26 Agustus 2020

BID’AHKAH MELAKUKAN AJN DALAM SHALAT FARDHU?
TANGAN ATAU LUTUTKAH DAHULU KETIKA SUJUD DAN BANGUN?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad ﷺ beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Ini adalah tulisan saya selanjutnya, tiada lain sebagaimana tulisan sebelumnya yaitu masih berkisar seputar kaidah hukum fiqh shalat yang masih menjadi khilafiyah. Dengan tidak mengesampingkan pendapat ulama terdahulu, saya berupaya mengurai permasalahan ini dengan metode yang belum pernah ditempuh oleh ulama sebelumnya. Semoga metode ini bisa menjadi rujukan dan juga menjadikan titik awal pengembangan metode-metode baru dalam pemecahan hukum-hukum yang masih menjadi khilafiah yang belum terpecahkan. Dengan kemajuan zaman yang begitu pesat dari media cetak ke digital hingga pencarian sumber-sumber hadits yang terkait lebih mudah, dengan lebih banyak hadits yang kita dapati tentunya akan lebih akurat dalam beristinbath. Semoga ke depan lebih banyak dan lebih sempurna bermunculan kitab-kitab hadits baik berupa media cetak maupun elektronik.

Sebelumnya marilah kita menilik dasar kaidah hukum shalat secara normal yaitu berlaku umum (amm), baik yang normal maupun yang punya keterbatasan baik yang kurus maupun yang gemuk. Keadaan seperti ini belaku untuk orang yang bisa melihat atau orang yang buta, begitu pun kondisi gelap karena malam juga pada waktu shubuh (kita berasumsi pada zaman Rasulullah ﷺ).

Simak beberapa hadits berikut:

صحيح البخاري ٣٩٣: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ وَأَبَا سَعِيدٍ حَدَّثَاهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي جِدَارِ الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَ حَصَاةً فَحَكَّهَا فَقَالَ إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَخَّمَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ الْيُسْرَى

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Sa'd telah mengabarkan kepada kami Ibnu Syihab dari Humaid bin 'Abdurrahman bahwa Abu Hurairah dan Abu Sa'id keduanya menceritakan,
bahwa Rasulullah ﷺ melihat ludah pada dinding masjid, beliau lalu mengambil batu kerikil kemudian menggosoknya. Setelah itu beliau bersabda: "Jika salah seorang dari kalian meludah maka janganlah ia membuangnya ke arah depan atau sebelah kanannya, tetapi hendaklah ia lakukan ke arah kirinya atau di bawah kaki (kirinya)." (Shahih Bukhari 393, 394; Sunan Ibnu Majah 753; Musnad Ahmad 4.645, 6.024, 7.291, 11.125, 11.410, 11.445, Sunan Darimi 1.362)

صحيح البخاري ٥٠٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ مُقَاتِلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنِي غَالِبٌ الْقَطَّانُ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالظَّهَائِرِ فَسَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad -yakni Ibnu Muqatil- berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami Khalid bin 'Abdurrahman telah menceritakan kepadaku Ghalib Al Qaththan dari Bakar bin 'Abdullah Al Muzani dari Anas bin Malik ia berkata,
"Jika kami shalat di belakang Rasulullah ﷺ pada shalat Zhuhur saat udara panas, kami sujud beralaskan pakaian kami untuk menghindari panasnya pasir." (Shahih Bukhari 509, Sunan Ibnu Majah 1023)

صحيح البخاري ١٠٠٥: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْأَسْوَدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَرَأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّجْمَ بِمَكَّةَ فَسَجَدَ فِيهَا وَسَجَدَ مَنْ مَعَهُ غَيْرَ شَيْخٍ أَخَذَ كَفًّا مِنْ حَصًى أَوْ تُرَابٍ فَرَفَعَهُ إِلَى جَبْهَتِهِ وَقَالَ يَكْفِينِي هَذَا فَرَأَيْتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ قُتِلَ كَافِرًا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Ghundar berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Ishaq berkata; aku mendengar Al Aswad dari 'Abdullah radliallahu 'anhu berkata:
"Nabi ﷺ membaca surah An-Najm ketika berada di Makkah. Maka Beliau sujud tilawah begitu juga orang-orang yang bersama Beliau. Kecuali ada seorang yang tua, dia hanya mengambil segenggam kerikil atau tanah lalu menempelkannya pada mukanya seraya berkata; "Bagiku cukup begini". Di kemudian hari aku melihat orang itu terbunuh dalam kekafiran". (Shahih Bukhari 1005, 1008, 3564, 3676; Shahih Muslim 902; Sunan Abu Daud 1.197; Musnad Ahmad 3.614, 3.951, 4.014, 4.173; Sunan Darimi 1.429)

صحيح مسلم ١٤١٩: و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib -Yahya berkata- telah mengabarkan kepada kami -sementara dua orang yang lain berkata-telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ia berkata;
Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang berwudlu, lalu ia menyempurnakan wudlunya, kemudian mendatangi Jum'at, mendengarkan (khutbah) tanpa berkata-kata, maka akan diampuni (dosa-dosa yang dilakukannya) antara hari itu dengan hari Jum'at yang lain, ditambah tiga hari. Dan barangsiapa yang memegang-megang (memain-mainkan) batu kerikil, maka ia telah berbuat kesia-siaan." (Shahih Muslim 1419; Sunan Abu Daud 886; Sunan Tarmidzi 458; Sunan Ibnu Majah 1.080; Musnad Ahmad 9.120)

سنن أبي داوود ٨٠٨: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا ذَرٍّ يَرْوِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَإِنَّ الرَّحْمَةَ تُوَاجِهُهُ فَلَا يَمْسَحْ الْحَصَى

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari Abu Al Ahwash -seorang syaikh dari penduduk Madinah- bahwa dia mendengar Abu Dzar meriwayatkan dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
"Apabila salah seseorang dari kalian sedang mengerjakan shalat, maka rahmat berada di hadapannya, oleh karena itu janganlah ia menyingkirkan kerikil yang ada di hadapannya!." (Sunan Abu Daud 808; Sunan Tarmidzi 346; Sunan Nasa’i 1.178; Sunan Ibnu Majah 1.017; Musnad Ahmad 20.367, 20.369, 20.475; Sunan Darimi 1.352)

سنن النسائي ١٠٧١: أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِكُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ فَآخُذُ قَبْضَةً مِنْ حَصًى فِي كَفِّي أُبَرِّدُهُ ثُمَّ أُحَوِّلُهُ فِي كَفِّي الْآخَرِ فَإِذَا سَجَدْتُ وَضَعْتُهُ لِجَبْهَتِي

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Abbad dari Muhammad bin 'Amr dari Sa'id bin Al Harits dari Jabir bin 'Abdullah dia berkata;
"Kami pernah shalat Zhuhur bersama Rasulullah ﷺ, lalu aku mengambil segenggam kerikil di telapak tanganku untuk kudinginkan. Kemudian aku pindahkan ke telapak tanganku yang lain, dan jika aku sujud maka aku letakkan kerikil itu pada dahiku." (Sunan Nasa’i 1.071; Sunan Abu Daud 338;; Musnad Ahmad 13.928)

مسند أحمد ١٧٠٤٩: حَدَّثَنَا مُوسَى حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي عِمْرَانَ وَسُلَيْمَانَ بْنِ زِيَادٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ جَزْءٍ الزُّبَيْدِيِّ قَالَ
أَكَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شِوَاءً فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَضَرَبْنَا أَيْدِيَنَا فِي الْحَصَى ثُمَّ قُمْنَا فَصَلَّيْنَا وَلَمْ نَتَوَضَّأْ

Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Khalid bin Abi Imran dan Sulaiman bin Ziyad Al Hadlrami dari Abdullah bin Harits bin Juz` Az Zubaidi ia berkata,
"Kami makan daging bersama Rasulullah ﷺ di Masjid, lalu Iqamah shalat dikumandangkan, maka kami pun mengusapkan kedua tangan kami ke pasir lalu shalat tanpa berwudlu lagi." (Musnad Ahmad 17.049, Sunan Ibnu Majah 3.302)

موطأ مالك ٢١٧: و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ
رَأَى رَجُلَيْنِ يَتَحَدَّثَانِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَحَصَبَهُمَا أَنْ اصْمُتَا

Muwatha’ Malik 217: Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Nafi', bahwa Abdullah bin Umar
melihat dua orang laki-laki yang mengobrol ketika imam sedang berkhutbah pada Hari Jum'at. Maka ia pun melemparnya dengan kerikil agar mereka berdua diam." (Muwatha’ Malik 217)

موطأ مالك ٣٣٥: حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْقَارِئِ أَنَّهُ قَالَ
رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ إِذَا أَهْوَى لِيَسْجُدَ مَسَحَ الْحَصْبَاءَ لِمَوْضِعِ جَبْهَتِهِ مَسْحًا خَفِيفًا

Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Abu Ja'far Al Qari, bahwa dia berkata;
"Saya melihat Abdullah bin Umar ketika turun sujud, mengusap kerikil untuk tempat keningnya dengan usapan yang ringan." (Muwatha’ Malik 335)

سنن أبي داوود ٣٨٧: حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ تَمَّامِ بْنِ بَزِيعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ سُلَيْمٍ الْبَاهِلِيُّ عَنْ أَبِي الْوَلِيدِ سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ
عَنْ الْحَصَى الَّذِي فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ مُطِرْنَا ذَاتَ لَيْلَةٍ فَأَصْبَحَتْ الْأَرْضُ مُبْتَلَّةً فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَأْتِي بِالْحَصَى فِي ثَوْبِهِ فَيَبْسُطُهُ تَحْتَهُ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ قَالَ مَا أَحْسَنَ هَذَا

Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Tammam bin Bazi' telah menceritakan kepada kami Umar bin Sulaim Al Bahili dari Abu Al Walid, Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar
tentang kerikil yang berada di masjid? Dia menjawab; Pada suatu malam hujan turun kepada kami sehingga membuat tanah masjid basah (becek), maka ada seorang lelaki membawa kerikil dengan pakaiannya lalu menghamparkannya di bawahnya. Kemudian ketika Rasulullah ﷺ selesai melaksanakan shalat, beliau bersabda: "Alangkah bagusnya ini". (Sunan Abu Daud 387)

Berdasarkan hadits-hadits di atas bisa kita ketahui bahwa kondisi lantai masjid saat itu berupa material tanah, pasir dan kerikil, pun dengan banyaknya jama’ah haji yang melontar jumrah dengan kerikil, ini membuktikan akan kondisi tanah secara umum di sana ketika itu.
Bahkan hingga zaman khalifah Utsman رضي الله عنه pun tidak ada renovasi lantai berdasarkan hadits berikut:
<

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ حَدَّثَنَا نَافِعٌ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ
أَنَّ الْمَسْجِدَ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَبْنِيًّا بِاللَّبِنِ وَسَقْفُهُ الْجَرِيدُ وَعُمُدُهُ خَشَبُ النَّخْلِ فَلَمْ يَزِدْ فِيهِ أَبُو بَكْرٍ شَيْئًا وَزَادَ فِيهِ عُمَرُ وَبَنَاهُ عَلَى بُنْيَانِهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّبِنِ وَالْجَرِيدِ وَأَعَادَ عُمُدَهُ خَشَبًا ثُمَّ غَيَّرَهُ عُثْمَانُ فَزَادَ فِيهِ زِيَادَةً كَثِيرَةً وَبَنَى جِدَارَهُ بِالْحِجَارَةِ الْمَنْقُوشَةِ وَالْقَصَّةِ وَجَعَلَ عُمُدَهُ مِنْ حِجَارَةٍ مَنْقُوشَةٍ وَسَقَفَهُ بِالسَّاجِ


Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim bin Sa'd berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Shalih bin Kaisan berkata, telah menceritakan kepada kami Nafi' bahwa 'Abdullah bin 'Umar mengabarkan kepadanya,
"Bahwa pada masa Rasulullah ﷺ Masjid dibangun dengan menggunakan tanah liat yang dikeraskan (bata). Atapnya dari dedaunan sedangkan tiangnya dari batang pohon kurma. Pada masanya Abu Bakar tidak memberi tambahan renovasi apa pun, kemudian pada masanya Umar bin Al Khaththab ia memberi tambahan renovasi, Umar merenovasi dengan batu bata dan dahan batang kurma sesuai dengan bentuk yang ada di masa Rasulullah ﷺ. Tiang utama ia ganti dengan kayu. Kemudian pada masa Utsman ia banyak melakukan perubahan dan renovasi, dinding masjid ia bangun dari batu yang diukir dan batu kapur. Kemudian tiang dari batu berukir dan atapnya dari batang kayu pilihan" (Shahih Bukhari 427)

 

Berdasarkan hal di atas, kita simulasikan cara sujud dan bangkit dari sujud yang dilakukan Rasulullah dan para shahabat dalam shalat berikut ini.
Ambillah pasir dan kerikil lalu kita tebarkan kedua benda tersebut di halaman yang kondisinya masih berupa tanah seluas cukup untuk kita melakukan sujud. Letakkan satu kerikil masing-masing di tempat yang jika kita sujud mengenai kening (jidat), kedua telapak tangan, kedua lutut dan di kedua tempat ketika melakukan ajn (mengepalkan tangan seperti orang membuat adonan roti). Pakailah pakaian shalat yang biasa kita gunakan kemudian kita lakukan sujud dengan tanpa alas sajadah/tikar/ambal dari i’tidal/berdiri lalu turun sujud sebagaimana dalam shalat dengan dua cara yaitu:

1. Turun sujud dengan kedua tangan dahulu baru diikuti dengan kedua lutut.
2. Turun sujud dengan kedua lutut dahulu baru diikuti dengan kedua tangan.

Apa yang kita dapati dengan dua keadaan tersebut?
Cara pertama bisa dilakukan, karena telapak tangan (perut tangan) kita qadarullah seperti bantal sehingga dapat dijadikan tumpuan untuk menahan dari kerikil, pun dengan kedua lutut dan kening. Jika lutut kita terasa terkena kerikil, maka kita bisa menggeser lutut atau menyisihkan kerikil dengan lutut agar terhindar darinya. Berbeda dengan cara yang kedua, kita tidak mungkin bisa menghindari kedua lutut terkena kerikil, bagaimana rasanya? Tentu sangat menyakitkan, apalagi bagi orang yang berbadan gemuk bisa-bisa menjerit kesakitan. Lalu bagaimana bangkit setelah sujud kedua untuk melakukan ajn?

Kita kondisikan dalam dua cara yaitu:

1.  Bangkit dengan kedua lutut dahulu baru diikuti dengan kedua tangan.
2Bangkit dengan kedua tangan dahulu baru diikuti dengan kedua lutut.

Mungkinkah cara pertama bisa kita lakukan? Ketika bangkit dari sujud, lutut kita lebih dahulu diangkat. Posisi kedua tangan sebagai tumpuan karena badan kita condong ke depan, jika kita melakukan ajn harus secepatnya jika tidak, maka kita akan terjerembab/ tersungkur. Bayangkan pada posisi ini jika kita melakukan ajn dan terkena kerikil! Akan sangat menyakitkan sekali dan jika menyebabkan luka dan mengucurkan darah, maka berpotensi membatalkan shalat. Jangankan terkena kerikil terkena pasir saja sudah menyakitkan apalagi bagi mereka yang berbadan gemuk. Posisi seperti ini pun bisa menyebabkan jari-jari kita berbunyi hingga melanggar hadits tentang larangan membunyikan jari-jari ketika shalat, juga berpotensi terkelis (trauma sendi). Dalam posisi jongkok setelahnya memang bisa dilakukan ajn tetapi apa gunanya karena posisi ini siap untuk berdiri dan tidak perlu tumpuan tangan.

Dan mungkinkah cara kedua bisa kita lakukan juga? Ketika bangkit dari sujud, tangan kita lebih dahulu diangkat dengan posisi lutut masih di tanah. Kita duduk lalu melakukan ajn dengan mengepalkan kedua tangan dan bertumpu dengan keduanya lalu bangkit. Ajn ini tidak mungkin dilakukan sebelum duduk terlebih dahulu, sedangkan gerakan duduk lebih besar, lebih nyata dan lebih dahulu dilakukan dari pada ajn, tetapi mengapa gerakan duduk ini tidak diriwayatkan? Jika duduk yang dimaksud adalah duduk tegak sebagaimana yang diriwayatkan Malik bin Huwairts atau hadits Abu Humaidi, seperti yang nantinya saya jelaskan di bawah, maka ini hanya ada di shalat sunnah empat rakaat satu tasyahud

Yang kita dapati dari hadits Wa’il bin Hujr bahwa, beliau berkata:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ، وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ، رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.

"Aku melihat Rasulullah , jika beliau bersujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (HR: Abu Daud 1/134, Nasa’i 1/165, Tirmidzi 2/56, Darimi 1/303, Thahawi 1/150, Ibnu Hibban 487, Hakim 1/226, Baihaqi 2/98, Daruquthni 131, 132)

Ini dalil yang menerangkan tentang cara turun dan bangkit dari sujud, sedangkan hadits-hadits yang lain hanya menerangkan cara turun sujud saja atau bangkit dari sujud saja. Hadits ini menyelisihi cara turun dan bangkit sebagaimana yang diterangkan di atas. Jadi bagaimana yang sebenarnya? Apakah hadits ini memang dha’if? Kalau kita jeli dalam memahami hal ini, maka akan ada cara untuk mengkompromikan.
Jika turun sujud dengan lutut lebih dahulu sangat dimungkinkan bahwa salah satu dari sekian banyak shahabat terkena kerikil di lututnya, bahkan bisa terjadi beberapa kali dan beberapa orang yang terkena. Dengan begitu tentunya akan ada cara untuk mengatasinya sebagaimana hadits Anas bin Malik menghamparkan kainnya untuk menahan panasnya pasir ketika sujud, hadits Jabir yang mendinginkan segenggam kerikil ke tangan lainnya untuk tempat keningnya bersujud dan hadits Abu Walid menghindari becek. Mengapa hal seperti ini tidak ada yang meriwayatkan?, berarti peristiwa seperti ini memang tidak pernah terjadi. Dalam situasi yang seperti ini berarti hadits Wa’il bin Hujr tidak relevan sebagai hujjah.

Perhatikan beberapa hadits berikut!

صحيح البخاري ٣٦٦: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ عَنْ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ مَيْمُونَةَ قَالَتْ
أَنَّ الْمَسْجِدَ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَبْنِيًّاكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَنَا حِذَاءَهُ وَأَنَا حَائِضٌ وَرُبَّمَا أَصَابَنِي ثَوْبُهُ إِذَا سَجَدَ قَالَتْ وَكَانَ يُصَلِّي عَلَى الْخُمْرَةِ


Telah menceritakan kepada kami Musaddad dari Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Asy Syaibani dari 'Abdullah bin Syidad dari Maimunah ia berkata,
"Pernah Rasulullah shalat sementara aku berada di sampingnya, dan saat itu aku sedang haid. Dan setiap kali beliau sujud, pakaian beliau mengenai aku. Dan beliau shalat di atas tikar kecil." (Shahih Bukhari 366, 368; Shahih Muslim 1.057; Sunan Abu Daud 560)

صحيح البخاري ٤٧٨: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
أَعَدَلْتُمُونَا بِالْكَلْبِ وَالْحِمَارِ لَقَدْ رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيرِ فَيَجِيءُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيرَ فَيُصَلِّي فَأَكْرَهُ أَنْ أُسَنِّحَهُ فَأَنْسَلُّ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْ السَّرِيرِ حَتَّى أَنْسَلَّ مِنْ لِحَافِي

Telah menceritakan kepada kami 'Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Ibrahim dari Al Aswad dari 'Aisyah berkata,
"Apakah kalian menyamakan kami dengan anjing dan keledai? Sungguh, aku pernah berbaring di atas tikar, lalu Nabi ﷺ datang dan berdiri melaksanakan shalat di tengah tikar. Aku tidak ingin mengganggu beliau, maka aku geser kakiku pelan-pekan dari tikar hingga aku keluar dari selimutku." (Shahih Bukhari 478)

صحيح البخاري ٦٣٠: حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ سِيرِينَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ
قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ الصَّلَاةَ مَعَكَ وَكَانَ رَجُلًا ضَخْمًا فَصَنَعَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَدَعَاهُ إِلَى مَنْزِلِهِ فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا وَنَضَحَ طَرَفَ الْحَصِيرِ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ
فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ آلِ الْجَارُودِ لِأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى قَالَ مَا رَأَيْتُهُ صَلَّاهَا إِلَّا يَوْمَئِذٍ

Telah menceritakan kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah berkata, telah menceritakan kepada kami Anas bin Sirin berkata, aku mendengar Anas bin Malik berkata,
"Seorang laki-laki Anshar berkata, "Aku tidak dapat shalat bersama Tuan." Lelaki tersebut seorang yang besar badannya. Dia menyiapkan makanan untuk Nabi ﷺ, lalu dia mengundang beliau datang ke rumahnya, kemudian dia menghamparkan tikar dan memercikinya dengan air untuk beliau gunakan shalat. Setelah itu beliau shalat dua rakaat di atas tikar tersebut."
Seorang lelaki dari keluarga Al Jarud berkata kepada Anas bin Malik, "Apakah Nabi ﷺ tadi melaksanakan shalat Dluha?" Anas bin Malik menjawab, "Aku belum pernah melihat beliau mengerjakannya kecuali pada hari itu."
(Shahih Bukhari 630, 813, 5.616; Sunan Tarmidzi 217; Sunan Nasa’i 792; Musnad Ahmad 11.890, 12.049, 12.219; Muwatha’ Malik 326; Sunan Darimi 1.256)

صحيح البخاري ٥٤١٣: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَحْتَجِرُ حَصِيرًا بِاللَّيْلِ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ وَيَبْسُطُهُ بِالنَّهَارِ فَيَجْلِسُ عَلَيْهِ فَجَعَلَ النَّاسُ يَثُوبُونَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ حَتَّى كَثُرُوا فَأَقْبَلَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abu Bakr telah menceritakan kepada kami Mu'tamir dari 'Ubaidullah dari Sa'id bin Abu Sa'id dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Aisyah رضي الله عنها
bahwa pada suatu malam Nabi ﷺ pernah membuat sekat (di dalam masjid) dengan tikar lalu shalat di dalamnya, dan menghamparkannya di siang hari untuk duduk, ternyata orang-orang berkumpul di sekeliling Nabi ﷺ untuk mengerjakan shalat sebagaimana beliau shalat, hingga orang-orang semakin banyak, lalu beliau menghadap (kepada mereka) dan bersabda: "Wahai sekalian manusia, beramalah menurut yang kalian sanggupi, sesungguhnya Allah tidak akan bosan sehingga kalian merasa bosan, sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan secara kontinyu walaupun sedikit." (Shahih Bukhari 5.413)

سنن النسائي ١٠٧٨: أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَسَنٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَيَبْرُكَ كَمَا يَبْرُكُ الْجَمَلُ

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Nafi' dari Muhammad bin 'Abdullah bin Hasan dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dia berkata;
"Rasulullah bersabda: 'Hendaklah Salah seorang dari kalian dalam shalatnya turun (untuk sujud) seperti turunnya unta, yaitu meletakkan kedua lututnya lebih dahulu sebelum kedua tangannya’."' (Sunan Nasa'i 1078 juga diriwayatkan dalam Sunan Tirmidzi 249)

Menghukumi lemahnya hadits turun sujud dengan lutut dahulu untuk shalat fardhu adalah wajar tetapi secara umum tidaklah benar. Penilaian seperti ini sesungguhnya sangat keliru karena secara ushul fiqh bahwa hal ini masih bisa dilakukan kompromi sebagai berikut:

1. yang menyaksikan/ mengetahui sesuatu lebih diutamakan dari yang tidak
2. banyaknya periwayat yang lebih dimungkinkan tidak bersekutu dalam berdusta
3. adanya penguat hadits lain
4. meyakinkan masih bisa dijadikan hujjah untuk amalan selainnya

Hadits ini membuktikan bahwa turun sujud dengan lutut dahulu diikuti kedua tangannya dan bangkit dengan tangan terlebih dahulu baru diikuti kedua lututnya yang berarti menandakan bahwa shalat yang seperti ini adalah shalat sunnah yang dilakukan di rumah. Dan saya menegaskan bahwa hadits ini shahih.

Jadi bagaimana cara melakukan ajn?

Coba perhatikan dengan seksama,  hal ini hanya bisa dilakukan jika kita melakukan duduk yaitu duduk tegak lebih dahulu setelah sujud kedua (karena hanya ini yang ada dalam periwayatan/hadits) kemudian mengepalkan tangan dan meletakkan di tanah untuk melakukan ajn dan bangkit dengan lutut dahulu baru diikuti dengan kedua tangan. Sedangkan duduk tegak hanya terdapat dalam shalat sunnah empat rakat satu tasyahud. Ini membuktikan bahwa ajn hanya dilakukan pada shalat sunnah empat rakaat satu tasyahud dan dilakukan di rumah bukan di masjid .

Bagaimana jika ajn ini dilakukan setelah tasyahud awal?

Selain kondisi lantai di masjid saat itu, juga suatu yang sangat ganjil jika orang melakukan hal ini. Karena tidak satu pun hadits atau atsar yang menerangkan akan adanya hal ini, jika ada dalam shalat fardhu tentunya akan dilakukan empat kali sehari yang tentunya akan dilakukan juga oleh para shahabat hingga mustahil terluput dari salah satu shahabat untuk meriwayatkannya.
Adanya kerikil yang dimungkinkan berada di tempat-tempat seperti kening/jidat, dua telapak tangan, kedua lutut dan kedua tempat ajn atau tempat lain adalah simulasi yang bisa saja terjadi di semua tempat, di beberapa tempat atau salah satu darinya.

Pembuktian secara dalil

Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas رضي الله عنه:

أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُلَى الْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ

“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ jika beliau (hendak) berdiri dalam shalatnya, beliau meletakkan kedua tangannya di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh al-‘ajin (orang yang melakukan ‘ajn)”.
Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish Al-Habir (1/466) dan An-Nawawy dalam Al-Majmu’ (3/421).

Berkata Al-Azroq bin Qois rahimahullah :

أَنَّ رَسُولُرَأَيْتُرَأَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ وَهُوَ يَعْجِنُ فِي الصَّلاَةِ, يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ. فَقُلْتُ : مَا هَذَا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَ : رَأَيْتُ رسَوُلْ َاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَعْجِنُ فِي الصَّلاَةِ, يَعْنِي اعْتَمَدَ

Saya melihat ‘Abdullah bin ‘Umar dalam keadaan melakukan ‘ajn dalam shalat, i’timad di atas kedua tangannya bila beliau berdiri. Maka saya bertanya : “Apa ini wahai Abu ‘Abdirrahman?”, beliau berkata “Saya melihat Rasulullah ﷺ melakukan ‘ajn dalam shalat –yaitu beri’timad”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Awsath (4/213/4007) dan Abu Ishaq Al-Harby dalam Gharibul Hadits (5/98/1) sebagaimana dalam Adh-Dha’ifah no. 967 dari jalan Yunus bin Bukair dari Al-Haitsam dari ‘Athiyah bin Qois dari Al-Azroq bin Qois.

Perhatikan kedua hadits tersebut di atas, jika ajn ini ada dalam shalat fardhu tentunya Al-Azroq bin Qois tidak perlu menanyakan akan hal ini, apa sebab?. Tentunya akan ia lihat shahabat lainnya pun ada yang melakukan karena kepatuhan juga untuk menjaga sunnah Nabi . Selain itu jika ajn ini ada pada shalat fardhu, tata cara pelaksanaannya yaitu diawali dengan takbir intqal lalu duduk tegak kemudian melakukan ajn kemudian takbir intiqal lagi untuk berdiri. Takbir intiqal sebelum duduk tegak ini bukan karena adanya ajn tetapi karena adanya duduk tegak, dan ajn hanya mungkin dilakukan dengan duduk dahulu, sedangkan duduk setelah sujud ke dua hingga bangun yang diriwayatkan hanyalah duduk tegak sebagaimana hadits Abu Humaidi رضي الله عنه (lihat, Sifat Shalat Nabi; jilid 2; hal : 251-252) dan haditsnya Malik bin Huwairits (Sifat Shalat Nabi jilid 3; hal : 11-12). Dan takbir intiqal sebelum berdiri sebagaimana takbir intiqal lainnya yaitu perpindahan gerakkan ke gerakan yang lain (bangun). Jika hal ini dilakukan pada shalat fardhu empat rakaat berarti takbirnya sudah pasti lebih dari dua puluh dua kali (22 X), sedangkan hal ini dibantah keras oleh Ibnu Abbas رضي الله عنه (Shahih Bukhari 746; Fathul Baari 788).

Perhatikan pula hadits Al-Azroq di atas, suatu hal yang sangat aneh, jika seorang tabi’in bertanya dengan nada cenderung pengingkaran teradap salah seorang shahabat, apa sebab? Kejadian ini ia lihat di rumah, jika ia lihat di masjid tentunya ia akan jumpai pula para shahabat yang lainnya ada melakukannya. Pengingkaran Al-Azroq ini tentunya berdasarkan tidak dijumpainya para shahabat yang lainnya melakukan ajn pada shalat sunnah empat raka’at satu tasyahud di masjid. Namun ketika ‘Abdullah bin Umar menjawab, “Saya melihat Rasulullah ﷺ melakukan ‘ajn dalam shalat”, mengapa Al-Azroq tidak membantah bahwa shahabat lain tidak melakukan ‘ajn?. Secara umum sudah dipahami sepenuhnya bahwa hal seperti ini adalah amalan khusus yang dilakukan di rumah, begitu pun dengan para shahabat yang lainnya yang melakukannya juga di rumah. Sehingga sangatlah wajar jika orang terkemudian menghukumi hadits ‘ajn ini sebagai hadits yang dha’if dalam shalat fardhu.

Kesimpulan:

Jadi ajn adalah amalan dalam shalat yang hanya ada di shalat sunnah empat rakaat satu tasyahud yang dilakukan di rumah yang berarti bid’ah dilakukan pada shalat selainnya.
Ketika turun sujud, maka tangan lebih dahulu turun dari pada lutut dan ketika bangun dari sujud, maka lutut lebih dahulu diangkat dari pada tangan pada shalat fardhu dan shalat sunnah di masjid.
Sedangkan ketika shalat sunnah di rumah, ketika turun sujud, maka lutut lebih dahulu turun dari pada tangan dan ketika bangun dari sujud, maka tangan lebih dahulu diangkat dari pada lutut kecuali ketika melakukan ajn.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَن فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنهُ فَهُوَ رَدٌّ. 

Dari ‘Aisyah رضي الله عنها, ia berkata bahwa Nabi  bersabda, “Siapa saja yang mengada-ada tentang urusan (agama) kami, yang tidak kami perintahkan, maka hal itu ditolak.” (HR : Bukhari dan Muslim)

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

 

Demikianlah pemaparan saya semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin..

تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......

“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”

 

Wallahu a’lam bish shawwab


Muara Bulian (Jambi), 17 Syawal 1435 H

اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي

CATATAN: Telah mengalami beberapa kali suntingan 

email 1 : agung_swasana@outlook.co.id

email 2 : agungswasana@gmail.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar