PENGANTAR USHUL FIQH LANJUTAN
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Puja dan puji kepada Maha Agung
pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada
tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia
pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad ﷺ beserta
keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Materi ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya
yang sebaiknya dipahami lebih dahulu agar lebih terarah (klik di sini).
Bahwasanya hukum dan ibadah Islam itu telah
sempurna sejak kewafatan Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana QS: Al-Maa’idah [5]: 3. Lantas mengapa terjadi beberapa perbedaan hukum
dan ibadah, bahkan dari mulai para shahabat apalagi zaman para ulama khalaf.
Sunnatullah hal ini tidak terhindarkan karena beberapa faktor. Sepeninggalan
Rasulullah ﷺ, kekhalifahan dilanjutkan oleh Khulafa’ur Rasyidin,
sedangkan ilmu yang didapat dari Rasulullah ﷺ oleh para shahabat tidaklah sama. Hal ini disebabkan tidak setiap individu
shahabat selalu menyertai setiap keadaan seperti ketika di rumah, maka hukum
dan ibadah di rumah tentulah orang yang menyertai beliau di rumah yang paling
banyak tahu. Begitu pun ketika safar (bepergian) atau ghazwah (berperang), maka
hukum dan ibadah yang dilakukan dalam kondisi ini hanyalah para shahabat yang
menyertai beliau yang mengetahuinya. Juga ketika dalam keadaan tertentu,
Rasulullah ﷺ menjelaskan suatu hukum atau ibadah, baik
ada tidaknya suatu peristiwa yang hanya disaksikan oleh beberapa shahabat
bahkan hanya seorang saja. Begitu pun ketika ada shahabat yang bertanya tentang
suatu hukum atau ibadah, yang mana tidak semua shahabat yang menyaksikan bahkan
hanya penanya. Ada juga beberapa shahabat yang melihat Rasulullah ﷺ melakukan sesuatu, maka oleh shahabat
dimaknai demikian sedang shahabat lain memaknai demikian atau demikian yang
menunjukkan bolehnya memilih atau mengamalkan semua opsi. Mayoritas hadits tersampai
kepada para shahabat yang tidak melihat/ menyaksikan atau mendengarkan tetapi dengan
beberapa keadaan sebagaimana di atas, juga dipastikan ada yang tidak tersampaikan. Maka perbedaan di antara
para shahabat wajib dikompromikan sebagai opsi memilih salah satu atau
mengamalkan semua opsi karena hadits dipastikan tidak mungkin berselisih.
Karena hadits dipastikan tidak mungkin bertentangan
dengan hadits lain apalagi dengan al Qur’an, maka pemahamannya wajib
mengacu pada para shahabat berdasarkan fakta-fakta hadits, karena
merekalah yang paling tahu akan maksud dan tujuan yang terkandung dalam hadits
dan dipastikan tidak selain mereka. Bahkan opsi beberapa ijtihad individu
shahabat pun merupakan dalil yang wajib juga dipedomani. Perbedaan mayoritas terjadi
karena hadits tidak sampai, telah di-nasakh atau di-mansukh yang tidak
diketahui oleh shahabat lain, hal ini ditandai dengan mengunjungi atau kirim
surat untuk mengingatkan atau bertanya.
Dari ribuan shahabat, yang menjadi mujtahid tidaklah banyak, ini pun bertingkat-tingkat keilmuannya berdasarkan individual shahabat sering atau lamanya menyertai Rasulullah ﷺ dalam setiap keadaan. Sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga khulafa’ur Rasyidin, ada para shahabat yang menyebar hingga ke beberapa negeri dan mukim di sana dan ada yang menjadi shahabat karena safarnya Rasulullah ﷺ. Murid dari shahabat pun tidak banyak dan dipastikan tidak menyerap 100% ilmu yang diwariskan oleh gurunya pada tiap individu murid-muridnya, begitulah seterusnya. Ini menggambarkan bahwa para shahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in mayoritas hanya sebagai perawi (periwayat) hadits. Sebagaimana para shahabat, para tabi’in yang mujtahid juga mengalami suatu permasalahan hukum dan ibadah di luar yang didapat dari gurunya dan hanya menerima satu atau sebagian hadits sehingga berdalil hanya dengan yang ia dapat. Sejak fase inilah ijtihad
dinilai tidak mutlaq benar bahkan bisa jadi
berseberangan dengan yang seharusnya meskipun mayoritas benar karena mereka
masih sangat dekat dengan para shahabat untuk bertanya. Maka bukanlah suatu
yang aneh jika zaman ulama salaf pun terjadi perbedaan dalam menentukan suatu hukum
dan ibadah. Mayoritas ikhtilaf yang terjadi, sama dengan pendahulunya yaitu
masing-masing hanya menerima satu atau sebagian hadits untuk berhujjah. Ketika
zaman ulama salaf, persamaan pemahaman hukum dan ibadah masih sangat dominan.
Selain perbedaannya belum begitu banyak dan mereka pun sangat menjunjung tinggi
akan ijtihad masing-masing.
Mayoritas hukum dan ibadah terdiri dari beberapa
hadits tetapi ada beberapa hukum dan ibadah yang terdapat dalam satu hadits.
Hadits-hadits ada yang tersampaikan semua, sebagian atau hanya satu yang sama
bahkan bervariasi hingga ke para ulama mujtahid dalam kurun waktu mana pun. Setelah
zaman keemasan para shahabat, maka permasalahan
tidak hanya perbedaan tetapi juga adanya turunan hukum dan ibadah
kreatif karena ijtihad ulama setelahnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa
tidak semua hadits tersampaikan secara utuh di tiap-tiap maqam perawi,
misal ketika shahabat mengingatkan amalan shahabat lain yang keliru, maka yang
disampaikan hanya yang menyangkut kekeliruannya atau hanya yang tidak diketahui
oleh shahabat lain. Sedangkan kepada muridnya, hadits disampaikan secara utuh. Berdasarkan
sanad, ada berapa hadits yang tidak utuh justru lebih shahih dari hadits yang
utuh. Ketika hadits ini sampai ke ulama mujtahid, maka menjadikan istidlal yang
bermacam-macam, terutama hadits yang tidak utuh akan bersifat lebih umum.
Ketika hadits bersifat lebih umum, maka peluang mengistimbathkan hadits jadi
lebih luas, sehingga hukum dan ibadah bisa beranak-pinak hingga bercucu-cicit disebabkan
tidak mungkin membatasi pola pikir manusia. Hal ini banyak kita temui dalam
kitab-kitab syarah hadits, mayoritas sebuah hadits diistimbathkan sebanyak
mungkin, ada kalanya dikompromikan dengan satu atau beberapa hadits lain, juga matannya
dimaknai perkata bahkan perkata pun dimaknai berdasarkan baris hingga
menjadikan maknanya sangat variatif. Begitu pun dalam mendefinisikan sesuatu,
sangat bergantung pemahaman dan algoritma ulama mujtahidnya. Maka tidak
mengherankan jika oleh masing-masing ulama mujtahid di zaman mana pun ada yang sepemahaman,
saling menguatkan, berbeda bahkan bertolak belakang dan juga terjadi beberapa
turunan hukum dan ibadah yang variatif. Hal ini dapat dijumpai dalam kumpulan
ribuan kitab ulama-ulama yang terhimpun dalam satu aplikasi maktabah yang hanya
dengan mengetik key word, maka akan muncul sederetan jawaban. Dari yang hanya
beberapa jawaban hingga yang suangat buanyak dan koumpleks, lalu bagaimanakah
cara memastikan jawaban mana yang paling benar??? Pasrah!!!
Keadaan seperti inilah yang paling banyak
menjadikan khilafiah bahkan menjadikan beberapa turunan hukum dan ibadah
kreatif. Selain faktor di atas juga ada
faktor lain seperti pengaruh agama samawi (langit) sebelumnya, agama ardi
(bumi), adat, budaya, tradisi dan faktor
lain. Bisa dibayangkan hingga akhir zaman? Benarlah apa yang disampaikan
Rasulullah ﷺ:
سنن
أبي داوود ٣٩٨٠: حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى
إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى
إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى
ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
Sunan Abu Daud 3.980: Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau
tujuh puluh dua golongan, Nashara terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh
puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan."
Hadits semakna juga diriwayatkan dalam Sunan Abu
Daud 3.981; Sunan Ibnu Majah 3.981, 3.982, 3.983; Sunan Tirmidzi 2.564, 2.565;
Sunan Darimi 2.406; Musnad Ahmad 8.046, 12.022, 16.329
Dalam hadits Abu Daud 3.981; Sunan Ibnu Majah
3.982, 3.983; Musnad Ahmad 12.022, 16.329 selanjutnya menyebutkan bahwa
كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Semua masuk neraka, kecuali satu golongan yaitu Al
Jama'ah.
Sedangkan dalam Sunan Tirmidzi 2.565 disebutkan
bahwa
كُلُّهُمْ
فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para
sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau
menjawab: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku
berpegang teguh padanya."
Jadi siapa yang dimaksud Al Jama'ah? Yaitu mereka
yang beramal hanya dengan hadits dan atsar
yang mampu ia jama’/himpun di rentang zaman mana pun sebagaimana
yang disebut dalam Sunan Tirmidzi 2.565 bahwa yang mana aku dan para
sahabatku berpegang teguh padanya dan pastinya hanya berlaku untuk amalan
akhirat. Maka semua amalan akhirat di luar yang dimaksud
adalah fiynnaar.
Semoga bermanfaat.
تَرَكْتُكُمْ
عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......
“Saya
tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya
........”
Wallahu a’lam bish shawwab
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ
Muara Bulian (Jambi), 10 Rabi’ul Akhir
1444 H
اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي
email 1: agung_swasana@outlook.co.id
email 2: agungswasana@gmail.com