahaya wanita yang bernyanyi, kemudian saya katakan: “Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah , dan termasuk ahli Badr. Apakah pantas dilalukan hal ini di hadapan kalian?” Kemudian ia berkata: “Duduklah jika engkau mau dan dengarkan bersama kami, dan jika engkau mau pergi maka pergilah, sungguh telah diberikan keringanan bagi kita dalam hiburan ketika pesta pernikahan”.

Gamblang hanya mendengarkan yang diperbolehkan, ini pun jika ada pelaku yang diperbolehkan.

Bagi budak perempuan yang masih anak-anak untuk memainkan alat musik hukumnya mubah/boleh untuk momen pernikahan, makruh untuk momen Ied juga nadzar untuk mengapresiasi keselamatan atas jihad pemimpinnya dan yang selainnya haram.

Perhatikan tiga hadits terakhir, berdasarkan matan dan sanadnya bahwa ini terjadi pada masa antara shahabat dan tabi’in.
Pada hadits [15 dan 16] menunjukkan bahwa musik sudah tidak ada pada momen Ied. Hal ini bukan karena ditinggalkan tetapi sebagai dampak dari perintah memerdekakan budak, kafarat bagi pelanggar syariat tertentu dengan memerdekakan budak serta telah pernikahan mereka. Maka sangat wajar jika tren regenerasinya menurun bahkan menghilang.

Hal di atas terbukti dan diperkuat hadits [17] bahwa ketika itu pelaku penabuh rebana yang diperbolehkan sudah tidak ada.
Perhatikan qaidah ushul fiqh bahwa ketika orang dapat melihat dan memastikan pelaku penabuh rebana, maka ia pasti dapat mendengarnya kecuali tuli tetapi yang mendengarnya belum tentu melihat pelakunya apalagi kalau buta.
Apa relasinya dengan hadits [17]?
Untuk menegaskan boleh atau tidaknya mendengarkan musik, maka Ibnu Umar رضي الله عنه ketika menutup telinga dengan kedua jari akan:

1.  mendekat bukan menjauh untuk memastikan siapa pelakunya atau

2.  sudah tahu pasti bahwa pelaku yang diperbolehkan sudah tidak ada.


Kesimpulan:

Kalau mendengar musik hukumnya haram, maka memainkannya pasti lebih haram.
Qaidah penentu hukum musik terletak pada pelaku yang diperbolehkan.
Kapan pun zamannya ketika pelaku yang diperbolehkan ada, maka hanya pada momen yang diizinkan dan lainnya hanya pendengar.             
Ketika pelaku yang diperbolehkan tidak ada, maka hukumnya haram mutlaq.
Maka untuk wilayah Indonesia dipastikan bahwa musik hukumnya haram mutlaq.

Ketika hati merasa: “I miss you music”, maka tanamkan dalam qalbu:
I hate  الْمَزَامِيرَ
I hate  الْمَعَازِفَ
I hate  الْبَرَابِطَ
I hate  الْكَبَارَاتِ
I hate  الْقِنِّينُ
I hate  طَبْلَ
I hate  الدُّفُّ
Agar bila mendengar dentuman musik dapat meneladani Ibnu Umar رضي الله عنه yang meneladani Rasulullah  untuk menutup telinga dengan kedua jari dan menjauh.
 
تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......

“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”

 

Wallahu a’lam bish shawwab

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Muara Bulian (Jambi), 08 Jumadil Awwal 1444 H

اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي

 

email 1: agung_swasana@outlook.co.id.

email 2: agungswasana@gmail.com

07 November 2022

 

PENGANTAR USHUL FIQH LANJUTAN

 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏
 
Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Materi ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya yang sebaiknya dipahami lebih dahulu agar lebih terarah (klik di sini).
Bahwasanya hukum dan ibadah Islam itu telah sempurna sejak kewafatan Nabi Muhammad  sebagaimana QS: Al-Maa’idah [5]: 3. Lantas mengapa terjadi beberapa perbedaan hukum dan ibadah, bahkan dari mulai para shahabat apalagi zaman para ulama khalaf. Sunnatullah hal ini tidak terhindarkan karena beberapa faktor. Sepeninggalan Rasulullah , kekhalifahan dilanjutkan oleh Khulafa’ur Rasyidin, sedangkan ilmu yang didapat dari Rasulullah  oleh para shahabat tidaklah sama. Hal ini disebabkan tidak setiap individu shahabat selalu menyertai setiap keadaan seperti ketika di rumah, maka hukum dan ibadah di rumah tentulah orang yang menyertai beliau di rumah yang paling banyak tahu. Begitu pun ketika safar (bepergian) atau ghazwah (berperang), maka hukum dan ibadah yang dilakukan dalam kondisi ini hanyalah para shahabat yang menyertai beliau yang mengetahuinya. Juga ketika dalam keadaan tertentu, Rasulullah  menjelaskan suatu hukum atau ibadah, baik ada tidaknya suatu peristiwa yang hanya disaksikan oleh beberapa shahabat bahkan hanya seorang saja. Begitu pun ketika ada shahabat yang bertanya tentang suatu hukum atau ibadah, yang mana tidak semua shahabat yang menyaksikan bahkan hanya penanya. Ada juga beberapa shahabat yang melihat Rasulullah  melakukan sesuatu, maka oleh shahabat dimaknai demikian sedang shahabat lain memaknai demikian atau demikian yang menunjukkan bolehnya memilih atau mengamalkan semua opsi. Mayoritas hadits tersampai kepada para shahabat yang tidak melihat/ menyaksikan atau mendengarkan tetapi dengan beberapa keadaan sebagaimana di atas, juga dipastikan ada yang tidak tersampaikan. Maka perbedaan di antara para shahabat wajib dikompromikan sebagai opsi memilih salah satu atau mengamalkan semua opsi karena hadits dipastikan tidak mungkin berselisih.
Karena hadits dipastikan tidak mungkin bertentangan dengan hadits lain apalagi dengan al Qur’an, maka pemahamannya wajib mengacu pada para shahabat berdasarkan fakta-fakta hadits, karena merekalah yang paling tahu akan maksud dan tujuan yang terkandung dalam hadits dan dipastikan tidak selain mereka. Bahkan opsi beberapa ijtihad individu shahabat pun merupakan dalil yang wajib juga dipedomani. Perbedaan mayoritas terjadi karena hadits tidak sampai, telah di-nasakh atau di-mansukh yang tidak diketahui oleh shahabat lain, hal ini ditandai dengan mengunjungi atau kirim surat untuk mengingatkan atau bertanya.
Dari ribuan shahabat, yang menjadi mujtahid tidaklah banyak, ini pun bertingkat-tingkat keilmuannya berdasarkan individual shahabat sering atau lamanya menyertai Rasulullah ﷺ dalam setiap keadaan. Sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga khulafa’ur Rasyidin, ada para shahabat yang menyebar hingga ke beberapa negeri dan mukim di sana dan ada yang menjadi shahabat karena safarnya Rasulullah ﷺ. Murid dari shahabat pun tidak banyak dan dipastikan tidak menyerap 100% ilmu yang diwariskan oleh gurunya pada tiap individu murid-muridnya, begitulah seterusnya. Ini menggambarkan bahwa para shahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in mayoritas hanya sebagai perawi (periwayat) hadits. Sebagaimana para shahabat, para tabi’in yang mujtahid juga mengalami suatu permasalahan hukum dan ibadah di luar yang didapat dari gurunya dan hanya menerima satu atau sebagian hadits sehingga berdalil hanya dengan yang ia dapat. Sejak fase inilah ijtihad dinilai tidak mutlaq benar bahkan bisa jadi berseberangan dengan yang seharusnya meskipun mayoritas benar karena mereka masih sangat dekat dengan para shahabat untuk bertanya. Maka bukanlah suatu yang aneh jika zaman ulama salaf pun terjadi perbedaan dalam menentukan suatu hukum dan ibadah. Mayoritas ikhtilaf yang terjadi, sama dengan pendahulunya yaitu masing-masing hanya menerima satu atau sebagian hadits untuk berhujjah. Ketika zaman ulama salaf, persamaan pemahaman hukum dan ibadah masih sangat dominan. Selain perbedaannya belum begitu banyak dan mereka pun sangat menjunjung tinggi akan ijtihad masing-masing.
Mayoritas hukum dan ibadah terdiri dari beberapa hadits tetapi ada beberapa hukum dan ibadah yang terdapat dalam satu hadits. Hadits-hadits ada yang tersampaikan semua, sebagian atau hanya satu yang sama bahkan bervariasi hingga ke para ulama mujtahid dalam kurun waktu mana pun. Setelah zaman keemasan para shahabat, maka  permasalahan tidak hanya perbedaan tetapi juga adanya turunan hukum dan ibadah kreatif karena ijtihad ulama setelahnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak semua hadits tersampaikan secara utuh di tiap-tiap maqam perawi, misal ketika shahabat mengingatkan amalan shahabat lain yang keliru, maka yang disampaikan hanya yang menyangkut kekeliruannya atau hanya yang tidak diketahui oleh shahabat lain. Sedangkan kepada muridnya, hadits disampaikan secara utuh. Berdasarkan sanad, ada berapa hadits yang tidak utuh justru lebih shahih dari hadits yang utuh. Ketika hadits ini sampai ke ulama mujtahid, maka menjadikan istidlal yang bermacam-macam, terutama hadits yang tidak utuh akan bersifat lebih umum. Ketika hadits bersifat lebih umum, maka peluang mengistimbathkan hadits jadi lebih luas, sehingga hukum dan ibadah bisa beranak-pinak hingga bercucu-cicit disebabkan tidak mungkin membatasi pola pikir manusia. Hal ini banyak kita temui dalam kitab-kitab syarah hadits, mayoritas sebuah hadits diistimbathkan sebanyak mungkin, ada kalanya dikompromikan dengan satu atau beberapa hadits lain, juga matannya dimaknai perkata bahkan perkata pun dimaknai berdasarkan baris hingga menjadikan maknanya sangat variatif. Begitu pun dalam mendefinisikan sesuatu, sangat bergantung pemahaman dan algoritma ulama mujtahidnya. Maka tidak mengherankan jika oleh masing-masing ulama mujtahid di zaman mana pun ada yang sepemahaman, saling menguatkan, berbeda bahkan bertolak belakang dan juga terjadi beberapa turunan hukum dan ibadah yang variatif. Hal ini dapat dijumpai dalam kumpulan ribuan kitab ulama-ulama yang terhimpun dalam satu aplikasi maktabah yang hanya dengan mengetik key word, maka akan muncul sederetan jawaban. Dari yang hanya beberapa jawaban hingga yang suangat buanyak dan koumpleks, lalu bagaimanakah cara memastikan jawaban mana yang paling benar??? Pasrah!!!
Keadaan seperti inilah yang paling banyak menjadikan khilafiah bahkan menjadikan beberapa turunan hukum dan ibadah kreatif.  Selain faktor di atas juga ada faktor lain seperti pengaruh agama samawi (langit) sebelumnya, agama ardi (bumi), adat, budaya, tradisi  dan faktor lain. Bisa dibayangkan hingga akhir zaman? Benarlah apa yang disampaikan Rasulullah :

 
سنن أبي داوود ٣٩٨٠: حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

Sunan Abu Daud 3.980: Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, Nashara terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan."
 
Hadits semakna juga diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud 3.981; Sunan Ibnu Majah 3.981, 3.982, 3.983; Sunan Tirmidzi 2.564, 2.565; Sunan Darimi 2.406; Musnad Ahmad 8.046, 12.022, 16.329
 
Dalam hadits Abu Daud 3.981; Sunan Ibnu Majah 3.982, 3.983; Musnad Ahmad 12.022, 16.329 selanjutnya menyebutkan bahwa

كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Semua masuk neraka, kecuali satu golongan yaitu Al Jama'ah.
 
Sedangkan dalam Sunan Tirmidzi 2.565 disebutkan bahwa

 
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya."

Jadi siapa yang dimaksud Al Jama'ah? Yaitu mereka yang beramal hanya dengan hadits dan atsar yang mampu ia jama’/himpun di rentang zaman mana pun sebagaimana yang disebut dalam Sunan Tirmidzi 2.565 bahwa yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya dan pastinya hanya berlaku untuk amalan akhirat. Maka semua amalan akhirat di luar yang dimaksud adalah fiynnaar.
 
Semoga bermanfaat.

 
تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......

Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”
 
Wallahu a’lam bish shawwab
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Muara Bulian (Jambi), 10 Rabi’ul Akhir 1444 H

 

اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي

 

email 1: agung_swasana@outlook.co.id

email 2: agungswasana@gmail.com

 

30 Juli 2022

 KALENDER SYAMSIYAH DAN KALENDER QAMARIYAH

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏لَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏
 

Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah سبحانه وتعالتعال, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Prolog

Entah sudah berapa lamakah kita termanjakan dengan penetapan awal bulan Qamariyah yang didominasi oleh sistem hisab? Hampir bisa dipastikan hanya 3 dari 12 bulan yaitu Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah yang diru’yah dan ini pun pasti tidak dengan standar sunnah. Sengaja saya munculkan istilah “RU'YAH SUNNAH” hanya untuk mengkhususkan ru’yah dengan mata tanpa alat bantu (teleskop) sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah  dan para shahabat. Selain untuk mengembalikan hukum pada asalnya juga untuk menggesahkan kembali sunnah secara istiqamah dan pastinya tanpa biaya.

Hal-hal yang melatari lebih memilih sistem ru’yah sunnah  yaitu:

1.  Alasan syar’iyah 

a.  Berdasarkan QS. Al Maa’idah [5]: 3 bahwa agama Islam itu sudah sempurna termasuk ibadah dan dipastikan tidak ada yang lebih sempurna dari itu

b.  Berdasarkan QS. al Baqarah [2]: 189, al An'am [6]: 96, Yunus [10]: 5, ar Ra'd [12]: 2, Ibrahim [14]: 33, an Nahl [16]: 12, al Anbiya [21]: 33, Luqman [31]: 29, Fatir [35]: 13, Yaa Siin [36]: 39 dan 40, az Zumar [39]: 5, ar Rahman [55]: 5, al Ma'arij [70]: 40 menjelaskan bahwa peredaran matahari, bumi dan bulan sebagai perhitungan waktu dan pedoman waktu ibadah. Maka dalam mengamalkan al Qur'an wajib merujuk ke hadits karena keduanya dipastikan tidak mungkin bertentangan bahkan sebagai penjabarnya. Jika tidak, maka akan menyelisihi bahkan bertentangan maknanya sebagaimana point (e) di bawah.

c.  Mengamalkan ibadah dengan cara Rasulullah  dan para shahabat dijamin pasti benar.

d.  Pasti adanya perbedaan hari awal bulan sebagaimana hadits [12 dan 14], penjelasan di bawah 

e.  Karena tidak dikompromikan dengan hadits-hadits lain, yang berakhibat salah dalam beristidlal sehingga maknanya justru bertentangan dengan yang dimaksud dalam hadits [9] dan syarahnya klik 👉 di sini


2.  Alasan saint dan teknologi

a. Sistem hisab pasti tidak bisa menentukankan di mana lokasi awal bulan Qamariyah sebagai mathla' 1 apalagi mathla' 2, penjelasan di bawah.

b.  Penetapan waktu ibadah dari zaman Rasulullah  sudah dengan ilmu falaq atau astronomi yaitu berdasarkan waktu edar matahari dan waktu edar bulan.


Penjelasan

Disebut kalender Qamariyah (Lunar Calender) karena penanggalan ini berdasarkan waktu edar bulan untuk menentukan tanggal, bulan dan tahun.
Sedangkan kalender Syamsiyah (Solar Calender) berdasarkan waktu edar matahari untuk menentukan tanggal, bulan dan tahun.
Satuan waktu edar matahari kedua almanak ini sama yaitu rentang waktu selama satu putaran/rotasi bumi yang disebut 1 (satu) hari yaitu 24 jam. Jika awal hari bulan Syamsiyah pada pukul 00.00 sedangkan awal hari bulan Qamariyah pada waktu Maghrib.
Karena kita berada.  di bumi yang berputar, maka seolah matahari yang bergerak mengelilingi bumi (gerakan semu).

KALENDER SYAMSIYAH 

Penentuan umur bulan Syamsiyah yaitu 28, 29, 30 dan 31 hari dengan nama bulan Januari hingga Desember. Penentuan umur tahun Syamsiyah sebanyak 365¼ hari yaitu 1 periode revolusi bumi mengelilingi matahari yang juga disebut 1 tahun Masehi. Karena hari tidak mungkin pecahan, maka 3 tahun berturut-turut berumur 365 hari dan tahun ke 4 sebanyak 366 hari yang disebut tahun Kabisat. Tahun Kabisat ini ditentukan bilangannya yang habis dibagi 4 seperti tahun 44, 308, 2.804 dan lainnya dengan umur bulan Februari 29 hari. Sehingga hitungannya pasti setiap 4 tahun adalah 3 X 365 + 1 X 366 = 1.461 hari.
Pada penanggalan Syamsiyah, 1 hari dibagi menjadi 24 jam, hingganya bumi dibagi menjadi 24 zona waktu yang setiap 360ᴼ : 24 = 15ᴼ untuk setiap jamnya yang titik 0 (nol)  dari Greenwich Mean Time (GMT). Urutannya yaitu ... -7, -6, -5, -4, -3, -2, -1, 0, +1, +2, +3, +4, +5, +6, +7, ... dengan Indonesia pada 3 zona waktu yang defaultnya (+7) yaitu Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) karena ibu kota negara berada di zona ini.

Penentuanan waktu ibadah shalat bukan berdasarkan jam, menit dan detik tetapi murni berdasarkan waktu edar matahari yaitu posisi bumi terhadap matahari sebagaimana hadits berikut:

صحيح مسلم ٩٦٦: و حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ
Shahih Muslim 966: Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Ibrahim Ad Duraqi telah menceritakan kepada kami Abdushshamad telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu Ayyub dari Abdullah bin 'Amru
bahwa Rasulullah سبحانه وتعال bersabda: "Waktu shalat Zhuhur adalah jika matahari telah condong dan bayangan sesorang seperti panjangnya selama belum tiba waktu shalat Ashar, dan waktu shalat Ashar selama matahari belum menguning, dan waktu shalat Maghrib selama mega merah (syafaq) belum menghilang, dan waktu shalat Isya' hingga tengah malam, dan waktu shalat Shubuh semenjak terbit fajar selama matahari belum terbit, jika matahari terbit, maka janganlah melaksanakan shalat, sebab ia terbit di antara dua tanduk setan." (juga diriwatkan dalam Musnad Ahmad 6.674 dan 6.780).
Diriwayatkan juga dengan matan lain dalam Sunan Abu Daud 332; Sunan Tirmidzi 138; Musnad Ahmad 2.920, 3.151, 10.819 dan Sunan Nasa'i 498.
Juga dalam matan lain pada Sunan Nasa'i 1.500; Musnad Ahmad 14.263.

Karena bumi berputar oleng seperti gasing yang akan berhenti dengan kemiringan hingga 23½ᴼ. Hal ini berakibat matahari tenggelam tidak selalu jam 18.00 tetapi selalu berubah secara periodik bertambah atau berkurang. Hal ini telah dicanangkan dalam hadits di atas dan terbukti setelah ditemukan teknologi. Ini bukti bahwa bukan teknologi yang menentukan waktu shalat tetapi teknologi yang diprogram agar sesuai dengan hadits. Begitu juga dengan waktu-waktu shalat maktubah yang lain. Dengan kecanggihan teknologi hisab, maka waktu shalat bisa ditentukan dengan tepat sebagaimana jam jadwal waktu shalat atau aplikasi jadwal waktu shalat di smartphone dan sejenis gadget lainnya.
Alasan mengapa ru’yah maupun hisab bisa dipakai sebagai penentu waktu shalat, silahkan merujuk 👉 di sini.

KALENDER QAMARIYAH 

Penetapan umur bulan Qamariyah berdasarkan waktu edar bulan yaitu 1 bulan itu diukur 1 revolusi bulan mengelilingi bumi yaitu 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik. Karena newmoon adalah awal bulan di mana terjadinya sesaat setelah konjungsi. Hai ini mengakibatkan awal bulan bisa di pagi, siang, sore, sepertiga malam pertama, kedua atau ketiga dan bisa terjadi di belahan bumi mana pun ketika konjungsi.
Hilal persis seperti bulan sabit setelah gerhana bulan total, hanya saja setelahnya tenggelam di bawah ufuq.  Hilal bahkan bisa tidak terpantau seperti di kawasan yang tidak berpenghuni seperti di pulau kecil, di laut, di kutub Utara atau kutub Selatan.
Penetapan tanggal Qamariyah dimulai maghrib yaitu sesaat setelah piringan atas matahari di bawah horizon (ufuq). Sedangkan newmoon telah terjadi meski hanya seper-sekian detik setelah konjungsi baik di atas maupun di bawah horizon, artinya newmoon bisa terjadi sebelum atau sesudah maghrib.
Dalam hisab astronomi ketika umur newmoon lebih dari 12 jam hingga pukul 00.00, maka itulah awal bulan baru yang berarti umur bulan berjalan 29 hari, jika kurang dari 12 jam maka awal bulan barunya besok yang berarti umur bulan berjalan 30 hari. Karena hal inilah juga adanya tahun Kabisat yaitu penambahan 1 hari sebagai pembulatan setiap 30 tahun.

Metode penetapan awal bulan Qamariyah ada 2 yaitu ru’yah dan hisab, sedang hisab yang populer ada 2 yakni Wujudul Hilal (WH) dan Imkanur Ru’yah (IR). Ketika hisab ditentukan untuk melandasi hukum syari’ah, maka kriteria mengadopsi ru’yah yaitu sudah masuk maghrib (matahari di bawah ufuq) dan hilal di atas ufuq.

WH dari awal hingga sekarang menetapkan bahwa seberapa pun umur hilal asal di atas ufuq sekecil apa pun sudutnya sudah dihitung sebagai awal bulan. Sedangkan IR karena kriterianya berupa variabel, yang awalnya menetapkan minimal 2;3 yang belakangan diperbaharui menjadi 3;6,4 yaitu minimal 3 di atas ufuq dengan sudut elongasi minimal 6,4 dan tidak menjamin di kemudian hari tidak berubah. Pembaharuan ini dipastikan hasilnya lebih mendekati sunnah ru’yah bil 'ain juga berdasarkan penelitian agar lebih realistis, hanya saja beresiko makin memperlebar perbedaan dengan WH.

Kita simulasikan!!!

Ketika ijtimak terjadi saat maghrib yang artinya hilal masih di bawah ufuq yang berarti belum masuk awal bulan. Ketika pertama kali hilal berada di atas ufuq berarti ada jeda waktu selama perjalanan hilal dari piringan bawah hingga di atas ufuq.
Karena merujuk pada hadits, akhir fase bulan mati pada tanggal 29 bulan berjalan. Maka penetapan awal bulan adalah dengan terlihatnya hilal setelah fase bulan mati. Inilah perbedaannya dengan newmoon hisab astronomi.

Kita uraikan hisab WH:

Pada umumnya bahwa manusia banyak yang tinggal di daerah katulistiwa termasuk Indonesia. Bisa dikatakan mayoritas daratan di katulistiwa dihuni oleh manusia. Hanya beberapa negara yang berada di Selatan katulistiwa dengan durasi puasa lebih cepat dan sebelah Utara dengan durasinya lebih lama. Hal ini hanya untuk menekankan bahwa di katulistiwa durasi puasa sekitar 13 jam dan tidak lebih dari 14 jam. 
Dalam lingkar katulistiwa bumi dibagi menjadi 24 zona waktu yang setiap zonanya misal diwakili 24 huruf dari A hingga X. Awal bulan bisa terjadi di mana pun dari A hingga X, Ketika pertama hilal di atas ufuq dan matahari di bawah ufuq, maka hilal dinyatakan wujud, inilah awal bulan kriteria WH.
Misal setelah dihisab, di kawasan A dinyatakan awal bulan, maka 1 jam kemudian hilal dinyatakan wujud di kawasan B dan terakhir di kawasan X dengan umur hilal 1/24, 2/24 hingga 24/24 (1 hari). Ketika di kawasan A memastikan esok puasa, maka di kawasan B secara hisab haram menetapkan esok puasa hingga 1 jam kemudian ketika hilal dinyatakan wujud, apalagi di kawasan setelahnya (Barat) hingga kawasan X. Tetapi penetapan kawasan B berlaku untuk kawasan B dan A, seterusnya kawasan C untuk C, B dan A terakhir kawasan X untuk X s/d A sebagaimana hadits [8] berikut klik 👉 di sini.
Jika Maghrib jam 18.00 setempat, maka beberapa saat kemudian ketika pukul 24.00 (GMT) akan terjadi pergantian hari. Hal ini menjadikan di kawasan A hingga pukul 24.00 GMT berpuasa esok hari sedang wilayah setelahnya hingga kawasan X berpuasa esok lusa. Agar lebih jelas lihat simulasi jadwal awal bulan Qamariyah 👉 di sini.
Inilah penyebab terjadinya 2 mathla’ apa pun sistemnya, sebagaimana hadits [12 dan 14] klik 👉 di sini.
Jadi yang berpaham dunia 1 mathla' dipastikan kawasan mathla' 2 mengawali puasa Ramadhan di akhir bulan Sya'ban, juga berlebaran di akhir bulan Ramadhan
Kesalahah fatal semua ahli astromi muslim di dunia apalagi yang kafir bahwa umur hilal 1 hari (24 jam) dalam kalender Qamaryah itu dihisab dari maghrib hari ini sampai maghrib esok hari yang realitanya dalam kalender Syamsiyah dihitung 2 hari.
Karena terkecoh hanya berpedoman tinggi hilal di atas ufuq, maka di sinilah muncul kerancuan. Padahal yang wajib dipedomani adalah umur hilal, meski tinggi hilal hingga 14,9...9 dan berbeda hari kalau umur hilal belum 1 hari (24 jam), maka ini masih hari pertama awal bulan Qamariyah
Sayangnya WH ini tidak bisa memastikan lokasi mana yang pertama kali ditentukan sebagai awal bulan di permukaan bumi ini dan hanya bisa menentukan posisi hilalnya saja.

Hisab IR:

Sebagaimana WH karena metodenya juga hisab, maka IR juga tidak bisa memastikan di mana pertama kali lokasi awal bulan.
Karena mematok wilayah sebagai satu mathla' di bawah MABIMS (Menteri Agama: Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura), maka awal bulan ditetapkan sebagaimana kriterianya dan sebagai lokasi acuannya Provinsi Aceh (WIB). Maka wajar saja jika kawasan sebelah Timur provinsi Aceh ditolak kesaksian melihat hilal jika di daerah acuan belum terlihat hilal. Apakah penentuan mathla’ ini benar secara hisab? Jika suatu ketika awal bulannya di kawasan WITA atau WIB atau berikutnya bagaimana? 

Dan mengapa juga semua hadits tentang penetapan awal bulan hanya berkutat tentang bulan Ramadhan? Karena penentuan waktu puasa pasti bisa diterapkan di bulan selainnya yang tidak ada pembatasan tetapi pasti tidak berlaku sebaliknya. Juga berlaku di bulan lain ketika dilakukan puasa Senin-Kamis, ayyamul bidh dan lain-lain.

Dalam sistem hisab ada beberapa hal yang diabaikan:

1.   Bumi selain berkontur dengan ada gunung dan lembah, ada pulau besar dan kecil, ada daratan dan lautan dan dipastikan tidak bulat seperti bola

2.  Cuaca mendung, berkabut atau adanya debu, asap dan sejenis
3.   Tidak semua permukaan bumi berpenghuni
4.  Tidak terlihatnya hilal dengan teleskop apalagi mata telanjang

Maka setiap tanggal 29 bulan Qamariyah diasumsikan:
1.  Bumi seperti bola yang semua adalah daratan hingga di mana pun bisa untuk meru’yah hilal
2.  Setiap awal bulan, cuaca pasti cerah dengan kondisi langit lebih bening dari kaca
3. Semua permukaan bumi hanya berisi manusia yang sedang melihat ke ufuq
4.  Mata manusianya setara dengan super teleskop sebab kalau bumi isinya teleskop semua, lalu siapa yang mengoperasionalkannya.

Dengan simulasi di atas, dipastikan bahwa penentu awal bulan tetap wajib dengan ru’yah bil fi'li dan wajib dilakukan, sedang hisab hanya sebagai pokok penunjang?
Sistem hisab dipastikan tidak bisa menentukan lokasi di mana pertama kali hilal terlihat sehingga dipastikan juga tidak bisa menentukan mathla' 2. Bisa jadi kawasan yang ditentukan tidak berpenduduk, tempat yang memang tidak bisa untuk meru’yah dan bisa jadi karena cuaca.
Maka cara satu-satunya yang pasti bisa menentukan awal bulan hanya ru’yah dan ini pun dipastikan tidak bisa menjadikan satu dunia satu mathla’.

Kesimpulan:

Awal bulan Qamariyah pasti terjadi 2 mathla' yaitu mathla' 1 dan hari berikutnya mathla' 2.
Jika dalam satu mathla' berbeda haripasti yang salah sistem hisab karena pasti mendahului dan yang benar pasti sistem ru'yah baik di mathla' 1 atau 2.
Siapa pun yang memaksakan kehendak bahwa satu dunia satu mathla', berarti telah memperkosa hukum Allah yang merupakan kejahatan syar'iyah serius.

Demikianlah pemaparan saya semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin.
تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......
“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”

Wallahu a’lam bish shawwab
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Muara Bulian (Jambi), 28 Dzulhijjah 1443 H
اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي 

Catatan: Telah disunting judul dan isi