07 November 2022

 

PENGANTAR USHUL FIQH LANJUTAN

 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏
 
Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Materi ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya yang sebaiknya dipahami lebih dahulu agar lebih terarah (klik di sini).
Bahwasanya hukum dan ibadah Islam itu telah sempurna sejak kewafatan Nabi Muhammad  sebagaimana QS: Al-Maa’idah [5]: 3. Lantas mengapa terjadi beberapa perbedaan hukum dan ibadah, bahkan dari mulai para shahabat apalagi zaman para ulama khalaf. Sunnatullah hal ini tidak terhindarkan karena beberapa faktor. Sepeninggalan Rasulullah , kekhalifahan dilanjutkan oleh Khulafa’ur Rasyidin, sedangkan ilmu yang didapat dari Rasulullah  oleh para shahabat tidaklah sama. Hal ini disebabkan tidak setiap individu shahabat selalu menyertai setiap keadaan seperti ketika di rumah, maka hukum dan ibadah di rumah tentulah orang yang menyertai beliau di rumah yang paling banyak tahu. Begitu pun ketika safar (bepergian) atau ghazwah (berperang), maka hukum dan ibadah yang dilakukan dalam kondisi ini hanyalah para shahabat yang menyertai beliau yang mengetahuinya. Juga ketika dalam keadaan tertentu, Rasulullah  menjelaskan suatu hukum atau ibadah, baik ada tidaknya suatu peristiwa yang hanya disaksikan oleh beberapa shahabat bahkan hanya seorang saja. Begitu pun ketika ada shahabat yang bertanya tentang suatu hukum atau ibadah, yang mana tidak semua shahabat yang menyaksikan bahkan hanya penanya. Ada juga beberapa shahabat yang melihat Rasulullah  melakukan sesuatu, maka oleh shahabat dimaknai demikian sedang shahabat lain memaknai demikian atau demikian yang menunjukkan bolehnya memilih atau mengamalkan semua opsi. Mayoritas hadits tersampai kepada para shahabat yang tidak melihat/ menyaksikan atau mendengarkan tetapi dengan beberapa keadaan sebagaimana di atas, juga dipastikan ada yang tidak tersampaikan. Maka perbedaan di antara para shahabat wajib dikompromikan sebagai opsi memilih salah satu atau mengamalkan semua opsi karena hadits dipastikan tidak mungkin berselisih.
Karena hadits dipastikan tidak mungkin bertentangan dengan hadits lain apalagi dengan al Qur’an, maka pemahamannya wajib mengacu pada para shahabat berdasarkan fakta-fakta hadits, karena merekalah yang paling tahu akan maksud dan tujuan yang terkandung dalam hadits dan dipastikan tidak selain mereka. Bahkan opsi beberapa ijtihad individu shahabat pun merupakan dalil yang wajib juga dipedomani. Perbedaan mayoritas terjadi karena hadits tidak sampai, telah di-nasakh atau di-mansukh yang tidak diketahui oleh shahabat lain, hal ini ditandai dengan mengunjungi atau kirim surat untuk mengingatkan atau bertanya.
Dari ribuan shahabat, yang menjadi mujtahid tidaklah banyak, ini pun bertingkat-tingkat keilmuannya berdasarkan individual shahabat sering atau lamanya menyertai Rasulullah ﷺ dalam setiap keadaan. Sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga khulafa’ur Rasyidin, ada para shahabat yang menyebar hingga ke beberapa negeri dan mukim di sana dan ada yang menjadi shahabat karena safarnya Rasulullah ﷺ. Murid dari shahabat pun tidak banyak dan dipastikan tidak menyerap 100% ilmu yang diwariskan oleh gurunya pada tiap individu murid-muridnya, begitulah seterusnya. Ini menggambarkan bahwa para shahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in mayoritas hanya sebagai perawi (periwayat) hadits. Sebagaimana para shahabat, para tabi’in yang mujtahid juga mengalami suatu permasalahan hukum dan ibadah di luar yang didapat dari gurunya dan hanya menerima satu atau sebagian hadits sehingga berdalil hanya dengan yang ia dapat. Sejak fase inilah ijtihad dinilai tidak mutlaq benar bahkan bisa jadi berseberangan dengan yang seharusnya meskipun mayoritas benar karena mereka masih sangat dekat dengan para shahabat untuk bertanya. Maka bukanlah suatu yang aneh jika zaman ulama salaf pun terjadi perbedaan dalam menentukan suatu hukum dan ibadah. Mayoritas ikhtilaf yang terjadi, sama dengan pendahulunya yaitu masing-masing hanya menerima satu atau sebagian hadits untuk berhujjah. Ketika zaman ulama salaf, persamaan pemahaman hukum dan ibadah masih sangat dominan. Selain perbedaannya belum begitu banyak dan mereka pun sangat menjunjung tinggi akan ijtihad masing-masing.
Mayoritas hukum dan ibadah terdiri dari beberapa hadits tetapi ada beberapa hukum dan ibadah yang terdapat dalam satu hadits. Hadits-hadits ada yang tersampaikan semua, sebagian atau hanya satu yang sama bahkan bervariasi hingga ke para ulama mujtahid dalam kurun waktu mana pun. Setelah zaman keemasan para shahabat, maka  permasalahan tidak hanya perbedaan tetapi juga adanya turunan hukum dan ibadah kreatif karena ijtihad ulama setelahnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak semua hadits tersampaikan secara utuh di tiap-tiap maqam perawi, misal ketika shahabat mengingatkan amalan shahabat lain yang keliru, maka yang disampaikan hanya yang menyangkut kekeliruannya atau hanya yang tidak diketahui oleh shahabat lain. Sedangkan kepada muridnya, hadits disampaikan secara utuh. Berdasarkan sanad, ada berapa hadits yang tidak utuh justru lebih shahih dari hadits yang utuh. Ketika hadits ini sampai ke ulama mujtahid, maka menjadikan istidlal yang bermacam-macam, terutama hadits yang tidak utuh akan bersifat lebih umum. Ketika hadits bersifat lebih umum, maka peluang mengistimbathkan hadits jadi lebih luas, sehingga hukum dan ibadah bisa beranak-pinak hingga bercucu-cicit disebabkan tidak mungkin membatasi pola pikir manusia. Hal ini banyak kita temui dalam kitab-kitab syarah hadits, mayoritas sebuah hadits diistimbathkan sebanyak mungkin, ada kalanya dikompromikan dengan satu atau beberapa hadits lain, juga matannya dimaknai perkata bahkan perkata pun dimaknai berdasarkan baris hingga menjadikan maknanya sangat variatif. Begitu pun dalam mendefinisikan sesuatu, sangat bergantung pemahaman dan algoritma ulama mujtahidnya. Maka tidak mengherankan jika oleh masing-masing ulama mujtahid di zaman mana pun ada yang sepemahaman, saling menguatkan, berbeda bahkan bertolak belakang dan juga terjadi beberapa turunan hukum dan ibadah yang variatif. Hal ini dapat dijumpai dalam kumpulan ribuan kitab ulama-ulama yang terhimpun dalam satu aplikasi maktabah yang hanya dengan mengetik key word, maka akan muncul sederetan jawaban. Dari yang hanya beberapa jawaban hingga yang suangat buanyak dan koumpleks, lalu bagaimanakah cara memastikan jawaban mana yang paling benar??? Pasrah!!!
Keadaan seperti inilah yang paling banyak menjadikan khilafiah bahkan menjadikan beberapa turunan hukum dan ibadah kreatif.  Selain faktor di atas juga ada faktor lain seperti pengaruh agama samawi (langit) sebelumnya, agama ardi (bumi), adat, budaya, tradisi  dan faktor lain. Bisa dibayangkan hingga akhir zaman? Benarlah apa yang disampaikan Rasulullah :

 
سنن أبي داوود ٣٩٨٠: حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

Sunan Abu Daud 3.980: Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, Nashara terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan."
 
Hadits semakna juga diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud 3.981; Sunan Ibnu Majah 3.981, 3.982, 3.983; Sunan Tirmidzi 2.564, 2.565; Sunan Darimi 2.406; Musnad Ahmad 8.046, 12.022, 16.329
 
Dalam hadits Abu Daud 3.981; Sunan Ibnu Majah 3.982, 3.983; Musnad Ahmad 12.022, 16.329 selanjutnya menyebutkan bahwa

كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Semua masuk neraka, kecuali satu golongan yaitu Al Jama'ah.
 
Sedangkan dalam Sunan Tirmidzi 2.565 disebutkan bahwa

 
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya."

Jadi siapa yang dimaksud Al Jama'ah? Yaitu mereka yang beramal hanya dengan hadits dan atsar yang mampu ia jama’/himpun di rentang zaman mana pun sebagaimana yang disebut dalam Sunan Tirmidzi 2.565 bahwa yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya dan pastinya hanya berlaku untuk amalan akhirat. Maka semua amalan akhirat di luar yang dimaksud adalah fiynnaar.
 
Semoga bermanfaat.

 
تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......

Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”
 
Wallahu a’lam bish shawwab
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Muara Bulian (Jambi), 10 Rabi’ul Akhir 1444 H

 

اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي

 

email 1: agung_swasana@outlook.co.id

email 2: agungswasana@gmail.com