08 Mei 2022

HILAL DI ANTARA RU’YAH DAN HISAB
MANA YANG BENAR?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏لَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏
 

Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah سبحانه وتعالتعال, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

 PROBLEM

Setiap menjelang awal bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah, masyarakat kita yang mayoritas muslim senantiasa menyambutnya dengan antusias karena adanya dua hari raya Ied serta ibadah akbar yang menyertainya. Ketika kedua bulan ini dengan serangkaian ibadahnya dapat dilakukan bersamaan, maka ini sangat didambakan oleh semua kaum muslimin sebagai  suatu ukhuwah. Namun tidak metutup kemungkinan adanya perbedaan karena penentuan masuknya awal kedua bulan ini. Ada yang menyikapi toleransi tetapi ada yang masih ragu, ibarat simalakama, jika mendahului berpuasa atau shalat Ied yang belum waktunya haram, begitu pun masih berpuasa ketika shalat Ied juga haram.  Insya Allah ini sebagai jawabannya.

PEMAPARAN

Materi “Pengantar Ushul Fiqh” di bawah, sebetulnya saya peruntukkan shalat witir. Menyikapi kedaruratan sangat lama tak terselesaikan, maka tema saya alihkan.  Tulisan yang simpel ini dimaksudkan agar orang awam dapat memahami dasar pokok hukum syar’i secara mudah, apalagi ulama dan sama sekali tidak dikonotasikan menggurui apalagi tendensi yang tidak semestinya.

PENGANTAR USHUL FIQH

 
Rasulullah  mewasiatkan kepada umatnya bahwa tidak akan tersesat orang yang berpegang teguh dengan al Qur’an dan hadits. Kedua wasiat tersebut ditujukan bukan hanya untuk kaum muslimin tetapi juga untuk kaum kafir dengan disebutnya “wahai manusia”. Amalan dalam al Qur’an dan hadits terdiri dari 2 (dua) yaitu dunia dan akhirat. Untuk amalan dunia, semua boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Amalan akhirat terdiri dari 2 (dua) aspek yaitu hukum dan ibadah. 

A.  HUKUM
Hukum adalah aturan berupa perintah atau larangan yang bersumber dari Allah سبحانه وتعال yang disampaikan melalui utusan-Nya yang pasti tidak tergantikan oleh siapa pun, di mana pun, kapan pun dan oleh apa pun.

Hukum kedudukannya bertingkat sesuai kadar perintah atau larangannya yaitu : wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram

Mubah/boleh pada dasarnya bukanlah hukum karena merupakan amalan dunia yang tidak ada perintah atau larangannya. Mubah akan menjadi hukum ketika ada perintah berupa sunnah atau wajib sesuai kadarnya, begitu pun dengan larangan berupa makruh atau haram juga sesuai kadarnya. Mubah pun bisa bergeser kedudukannya ketika disanjung atau dicela sesuai dengan kadarnya.

B.  IBADAH
Ibadah adalah tata cara pelaksanaan hukum. Maka pelaksanaan ibadah hanya yang diperintahkan (tauqifiyah) dan yang tidak adalah haram/ dilarang. Dalam ibadah ada yang dilakukan perorangan (nafs) dan kolektif (jama'ah). Ibadah ada yang wajib dilakukan hanya olehnya (fardhu ‘ain) dan ada yang bisa digantikan oleh selainnya. Ketika ibadah yang bisa tergantikan selainnya, maka ini ada 2 (dua) yaitu manusia dan selainnya. Ketika ibadah yang bisa digantikan oleh manusia (orang) lain, maka wajib sesuai dengan yang dijabarkan dalam hadits seperti fardhu kifayah pemulasaraan jenazah, membayarkan hutang dan membadalkan haji orang tua atau orang lain dan sebagainya. Ketika ibadah yang digantikan oleh selain manusia atau sesuatu, maka sesuatu itu wajib mengacu pada ketentuan yang disyariatkan. Contoh: penulisan al Qur'an dengan media pelepah lontar, kulit kayu, kertas dan sekarang dengan gadget; mengeraskan suara adzan dengan amplifier; pergi haji dengan mengendarai unta, mobil, kapal atau pesawat; penanda waktu shalat dengan tongkat dan sinar matahari, jam pasir, jam analog, jam digital atau jam jadwal shalat dan lainya.

Karena al Qur’an sebagai penyempurna dari kitab-kitab samawi sebelumnya, maka di dalamnya pun tercantum perintah (amr) melakukan amalan kaum-kaum sebelum nabi Muhammad . Karena diturunkan lewat al Qur’an, apakah perintah itu berlaku untuk kaum muslimin? Jangankan perintah untuk kaum sebelumnya, bahkan perintah khusus untuk kaum muslimin pun tidak serta-merta bisa diamalkan begitu saja, namun harus mengacu pada perintah atau amalan yang telah dilakukan oleh Rasulullah . Sebagaimana yang disampaikan ibunda kaum muslimin ‘Aisyah رضي الله عنها bahwa akhlaq Rasulullah  adalah al Qur’an, maka tidak mungkin semua perintah yang ada di al Qur’an baik sebelum dan untuk kaum muslimin yang tidak beliau sampaikan atau amalkan. Hal ini beliau tegaskan sendiri dalam sabdanya yang mulia bahwa “Tidak ada amalan sekecil apa pun yang menghantarkan ke Surga dan amalan sekecil apa pun yang menjerumuskan ke Neraka yang tidak beliau sampaikan”.
Jika seseorang berijtihad adanya amalan yang diambil dari nash al Qur’an yang tidak di amalkan atau diajarkan oleh Rasulullah  dipastikan ia telah melakukan kebid’ahan yang nyata bahkan sekalipun ia seorang shahabat. Hierarki hukum syar’i itu dari Kalamullah diturunkan ke Nabi Muhammad  melalui Jibril عليه السلام. Oleh sebab itu yang berhak menjabarkan amalan dalam al Qur'an hanyalah Rasulullah . Selanjutnya setelah dijabarkan atau yang diamalkan oleh Rasulullah  begitu juga dengan hadits, maka pemahamannya wajib mengacu pada para shahabat dan dipastikan tidak selainnya. Karena semua yang bisa dipahami oleh para shahabat pasti bisa dipahami dan diamalkan oleh orang-orang setelahnya. Dan pasti tidak semua pemahaman selain para shahabat yang dapat diterapkan atau diamalkan pada masa para shahabat.
Seiring waktu, hukum pun mengalami perubahan berdasar fakta-fakta yang ditemukan baik hukum Allah عَز وَجَلَ maupun hukum manusia (dunia). Perbedaan yang mencolok bahkan bertolak belakang bahwa hukum manusia terjadi karena adanya perampasan hak orang lain, sehingga dibuatlah aturan. Maka aturan manusia sebagai hukum akan terus dinamis lintas generasi bahkan dalam generasi yang sama pun bisa berbeda karena beberapa faktor. Sehingganya hukum yang dibuat manusia yang awalnya tidak ada akan terus berkembang atau disempurnakan dan pasti terhenti ketika kiamat.
Sedangkan hukum Allah عَز وَجَلَ (syar’i) itu sudah sempurna sebagaimana QS: Al-Maa’idah [5]: 3 yang turunnya berangsur-angsur hingga wafatnya manusia termulia nabi Muhammad . Lalu kenapa hukum Allah عَز وَجَلَ bisa berbeda dalam runutan generasi bahkan dalam satu generasi? Qadarullah karena beberapa faktor terutama dengan ditemukan fakta-fakta hadits. Maka hukum Allah عَز وَجَلَ pun akan terus dinamis seiring fakta-fakta hadits hingga kembali sempurna dan tidak akan kiamat hingga ketetapan Allah سبحانه وتعال yang berlaku. Perlu diingat bahwa hukum Allah عَز وَجَلَ itu telah sempurna sejak kewafatan Rasulullah , maka hukum pun sebagian masih sempurna dan ada yang tidak karena beberapa faktor. Oleh sebab itu hukum yang masih sempurna yang difatwakan oleh ulama-ulama salaf yang diajarkan ke ulama-ulama setelahnya baik secara talaqqi atau yang lain tetap wajib dipedomani.
Untuk kelanjutan materi pengantar ushul fiqh bisa dipelajari 👉 di sini.

Yuk kita bahas tema kita!!!

Persoalan yang paling meruncing dalam penetapan awal bulan qamariyah adalah sistem dan standarisasi. Ketika kedua acuan ini tidak diletakkan pada tempatnya, maka akan timbul khilafiah yang tidak berkesudahan. Sungguh suatu yang sangat aneh jika setiap hukum syar’i, kita pasti sepakat untuk melandasi dengan dalil yang dipahami oleh para sahabat. Sementara dalam penetapan awal bulan qamariyah hingga saat ini kita tidak sadar telah terseret dalam pusaran pemahaman khalaf  bahkan paham kafir.

Kita uraikan:

A.  Sistem


Sistem hanya ada satu yaitu ru’yah (melihat). Penetapan sistem ru’yah diakui secara mufakat, dikarenakan tehnologi yang dianggap manusia lebih sempurna sehingga sistem dan standarisasinya melenceng dari syar'iatKetika pengamatan hilal terhijab mendung, awan, asap atau apa pun itu yang seharusnya tidak masalah karena sudah ada solusinya. Dikarenakan ditemukan sistem perhitungan (hisab) yang hanya sebagai alternaif solusi ini tapi justru disejajarkan bahkan dijadikan pengganti sistem ru’yah. 

Yang lebih memprihatinkan bahwa yang harusnya sistem ru’yah dipaksa dengan sistem prediksi hisab yang merupakan kebenaran semu yang dipastikan tidak akan pernah bisa membuktikan secara ru’yah ketika hilal tertutup oleh awan, debu atau apa pun itu.

Biang keladi kekacauan semua permasalahan ini karena masifnya perkembangan IT (Information and Technology) dengan berbagai platform yang menyuguhkan segudang aplikasi baik berupa hitungan matematis atau animasi tata surya, maka dalil naqly lambat laun terabaikan hingga didominasi bahkan dieliminasi yang berakibat salah dalam beristidlal.

 

B.  Standarisasi


Standarisasi pun tak kalah mengenaskan, karena ditemukan alat yang super canggih seperti teleskop digital. Jangankan hanya melihat bulan bahkan tata surya yang tidak mungkin dilihat mata pun tersaji di mata kita via berbagai media bahkan merambah lewat kotak pintar yang bisa diakses oleh siapa pun di mana pun yang dipakai sebagai pembenaran hukum syar’i ru’yah pengganti “MATA”.

Apalagi dengan pesatnya IT, jangankan hanya perhitungan bahkan aktivitas yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia tertangani olehnya. Apakah ini juga melegalkan pembenaran hisab digital, sedangkan kala itu hanya bisa dipahami oleh para shahabat dengan berbilang jari atau benda di sekitarnya? Miris sekali!!!


Alat/ device, mesin, software, aplikasi atau sesuatu apapun itu, hanyalah buatan manusia yang dipastikan tidak mendadak sempurna dan dipastikan juga tidak akan sempurna. Awal dibuat misal akurasinya 50% atau di bawah itu bahkan gagal total. Seiring waktu dengan adanya penyempurnaan, maka akurasi naik 60%, 70% dan selanjutnya. Ketika ke depan terbukti ada yang lebih akurat, maka nilai keakuratan yang sekarang 100% nantinya pasti turun. Kalau hal seperti ini dipakai untuk melandasi hukum, maka nilai kebenaran hukum hanya akan bersifat relatif, karena kemarin yang benar hari ini bisa salah dan hari ini yang benar ke depan bisa salah dan bisa jadi yang kemarin salah justru hari ini bisa benar.
Sedangkan kebenaran hukum Allah عَز وَجَلَ itu mutlaq, yang dulu benar seterusnya pasti benar tidak akan pernah salah kapan pun di mana pun dan oleh siapa pun.
Baiklah sampai di sini, apakah bisa dipahami? Apakah masih perlu bukti naqly?
Kalau saya bercapek-capek ria mencarinya dan menulisnya, maka kalian yang tinggal menikmati harusnya lebih semangat membaca dan mempelajarinya.
Dalam hal ini pun saya tetap mengacu rumusan pada kesimpulan yang telah dibahas (klik link👉KESIMPULAN) yaitu kita himpun sebanyak mungkin hadits yang sharih, dikelompokkan berdasarkan kriteria, lalu tandai kata atau rangkaian kata yang nantinya diistimbatkan dan kemudian disimpulkan sebagai ketetapan hukum.

A.  Hilal pasti bisa dilihat dengan mata tanpa alat bantu

 

صحيح مسلم ١٨٢١: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا الْبَخْتَرِيِّ قَالَ

أَهْلَلْنَا رَمَضَانَ وَنَحْنُ بِذَاتِ عِرْقٍ فَأَرْسَلْنَا رَجُلًا إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَسْأَلُهُ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَمَدَّهُ لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ

Shahih Muslim 1.821: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu'bah -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepada kami Ibnul Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Amru bin Murrah ia berkata: saya mendengar Abul Bakhtari ia berkata:
Ketika kami berada di Dzat 'Irq, kami melihat Hilal bulan Ramadhan. Lalu kami utus seorang laki-laki kepada Ibnu Abbas untuk menanyakannya. Maka Ibnu Abbas pun berkata: Rasulullah  telah bersabda: "Sesungguhnya Allah telah membentangkannya untuk dilihat. Jika bulan itu tertutup dari pandanganmu, maka sempurnakanlah bilangannya (tiga puluh)."  ..... [1]

(juga diriwayatkan dalam: Musnad Ahmad 2.865, 3.335; Sunan Daruquthni 2.190)


B.  Berpuasa atau berbuka ketika melihat hilal  

 

صحيح البخاري ١٧٦٧: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

وَقَالَ غَيْرُهُ عَنْ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ وَيُونُسُ لِهِلَالِ رَمَضَانَ

Shahih Bukhari 1.767: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata: telah menceritakan kepada saya Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata: telah mengabarkan kepada saya Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bahwa Ibnu 'Umar رضي الله عنهما berkata: Aku mendengar Rasulullah  "Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)."

Dan berkata selainnya dari Al Laits telah menceritakan kepada saya 'Uqail dan Yunus: "Ini maksudnya untuk hilal bulan Ramadhan." ..... [2]

 

صحيح مسلم ١٨١٠: و حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُا

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ

Shahih Muslim 1.810: Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu'adz telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin Ziyad ia berkata: saya mendengar Abu Hurairah رضي الله عنه berkata:
Rasulullah  bersabda: "Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena juga telah melihatnya (terbit kembali), dan jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka hitunglah bilangannya menjadi tiga puluh hari." ..... [3]
(juga diriwayatkan dalam: Sunan Nasa'i 1.539, 2.090, 2.091, 2.099; Sunan Ibnu Majah 1.645; Sunan Abu Daud 1.995; Sunan Darimi 1.629; Musnad Ahmad 1.881, 7.203, 7.448, 9.007, 13.463, 14.001, 18.137, 19.537; Sunan Daruquthni 2.127, 2.130, 2.145, 2.146, 2.152, 2.183, 2.185)
 

C.  Tidak boleh berpuasa atau berbuka jika tidak melihat hilal 

 

صحيح البخاري ١٧٧٣: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Shahih Bukhari 1.773: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar رضي الله عنه bahwa
Rasulullah  menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: "Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)". ..... [4]

سنن الترمذي ٦٢٠: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ

لَا تَقَدَّمُوا الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلَا بِيَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا

قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا أَنْ يَتَعَجَّلَ الرَّجُلُ بِصِيَامٍ قَبْلَ دُخُولِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِمَعْنَى رَمَضَانَ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌKII يَصُومُ صَوْمًا فَوَافَقَ صِيَامُهُ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَهُمْ

Sunan Tirmidzi 620: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dia berkata: Nabi  bersabda:
"Janganlah kalian mendahului berpuasa sehari atau dua hari (sebelum bulan Ramadhan) kecuali jika bertepatan dengan hari puasa yang biasa kalian lakukan, mulailah berpuasa setelah melihat hilal dan berbukalah dengan melihat hilal pula, jika cuaca mendung, maka genapkanlah puasa tiga puluh hari kemudian berbukalah."
(perawi) berkata: dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari sebagian shahabat Nabi . Abu 'Isa berkata: hadits Abu Hurairah merupakan hadits hasan shahih dan diamalkan oleh para ulama, mereka membenci seseorang yang berpuasa sehari sebelum masuk bulan Ramadhan kecuali jika seseorang berpuasa bertepatan dengan hari puasa yang biasa dia lakukan, menurut mereka hal ini tidak menjadi masalah. ..... [5]
(juga diriwayatkan dalam: Sunan Tirmidzi 624; Sunan Abu Daud 1.981; Sunan Nasa'i 2.092, 2.093, 2.097, 2.098; Sunan Darimi 1.622; Musnad Ahmad 5.042, 9.505, 14.143, 18.071; Muwatha' Malik 557, 559; Sunan Daruquthni 2.147, 2.148, 2.149, 2.150; Musnad Syafi'i 470)
 

سنن النسائي ٢٠٩٦: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حُنَيْنٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ

عَجِبْتُ مِمَّنْ يَتَقَدَّمُ الشَّهْرََ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

Sunan Nasa'i 2.096: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin Yazid dia berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru bin Dinar dari Muhammad bin Hunain dari Ibnu 'Abbas dia berkata:
Aku heran terhadap orang yang mendahului bulan, padahal Rasulullah  telah bersabda: "Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya, berbukalah. Jika -hilal- tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah bilangan -bulan- menjadi tiga puluh hari." ..... [6]
(juga diriwayatkan dalam: Musnad Ahmad 1.830; Musnad Syafi'i 911)
 

مسند أحمد ٣٢٩٥: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَابْنُ بَكْرٍ قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرٍ يَقُولُ

كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يُنْكِرُ أَنْ يُتَقَدَّمَ فِي صِيَامِ رَمَضَانَ إِذَا لَمْ يُرَ هِلَالُ شَهْرِ رَمَضَانَ وَيَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَمْ تَرَوْا الْهِلَالَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَمْ تَرَوْا الْهِلَالَ فَاسْتَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ لَيْلَةً

Musnad Ahmad 3.295: Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dan Ibnu Bakr keduanya berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Amru bin Dinar bahwa ia mendengar Muhammad bin Jubair berkata:
Ibnu Abbas mengingkari dimajukannya puasa Ramadhan bila belum terlihat hilal bulan Ramadhan, Ia berkata: Nabi  bersabda: "Apabila kalian belum melihat hilal, maka genapkanlah (Sya'ban) tiga puluh malam." ..... [7]
 

D.  Melihat hilal bulan Syawwal kemarin

 

سنن أبي داوود ٩٧٧: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي وَحْشِيَّةَ عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ

Sunan Abu Daud 977: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Ja'far bin Abu wahsyiyah dari Abu 'Umair bin Anas dari paman-pamannya yang juga sahabat Rasulullah  bahwa
Suatu rombongan datang kepada Nabi , mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka beliau memerintahkan mereka (masyarakat) untuk berbuka puasa, dan keesokan harinya, mereka berpagi-pagi menuju ke tempat shalat (untuk melaksanakan shalat hari raya)." ..... [8]

(juga diriwayatkan dalam: Musnad Ahmad 18.070, 19.670; Sunan Daruquthni 2.177)

 

E.  Tidak menulis dan tidak menghitung

 

صحيح البخاري ١٧٨٠: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

Shahih Bukhari 1.780: Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Amru bahwa dia mendengar Ibnu 'Umar رضي الله عنهما dari Nabi  beliau bersabda: "Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa (jangan) menulis dan juga tidak (jangan) menghitung, satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali waktu berjumlah dua puluh sembilan dan sekali waktu berjumlah tiga puluh hari." ..... [9]
(juga diriwayatkan dalam: Shahih Muslim 1.806; Sunan Abu Daud 1.975; Sunan Nasa'i 2.111, 2.112; Musnad Ahmad 4.775, 4.891, 5.768, 5.855)
 

صحيح مسلم ١٧٩٦: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ الشَّهْرُلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ

و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا ثَلَاثِينَ نَحْوَ حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ و حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَقَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَقَالَ فَاقْدِرُوا لَهُ وَلَمْ يَقُلْ ثَلَاثِينَ

Shahih Muslim 1.796: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dar Nafi' dari Ibnu Umar رضي الله عنهما bahwa Rasulullah  menyebutkan bulan Ramadhan dan beliau menepukkan kedua tangannya seraya bersabda: "Jumlah hari dalam sebulan itu begini, begini dan begini (beliau menekuk jempol pada kali yang ketiga). Karena itu, berpuasalah kalian setelah melihat (hilal)-nya, dan berbukalah pada saat kalian melihatnya (terbit kembali). Dan jika bulan tertutup dari pandanganmu, maka hitunglah menjadi tiga puluh hari."
Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair Telah menceritakan kepada kami bapakku Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dengan isnad ini dan Ibnu 'Abbas رضي الله عنه menyebutkan: "Dan apabila (hilal itu) tidak tampak atas kalian (terhalang mendung), maka sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari." Yakni sebagaimana haditsnya Abu Usamah. Dan Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Ubaidullah dengan isnad ini. Dan berkata: Rasulullah  menyebutkan bulan Ramadhan seraya bersabda: "Hitungan bulan itu adalah dua puluh sembilan. Hitungan bulan itu adalah begini, begini dan begini." Dan ia juga menyebutkan: "Sempurnakanlah." Dan tidak menyebutkan: "Tiga puluh." ..... [10]
 

F.  Menghitung puasa hari 'Asyura

 

صحيح مسلم ١٩١٥: و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ عَنْ حَاجِبِ بْنِ عُمَرَ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ قَالَ انْتَهَيْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ فِي زَمْزَمَ فَقُلْتُ لَهُ

أَخْبِرْنِي عَنْ صَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَقَالَ إِذَا رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ وَأَصْبِحْ يَوْمَ التَّاسِعِ صَائِمًا قُلْتُ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ قَالَ نَعَمْ

و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَمْرٍو حَدَّثَنِي الْحَكَمُ بْنُ الْأَعْرَجِ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ عِنْدَ زَمْزَمَ عَنْ صَوْمِ عَاشُورَاءَ بِمِثْلِ حَدِيثِ حَاجِبِ بْنِ عُمَرَ

Shahih Muslim 1.915: Dan Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' bin Jarrah dari Hajib bin Umar dari Al Hakam bin Al A'raj ia berkata: Aku pernah mendatangi Ibnu Abbas ketika ia sedang berbantal dengan selendangnya di dekat Zamzam, lalu aku berkata padanya,
"Beritahukanlah kepadaku tentang puasa 'Asyura`." Ia menjawab, "Jika kamu telah melihat Hilal (bulan sabit) pada bulan Muharram, maka hitunglah lalu berpuasalah sejak subuh pada hari ke sembilan." Aku bertanya, "Apakah Rasulullah  berpuasa seperti itu?" Ia menjawab, "Ya."
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Qaththan dari Mu'awiyah bin Amru Dan telah menceritakan kepadaku Al Hakam bin Al A'raj ia berkata: Saya bertanya kepada Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang sedang berbantal dengan selendangnya di sisi Zamzam mengenai puasa di hari 'Asyura`. Yakni serupa dengan hadits Hajib bin Umar. ..... [11]
(juga diriwayatkan dalam: Sunan Tirmidzi 685; Sunan Abu Daud 2.090; Musnad Ahmad 2.028, 3.043, 3.219)
 

G.  Umur hilal 2 (dua) atau 3 (tiga) malam

 

صحيح مسلم ١٨٢٠: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ

خَرَجْنَا لِلْعُمْرَةِ فَلَمَّا نَزَلْنَا بِبَطْنِ نَخْلَةَ قَالَ تَرَاءَيْنَا الْهِلَالَ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ هُوَ ابْنُ ثَلَاثٍ وَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ هُوَ ابْنُ لَيْلَتَيْنِ قَالَ فَلَقِينَا ابْنَ عَبَّاسٍ فَقُلْنَا إِنَّا رَأَيْنَا الْهِلَالَ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ هُوَ ابْنُ ثَلَاثٍ وَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ هُوَ ابْنُ لَيْلَتَيْنِ فَقَالَ أَيَّ لَيْلَةٍ رَأَيْتُمُوهُ قَالَ فَقُلْنَا لَيْلَةَ كَذَا وَكَذَا فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مَدَّهُ لِلرُّؤْيَةِ فَهُوَ لِلَيْلَةٍ رَأَيْتُمُوهُ

Shahih Muslim 1820: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail dari Hushain dari Amru bin Murrah dari Abu Al Bakhtari ia berkata:
Suatu ketika, kami keluar untuk menunaikan umrah. Ketika kami singgah di Bathn Nakhlah, kami melihat hilal, maka sebagian dari rombongan pun berkata: "Itu adalah malam ketiga." Kemudian sebagian yang lain mengatakan, "Itu adalah malam kedua." Kemudian kami menemui Ibnu Abbas dan kami pun berkata padanya, "Kami telah melihat hilal, lalu sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah malam ketiga, sedangkan yang lain mengatakan bahwa itu adalah malam kedua." Maka Ibnu Abbas bertanya: "Pada malam apakah kalian melihatnya?" kami menjawab: "Kami melihatnya pada ini dan ini..." ia pun berkata: Sungguh Rasulullah  telah bersabda: "Sesungguhnya Allah telah membentangkannya untuk dapat dilihat. Karena itu, mulailah pada malam kamu melihatnya." ..... [12]
(juga diriwayatkan dalam: Sunan Daruquthni 2.188, 2.189)
 

H.  ‘Aisyah menghitung jumlah hari

 

صحيح مسلم ١٨١٣: حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْسَمَ أَنْ لَا يَدْخُلَ عَلَى أَزْوَاجِهِ شَهْرًا قَالَ الزُّهْرِيُّ فَأَخْبَرَنِي عُرْوَةُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ

لَمَّا مَضَتْ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً أَعُدُّهُنَّ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ بَدَأَ بِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ أَقْسَمْتَ أَنْ لَا تَدْخُلَ عَلَيْنَا شَهْرًا وَإِنَّكَ دَخَلْتَ مِنْ تِسْعٍ وَعِشْرِينَإِنَّكَ دَخَلْتَ مِنْ تِسْعٍ وَعِشْرِينَ أَعُدُّهُنَّ فَقَالَ إِنَّ الشَّهْرَ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ

Shahih Muslim 1813: Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah mengabarkan kepada kami Abdur Razaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri bahwa Nabi  pernah bersumpah untuk tidak memasuki istri-istrinya selama satu bulan. Az Zuhri berkata: Telah mengabarkan kepadaku Urwah dari Aisyah رضي الله عنها, ia berkata:
Tatkala lewat dua puluh sembilan malam, yang aku menghitungnya sendiri, Rasulullah  mulai masuk ke rumahku. Maka aku bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulullah! bukankah Tuan telah bersumpah untuk tidak masuk menemui kami selama sebulan? Menurut hitunganku sekarang baru dua puluh sembilan hari." Maka beliau pun bersabda: "Sesungguhnya jumlah hari dalam satu bulan itu (ada kalanya) dua puluh sembilan hari." ..... [13]
 

I.  Hilal malam Jum’at dan malam Sabtu

 

صحيح مسلم ١٨١٩: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ كُرَيْبٍ

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

وَشَكَّ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى فِي نَكْتَفِي أَوْ تَكْتَفِي

Shahih Muslim 1.819: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Yahya bin Ayyub dan Qutaibah dan Ibnu Hujr -Yahya bin Yahya berakata- telah mengabarkan kepada kami -sementara dua orang yang lain berkata- telah menceritakan kepada kami Isma'il, yakni anak Ja'far dari Muhammad bin Abu Harmalah dari Kuraib bahwasanya:
Ummul Fadhl binti Al Harits mengutusnya menghadap Mu'awiyah di Syam. Kuraib berkata: Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum'at. Kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku tentang hilal, ia bertanya, "Kapan kalian melihatnya?" Aku menjawab, "Kami melihatnya pada malam Jum'at." Ia bertanya lagi, "Apakah kamu yang melihatnya?" Aku menjawab, "Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu'awiyah." Ibnu Abbas berkata: "Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Dan kami pun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi tiga puluh hari atau hingga kami melihat hilal." Aku pun bertanya, "Tidakkah cukup bagimu untuk mengikuti ru'yah Mu'awiyah dan puasanya?" Ia menjawab, "Tidak, beginilah Rasulullah  memerintahkan kepada kami." ..... [14]
Dalam lafazh "NAKTAFI" (tidak cukupkah bagi kami?) atau "TAKTAFI" (tidak cukupkah bagimu?), Yahya bin Yahya agak ragu.
(juga diriwayatkan dalam: Sunan Abu Daud 1.985; Sunan Nasa'i 2.084; Musnad Ahmad 2.653; Sunan Daruquthni 2.191)
 

J.    Melihat hilal dan mendahului puasa

 

سنن أبي داوود ١٩٨٤: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْعَلَاءِ الزُّبَيْدِيُّ مِنْ كِتَابِهِ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِي الْأَزْهَرِ الْمُغِيرَةِ بْنِ فَرْوَةَ قَالَ

قَامَ مُعَاوِيَةُ فِي النَّاسِ بِدَيْرِ مِسْحَلٍ الَّذِي عَلَى بَابِ حِمْصَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا قَدْ رَأَيْنَا الْهِلَالَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا وَأَنَا مُتَقَدِّمٌ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَفْعَلَهُ فَلْيَفْعَلْهُ قَالَ فَقَامَ إِلَيْهِ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ السَّبَئِيُّ فَقَالَ يَا مُعَاوِيَةُ أَشَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ شَيْءٌ مِنْ رَأْيِكَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صُومُوا الشَّهْرَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صُومُوا الشَّهْرَ وَسِرَّهُ

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ قَالَ الْوَلِيدُ سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو يَعْنِي الْأَوْزَاعِيَّ يَقُولُ سِرُّهُ أَوَّلُهُ

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ قَالَ كَانَ سَعِيدٌ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَقُولُ سِرُّهُ أَوَّلُهُ

قَالَ أَبُو دَاوُد وَقَالَ بَعْضُهُمْ سِرُّهُ وَسَطُهُ وَقَالُوا آخِرُهُ

Sunan Abu Daud 1.984: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al 'Ala` Az Zubaidi dari kitabnya, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al 'Ala`, dari Abu Al Azhar Al Mughirah bin Firwah, ia berkata:
Mu'awiyah berdiri di antara orang-orang di Dair Mishal yang berada di depan pintu Himsh, ia berkata: Wahai para manusia sesungguhnya aku telah melihat Hilal pada hari ini dan ini, dan aku akan mendahului. Barang siapa yang ingin melakukannya maka hendaknya ia melakukannya. Al Mughirah berkata: Kemudian Malik bin Hubairah As Sabai berdiri di sampingnya dan berkata: Wahai Mu'awiyah, apakah hal tersebut sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah  atau sesuatu yang berasal dari pendapatmu? Ia berkata: Aku mendengarnya dari Rasulullah  berkata: "Berpuasalah pada bulan tersebut dan sirrnya (awalnya)."
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, mengenai hadits ini, ia berkata: Al Walid berkata: saya mendengar Abu 'Amr yakni Al Auza'i berkata: Sirrnya yaitu awalnya.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Wahid, telah menceritakan kepada kami Abu Mushir, ia berkata: Sa'id yakni Ibnu Abdul Aziz pernah berkata: Sirrnya yaitu awalnya.
Abu Daud berkata: sebagian mereka mengatakan sirrnya adalah pertengahannya, sedangkan yang lain mengatakan: akhirnya. ..... [15]
 

K.  Doa melihat hilal

 

سنن الدارمي ١٦٢٥: أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ وَعَمِّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى الْهِلَالَ قَالَاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى الْهِلَالَ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللَّهُ

Sunan Darimi 1.625: Telah mengabarkan kepada kami Sa'id bin Sulaiman dari 'Abdurrahman bin Utsman bin Ibrahim telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Ayahnya dan Pamannya dari Ibnu Umar ia berkata:
"Rasulullah  apabila melihat hilal beliau berkata: "Allahu akbar! Ya Allah, nampakkan hilal kepada kami dengan aman, iman, keselamatan, Islam dan taufiq untuk melakukan apa yang dicintai dan diridlai Tuhan kami. Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah Allah." ..... [16]
(juga diriwayatkan dalam: Sunan Darimi 1.626; Shahih Ibnu Hibban 888)
 

L.  Rasulullah menulis surat

 

صحيح البخاري ٦٣: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَبُو الْحَسَنِ الْمَرْوَزِيُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ

كَتَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِتَابًا أَوْ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُمْ لَا يَقْرَءُونَ كِتَابًا إِلَّا مَخْتُومًا فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِي يَدِهِسُولُ اللَّهِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِي يَدِهِ

فَقُلْتُ لِقَتَادَةَ مَنْ قَالَ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَنَسٌ

Shahih Bukhari 63: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqotil Abu Al Hasan Al Marwazi telah mengabarkan kepada kami Abdullah berkata: telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Qotadah dari Anas bin Malik berkata:
Nabi  menulis surat atau bermaksud menulis surat, lalu dikatakan kepada Beliau, bahwa mereka tidak akan membaca tulisan kecuali tertera stempel. Maka Nabi  membuat stempel yang terbuat dari perak yang bertanda: Muhammad Rasulullah. Seakan-akan aku melihat warna putih pada tangan Beliau.
Lalu aku (Syu'bah) bertanya kepada Qotadah: "Siapa yang mengatakan tanda cincin tersebut tertulis Muhammad Rasulullah?" Jawabnya: "Anas." ..... [17]
 
Mari pahami sama-sama!!!

Bahwasanya hilal atau bulan sabit itu pasti bisa dilihat dengan mata tanpa adanya alat bantu sebagaimana hadits [1 dan 12]. Penetapan semua awal bulan Qamariyah mengacu dengan melihatnya. Bahkan penetapan bulan Muharram, Ramadhan dan Syawwal pun Rasulullah  mengkhususkan dalil dengan mengacu padanya. Makanya tidak seorang ulama pun yang mengingkari akan dimulainya shaum dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan mengakhirinya (berlebaran) dengan melihat hilal bulan Syawwal sebagaimana hadits [2 dan 3] yang dipertegas hadits [5, 6 dan 7].
Juga tidak bolehnya memulai puasa jika tidak melihat hilal bulan Ramadhan dan tidak boleh mengakhirinya (berlebaran) dengan tidak terlihat hilal bulan Syawwal sebagaimana hadits [4] yang juga dipertegas hadits [5, 6 dan 7].
Bila kita masih berpuasa pada hari ke 30 bulan Ramadhan hingga ada 2 (dua) orang 'adil telah menyaksikan hilal bulan Syawwal sehari sebelumnya, maka kita wajib berbuka sebagaimana hadits [8]. Dalam hal ini yang menjadikan perbedaan yaitu ketika memulai puasa Ramadhan, apakah saksi cukup 1 (satu) atau harus 2 (dua) orang. Berdasarkan hadits [15] jika saksi cukup 1 (satu) orang, pastilah Mu'awiyah رضي الله عنه akan mewajibkan bukan hanya sekedar menghimbau.

Hingga zaman kekhalifahan, kita tidak pernah mendengar adanya perselisihan tentang penetapan awal bulan qamariyah yang mana pun. Sejak ditemukan teleskop terlebih sistem hisab inilah bibit perselisihan hingga meruncing.
Perhatikan al Qur'an dalam surah al Baqarah [2]: 189, al An'am [6]: 96, Yunus [10]: 5, ar Ra'd [12]: 2, Ibrahim [14]: 33, an Nahl [16]: 12, al Anbiya [21]: 33, Luqman [31]: 29, Fatir [35]: 13, Yaa Siin [36]: 39 dan 40, az Zumar [39]: 5, ar Rahman [55]: 5, al Ma'arij [70]: 40 dan yang lainnya merupakan perintah wajibnya beribadah dengan mempedomani waktu edar bumi, bulan dan matahari. Maka dalam ibadah pengamalannya wajib merujuk hadits. Sedang untuk amalan dunia semuanya boleh dilakukan kecuali yang dilarang, bahkan bukan hanya untuk kaum muslimin tetapi juga kaum kafir sebagaimana yang dipergunakan dalam penanggalan Syamsiyah. Inilah bukti kebenaran al Qur'an melalui nabi-Nya sang Fathanah bahwa Islam tidaklah idiot tehnologi justru sebagai leader falaqologi. Hisab (perhitungan) sebagai bagian dari tehnologi dengan konsekuensi logis bahwa sunatullah perkembangannya tak terbendung oleh siapa pun. Hanya saja dalam ibadah tiada kata lain bahwa wajib berdasarkan dalil dengan menempatkan qaidah dan perangkat hukum pada tempatnya termasuk tehnologi. Maka saya tidak akan membahas perbedaan tetapi memfokuskan pada sumber rujukkan hadits, karena semua amalan yang disyariatkan dalam al Qur’an secara detilnya pasti dijabarkan dalam hadits.
Perhatikan hadits [1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 10] adalah semakna pada penggalan matan {فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ, فَاقْدُرُوا لَهُ, فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ, فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ, فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ dan فَاسْتَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ لَيْلَةً} walaupun pada hadits [2, 3] dengan hadits [4] sangat jelas secara tekstual bertolak belakang. Maka sungguh sangat mengherankan jika ada orang yang memaknai lain. Dikarenakan adanya hadits [9] sehingganya ada yang menafsirkan berbeda.

Baik kita bedah!!!

Simak penggalan hadits [9] pada kalimat إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ yang artinya “Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung”. Mayoritas ulama berdalil atau memaknai hanya sebatas penggalan matan ini bahkan hanya menitik beratkan pada kata ummi. Kesalahan beristidlal yang paling mendasar dalam memaknai hadits [9] ini karena tidak dikompromikan tersebab lupa, tidak terlintas atau tidak ketemu hadits lain. Jika hadits [9] ini dimaknai ummi secara umum (amm/ general), maka akan bertentangan dengan hadits-hadits lain tentang penulisan al Qur’an dan hadits; Rasulullah  menulis surat pada hadits [17]; shahabat menulis surat kepada shahabat lain juga orang selainnya; perekonomian dan perdagangan dengan dinar dan dirham; perhitungan zakat, waris; balasan pahala, dosa; hudud; tentang kewanitaan dan kegiatan keseharian masyarakat umumnya pada waktu itu.
Jika hadits ini dimaknai secara utuh apalagi dikompromikan dengan hadits sharih lain, maka akan jelas bermakna khusus (khas/ marginal) dan tidak akan kontradiksi dengan hadits-hadits lain. Hadits ini menjelaskan bahwa khusus dalam menentukan jumlah hari dalam bulan Qamariyah tidak dengan (jangan) ditulis dan tidak (jangan) dihitung.
Agar lebih jelas akan hal ini, baca syarah hadits ini 👉 di sini.
Yaitu dengan cara melihat hilal pada hari ke 29, jika terlihat hilal, maka bulan berjalan jumlah harinya 29 juga penanda mulainya bulan baru, jika tidak terlihat hilal, maka jumlah harinya 30 dan tanggal 1 bulan baru adalah esok lusa, begitulah seterusnya.
Perlu perhatian khusus bahwa qaidah dalam penentuan waktu ibadah dalilnya berdasarkan peredaran matahari dan bulan. Jika berdasarkan waktu edar matahari, maka acuannya di mana tempat terbitnya (matla' matahari) ketika ia berada. Sedangkan dalam penentuan tanggal Qamaiyah dalilnya berdasarkan peredaran bulan, maka penetuan awal bulan berdasarkan terbitnya hilal (matla' hilal) di mana ia melihat dan berlaku untuk wilayah tersebut.
Qaidah ini juga untuk melandasi penentuan hari-hari sebagaimana di bawah.
Penentuan puasa Asyura pada hadits [11] yaitu setelah melihat hilal bulan Muharram lalu puasa sejak subuh pada hari ke sembilan sedangkan imsak dan berbukanya berdasarkan waktu edar matahari ketika di mana ia berada.
Dalam mengestimasi umur hilal 2 atau 3 malam hadits [12] ketika berumrah yang menjelaskan bahwa ini bisa terjadi pada bulan apa pun. Ketika berumrah, maka amalan yang bersifat kolektif (berjamaah) hanyalah shalat yang waktunya berdasarkan peredaran matahari di mana ia berada. Sedangkan amalan perorangan (nafs) yang berdasarkan tanggal seperti puasa ayyamul bidh, bekam (hijamah) dan  lain-lain, yaitu ketika ia melihat hilal lalu menghitung berapa hari yang ditentukan sebagaimana pernyataan Ibnu Abbas رضي الله عنه hadits [12]. Jika berdasarkan matla' Makkah karena umrah juga di Makkah, tentunya Ibnu Abbas رضي الله عنه pasti menyebutkan berepa hari umur hilal saat itu. Sedangkan untuk imsak dan berbukanya berdasarkan waktu edar matahari di mana ia berada.
Dalam hal ini sangat jelas bahwa ibadah yang ditentukan dengan waktu edar matahari, maka matla'nya berdasarkan terbitnya matahari di mana ia berada sedangkan ibadah yang berdasarkan waktu edar bulan, maka matla'nya berdasarkan di mana ia melihat terbitnya hilal.
Pengecualian dalam musim haji, ketika calon haji seluruh dunia berkumpul di Arafah untuk wuquf (ibadah berjamaah) yang sahnya hanya dilakukan pada waktu dan tempat yang sama yaitu tanggal 9 Dzulhijjah yang ditentukan oleh waktu edar bulan, maka matla'nya berdasarkan terbitnya hilal di mana wukuf dilakukan yang dipertegas dalam Qur'an dan hadits (kekhususan).
Sebagai pengganti amalan wuquf bagi kaum muslim yang tidak bisa pergi haji yaitu puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Karena ibadah ini berdasarkan tanggal yang berarti berdasarkan waktu edar bulan, maka matla'nya berdasar di mana terbitnya hilal. Jika berdasarkan peristiwa, maka ini akan bertentangan dengan qaidah dan hadits [12 dan 14] di mana matla' di luar Makkah dipastikan ada yang tanggal 8 atau 10 Dzulhijjah. Ketika tanggal 8 Dzulhijjah di luar matla' Makkah berarti pengamatan hilal bulan Dzulhijjah tidak terlihat yang artinya jumlah hari bulan Dzulqa'idahnya pasti 30 sedangkan di Makkah dan yang tanggalnya sama, jumlah hari bulan Dzulqa'idahnya 29. Ketika tanggal 10 Dzulhijjah di luar matla' Makkah berarti pengamatan hilal bulan Dzulhijjah duluan terlihat yang artinya jumlah hari bulan Dzulqa'idahnya pasti 29 sedangkan di Makkah dan yang tanggalnya sama, jumlah hari bulan Dzulqa'idahnya 30. Ketika jumlah harinya sama berarti mulai awal bulan Dzulqa'idahnya yang berbeda.

Ketika ibunda 'Aisyah رضي الله عنها memprediksi dengan menghitung jumlah hari pun dibantah oleh Rasulullah  ketika meng-ila’ istri-istrinya sebagaimana hadits [13].

Dengan mengacu qaidah waktu edar bulan, maka ini juga sebagai bukti bahwa hadits [1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 10] pada cuplikan matan {فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ, فَاقْدُرُوا لَهُ, فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ, فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ, فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ dan فَاسْتَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ لَيْلَةً} adalah semakna sebagaimana di bawah.
Ketika mengamati hilal bulan Ramadhan pada tanggal 29 Sya’ban dan tidak terlihat karena awan, debu, asap atau yang lain, maka perkirakan atau hitunglah dengan dimulai dari awal melihat hilal bulan Sya’ban, besoknya dihitung 1 hingga 30 hari ke depan, jika dengan digenapkan/ disempurnakan yaitu 1 (satu) hari lagi hingga jumlahnya 30 hari, begitu pun dengan bulan Syawwal.

Selanjutnya perhatikan hadits [10] yang diriwayatkan dengan matan berbeda yang juga membahas sebagaimana hadits [9]. Mengapa hadits [10] ini tidak menghitung sebagaimana hadits [11, 12 dan 13] tetapi dengan memperagakan tangan dan jari untuk menggambarkan jumlah hari 29 atau 30? Agar lebih jelas silahkan merujuk hadis-hadits berikut: Shahih Muslim 1.806; Sunan Abu Daud 1.975; Sunan Nasa'i 2.111, 2.112 dan Musnad Ahmad 4.775, 4.891, 5.768, 5.855.
Perhatikan seksama hadits-hadits di atas, suatu kali memperagakan dengan membentangkan jari-jari dari kedua tangan sebanyak 3 (tiga) kali yang menunjukkan 30 dan pada kali yang lain, bentangan yang ke tiga sambil menekukkan jempolnya untuk menunjukkan 29 sebagaimana Shahih Muslim 1.796 hadits [10]. Hal ini sangat jelas menunjukkan hisab 10 X 3 = 30 dan 10 X 2 + 9 atau 10 X 3 - 1 = 29 yang membuktikan bahwa ketika itu umat Islam tidak ummi hitungan.

Pengamatan hilal wajib dilakukan tanggal 29, kendala utamanya dipastikan adalah cuaca. Sedangkan hingga saat ini tidak ada satu alat tercanggih buatan manusia yang mampu menghalau hamabatan ini dan dipastikan hingga kiamat. Jangankan menghalau, bahkan sekedar menentukan cuaca pun hanya sanggup memprediksi dengan "ramalan cuaca", yang menunjukkan ketidak-pastian. Jadi sangatlah logis jika penentuan awal bulan dan jumlah hari Qamariyah tidak bisa dihitung (dihisab) sebagaimana hadits [9]. Maka sangatlah wajar jika Rasulullah  meskipun langsung dibimbing oleh Allah سبحانه وتعال dengan para shahabatnya pasti tidak akan tahu kapan awal bulan, yang berdampak penentuan jumlah hari. Inilah yang dimaksud dengan ummi dalam hadits [9] yang berlaku juga untuk umatnya hingga kiamat, syarahnya klik 👉 di sini.

Dalam mengamati hilal sebagai penentu awal bulan qamariyah, para shahabat sudah sangat paham. Bahkan pada hadits [8] dalam Musnad Ahmad 18.070 disebutkan bahwa yang melihat hilal bulan Syawwal adalah orang Arab Badui (gunung). Ketika zaman Rasulullah  manusia masih sangat jarang tetapi pengamatan hilal dengan mata bisa dijadikan suatu kebiasaan, sedangkan zaman sekarang manusia sudah sangat banyak, apakah ini suatu kemustahilan? Bahkan seharusnya terus berlangsung hingga kiamat.

Bukankah teleskop digital yang sekarang digunakan dalam pengamatan hilal, keakuratannya melebihi mata manusia mana pun? Realitanya tak terbantahkan. Karena standarisasinya tidak berdasarkan visibilitas mata, maka masing-masing mengklaim bahwa pendapatnya yang paling benar, hingga entah kapan perselisihan ini berujung. Agar tidak ada lagi silang pendapat, maka hukum ini saya qiyaskan dengan hukum lain. Adakan yang bisa menjelaskan mengapa zakat fitrah itu ukurannya 1 (satu) sha' makanan pokok dan mengapa hanya setahun sekali, mengapa rakaat shalat itu 4, 2, 4, 4, 3 dan tidak dengan bilangan lain?. Inilah hukum syar'i yang tidak semua bisa dicerna oleh akal siapa pun. Apakah kesepakatan manusia menentukan tinggi hilal 3-6,4 ini berdasarkan standarisasi mata? Dikarenakan visibilitasnya sangat tinggi melebihi mata, maka para petugas pengamat hilal dengan teleskop digital pasti berpendapat bahwa yang seharusnya belum terlihat oleh mata justru akan terlihat oleh alat ini yang berakibat mendahului, fatal!!!. Ketika hilal yang kita amati terhalang awan, mendung, kabut, debu, asap atau apa pun itu, dan ini sudah ada solusi sebagaimana dalam hadits. Sedangkan dalam kondisi demikian, alat yang super canggih ini sama sekali tidak memberikan manfaat sedikit pun apalagi solusi. Pengamatan hilal dengan mata dipastikan keabsahannya karena mengikuti sunnah. Sekiranya ada cara lain yang sah, pengamatan hilal dengan mata dipastikan yang paling benar dan paling afdhal.
Nanum tidak tertutup kemungkinan bahwa amalan ini digantikan oleh teleskop, yang wajib berdasarkan standarisasi visibilitas mata. Kemudian dikonversikan dalam format video live streaming yang dapat di replay berdasarkan waktu dan bisa diakses siapa pun via website dengan domain matla' hilalnya. Teleskop dapat dibuat permanen yang ditempatkan di spot-spot di mana hilal dapat dipantau yang difasilitasi oleh lembaga pemerintah, organisasi atau siapa pun.

Ketika kita temui sebagaimana hadits [14], sedangkan penetapan 1 Syawwal di negara kita dengan sidang itsbat, lalu bagaimana? Perlu saya tegaskan bahwa dinullah itu berdasarkan dalil bukan kesepakatan. Jika umara menetapkan berdasarkan kesepakatan, itu adalah kewenangannya yang tentunya akan mereka pertanggung jawabkan di akhirat.
Mengapa dalam hadits [14] ini, Ibnu Abbas رضي الله عنه menanyakan hari bukan tanggal? Karena hari berdasarkan waktu edar matahari yang secara periodik pasti tidak akan berubah hingga kiamat bahkan sudah berlaku dari sebelum penciptaan manusia hingga kelak di akhirat. Sedangkan tanggal bisa berbeda karena berdasarkan waktu edar bulan, yang awal bulannya tidak bisa dipastikan karena bersifat random (acak) yang berakhibat sebagaimana hadits [14] ini dan hadits [12].
Selain hal di atas bahwa awal bulan pasti ada 2 matla' hingga tidak tertutup kemungkinan kejadian sebagaimana hadits [14] ini. Maka sikap kita sebagai umat muslim wajib mengimani dan melaksanakan berdasarkan wahyu Allah lewat nabi-Nya (sami’na wa atha’na). Semoga ke depan umara dengan kebijakan dan kewenangannya dapat menjembatani syariat ini. Amin Allahumma amin.

Jika melihat hilal sendirian dan meyakininya, maka tiada kata lain bahwa ia wajib berpuasa atau berbuka hanya saja harus disembunyikan (puasanya/ berbukanya) dari khalayak sebagaimana hadits [15], jika ia ragu maka wajib mengikuti yang bersepakat melihat hilal di sekitarnya.
Ada atsar yang mengatakan Ibnu Umar selalu puasa 1 atau 2 hari sebelum Ramadhan, ini harus dipahami sebagaimana hadits [5] seperti membiasakan puasa Senin-Kamis, puasa nabi Daud, puasa Sya’ban sebulan penuh atau sebagaimana hadits [15], tetapi tidak dengan puasa wishal karena itu dilarang.

Lafadz doa melihat hilal sebagaimana hadits [16], jika menghendaki lafadz lain, silahkan merujuk ke Musnad Ahmad 21.726

KESIMPULAN
 
Ibadah itu wajib ittiba' sunnah dan bukanlah kesepakatan.
Jumlah hari bulan Qamariyah tidak (jangan) ditulis dan tidak (jangan) dihitung, ada kalanya 29 hari atau 30 hari.
Untuk menentukan awal bulan Qamariyah hanya dengan satu cara yaitu melihat hilal dan yang paling benar dan afdhal dengan mata.
Pengamatan dengan teleskop yang menetapkan ketinggian hilal 2 dan sekarang 3 secara hukum syar'i adalah kesalahan yang sangat jelas karena buktinya dipastikan mendahului pengamatan dengan mata. 
Tentunya dengan standarisasi yang lebih kecil dari 3ᴼ apalagi 2ᴼ pasti lebih salah, dan ini bukti gamblang lain bahwa sistem hisab tidak bisa diterapkan juga karena bertentangan dengan hadits [9] dan menyelisihi hadits [12 dan 14].
Penetapan awal bulan dan tanggal bulan Qamariyah untuk ibadah adalah berdasarkan waktu edar bulan dengan matla' hilal. 
Ibadah yang berdasarkan waktu edar matahari, maka penentuan waktu berdasarkan matla' matahari di mana ketika itu ia berada. 
Pergantian hari, bulan dan tahun yang diawali dari 0 (nol) dipastikan bukanlah cara Islam.
Kesimpulan lain sudah jelas dalam pemaparan.

Alhamdulillah, ini penjelasan penetapan awal bulan Qamariyah secara ilmiah atau secara tehnologi, silahkan baca 👉 di sini

Demikianlah pemaparan saya semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin.
تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......
“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”

Wallahu a’lam bish shawwab
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Muara Bulian (Jambi), 7 Syawwal 1443 H
اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي 

CATATAN: Terakhir disunting tanggal 10 Dzulhijjah 1443 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar