26 Agustus 2020

BID’AHNYA MERAPATKAN TUMIT KETIKA SUJUD DALAM SHALAT

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah سبحانه وتعال, imam kita, Nabi Muhammad ﷺ beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. 

Memang tidaklah mudah menjabarkan suatu hukum yang terjadi khilafiah di kalangan para ulama salaf hingga khalaf. Selain mempertimbangkan istidlal para ulama terdahulu juga harus meneliti ulang dalil-dalil apa yang mereka pakai untuk berhujjah dengan memberikan penilaian juga argumen apakah hujjahnya layak dipergunakan atau tidak. Selain itu juga mentakhrij dengan hadits yang disangkakan ada kaitannya dengan masalah yang akan kita bahas. Mari kita mulai.

Asal-muasal masalah ini adalah dari hadits dalam shahih Muslim (1/352) dengan sanadnya dari Ubaidullah bin Umar al Umariy dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari al A’raj dari Abu Hurairah dari ‘Aisyah berkata :

قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَلَمَسْتُ الْمَسْجِدَ فَإِدَا هُوَ سَاجِدٌ وَقَدَمَاهُ مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوذُ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ


“Suatu malam aku kehilangan Rasulullah ﷺ, maka tersentuhlah beliau olehku di masjid, ternyata beliau sedang sujud dengan kedua telapak kakinya yang tegak ke atas, dan beliau mengucapkan : ‘Aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, tidaklah terhitung puji-pujianku kepada-Mu, Engkau adalah Dzat sebagaimana dipujikan oleh diri-Mu’.” ........ [1]
Diriwayatkan oleh Ahmad (6/58 dan 201) Abu Daud (1/547) Nasa’iy (1/102) Daruquthniy (1/143) Ibnu Abdul Bar dalam at Tamhid (23/349). 

Hadits ini juga memiliki jalan sanad lain yaitu dari Yahya bin Sa’id al Anshariy dari Muhammad bin Ibrahim at Taiymi dari ‘Aisyah رضي الله عنها berkata:

قَالَتْ كُنْتُ نَائِمَةً إِلَى جَنْبِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَقَدْتُهُ مِنْ اللَّيْلِ فَلَمَسْتُهُ بِيَدِي فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى قَدَمَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ يَقُولُ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَبِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ


“Tatkala aku tidur di samping Rasulullah , aku merasa kehilangan beliau. Aku mencoba mencarinya dengan tanganku, sehingga tanganku memegang kedua kaki beliau yang sedang sujud. Beliau mengucapkan : ‘Aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, dari maaf-Mu dan hukuman-Mu, dengan-Mu dari-Mu, aku tidak menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau puji atas diri-Mu’” ........[2]
Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’ (1/214) Tirmidzy (5/489) Nasa’iy (2/222) Thahawiy dalam Syarah Ma’aniy al Atsar (1/234) Baghawiy dalam Syarhus Sunnah (5/166).

Dari Sa’id bin Abi Maryam berkata telah memberitakan kepada kami Yahya bin Ayyub berkata telah menceritakan kepadaku ‘Umarah bin Ghaziyyah berkata aku telah mendengar Abu Nadhr berkata aku mendengar ‘Urwah berkata bahwa ‘Aisyah رضي الله عنه berkata :

فَقَدْتُ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي فَوَجَدْتُهُ سَاجَدَا، رَاصًّا عَقِبَيْهِ، مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ القِبْلَةَ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِن سَخَطِكَ، بِمُعَافَاتِكَ مِن عُقُوبَتِكَ، وَبِكَ مِنكَ، أُثْنِي عَلَيْكَ، لاَ أَبْلُغُ كُلُّ مَا فِيكَ.

“Aku merasa kehilangan Rasulullah ﷺ yang sebelumnya denganku di pembaringan maka tiba-tiba aku mendapati beliau sedang sujud, dan menyatukan kedua tumit kakinya serta ujung jari-jari kakinya menghadap ke kiblat. Dan aku mendengar beliau mengucapkan: “Aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dan dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, dan berlindung kepada-Mu dari adzab-Mu. Saya memuji-Mu, namun setiap pujian itu tidak akan mencapai dengan dengan segala yang ada pada-Mu.”. ........ [3]

Perhatikan hadits [1], [2] dan [3] .......{1}, para ulama berselisih pendapat tentang hadits [3] pada merapatkan kedua tumit ketika sujud dan dihukumi syadz. Hal ini diperkuat dengan tidak diamalkannya oleh para shahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in dan orang-orang setelahnya dalam shalat.
Agar lebih terarah maka pembahasan kita fokuskan pada amalan merapatkan kedua tumit ketika sujud, apakah ini termasuk syariat dalam shalat?

Pembahasan

Kenapa saya begitu greget dalam menjabarkan masalah ini dengan segala sisi metoda pendalilan? Meski dengan beberapa kali bongkar pasang artikel ini hingga tak terhitung dikarenakan terkendala menemui jalan buntu, juga rentang waktu yang sangat lama hingga seolah telah habis akal. Demi untuk mengemban kewajiban yang sangat besar serta dilandasi semangat pantang menyerah, ternyata hanya karunia Allah سبحانه وتعال sematalah yang menuntun kepemikiran yang dikehendaki-Nya.
Melatari sujud adalah puncak penghambaan kita terhadap Allah سبحانه وتعال yang merupakan kunci utama dalam rangkaian ibadah yang menentukan diterima atau tidaknya semua amal ibadah kita. Dengan konsekuensi yang sedemikian besarnya akan hal ini, maka tidaklah berlebihan jika saya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memurnikan amalan ini dari kebid’ahan dan syubhat dan semoga Allah سبحانه وتعال meridhai.
Baiklah kita bedah masalah ini secara rinci dan lebih detil dengan mengacu dari sudut pandang ushul fiqh agar dapat ditarik kesimpulan hingga dijadikan landasan hukum dalam ibadah shalat.

Pertama (penilaian perawi hadits)

Perhatikan penilaian ulama terhadap Yahya bin Ayyub al Mishriy dalam kitab “La Jadida Fi Ahkamish Shalat” (Tidak Ada Yang Baru Dalam Hukum-Hukum Shalat)  oleh Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid.
Maka aku nyatakan bahwa hadits [3] dengan lafadz yang berbunyi demikian adalah bersumber dari jalan lain yang ditakhrij oleh Ibnu Khuzaimah (653) dengan judul “Bab menyatukan kedua tumit dalam sujud” kemudian dari jalan Ibnu Khuzaimah hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Hibban (1933) Thahawiy  dalam Syarh Ma’ani al Atsar (1/234) juga dalam Syarh Musykilil Atsar (111) Hakim dalam Mustadrak (1/228) Baihaqiy dalam Kubra (2/116) dan Ibnu Abdul Bar dalam Tamhid (23/348) namun tidak satu pun dari ulama-ulama ini yang memberikan judul dengan inti di pembahasan ini.

Berkata Hakim usai membawakan hadits [3] dengan lafadz ini : “Ini adalah hadits shahih yang sesuai dengan syarat dua syaikh (Bukhari, Muslim) namun keduanya tidaklah mentakhrijnya dengan lafadz ini terlebih aku tidaklah mengetahui adanya seseorang yang menyebut disatukannya kedua tumit dalam sujud kecuali apa yang ada dalam hadits ini.” Ucapan beliau disetujui oleh Dzahabiy dalam Talkhish namun persetujuan ini merupakan sesuatu yang ganjil dari Dzahabiy رحمة الله di mana beliau telah mencacat beberapa hadits lain sebab Yahya bin Ayyub dalam kitab Talkhish lil Mustadrak sebagaimana dalam (2/201, 3/ 7, 4/44 & 243).
Yahya bin Ayyub رحمة الله meskipun beliau seorang rawi yang ditakhrij oleh jama’ah (yaitu imam penyusun enam kitab hadits induk) kecuali Bukhari yang tidak lain beliau hanya mentakhrijnya dalam barisan pendukung bukan utama namun komentar para ahli hadits tentangnya adalah berbeda-beda dengan persilangan perbedaan yang banyak antara yang menghukuminya sebagai rawi tsiqqah, yang menghukuminya rawi cacat atau yang menghukuminya secara pertengahan. Hal ini disebabkan ditemukannya kejanggalan-kejanggalan dalam hadits beliau juga riwayat-riwayat yang mungkar sehingga riwayat beliau mesti disikapi hati-hati.

Dalam komentar Imam Ahmad رحمة الله di mana beliau sebagaimana dinukil dalam kitab Du’afa’ karya ‘Uqailiy (211) berkata: “Ahmad bin Muhammad berkata bahwa aku mendengar Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad berkata saat disebut nama Yahya bin Ayyub al Mishriy: ‘Beliau termasuk menyebarkan hadits dengan berpegang pada hafalannya.’ Maka aku pun menyebutkan kepada Imam Ahmad di antara haditsnya yaitu Yahya bin Ayyub dari ‘Umarah dari ‘Aisyah bahwa Nabi ﷺم membaca dalam witir beliau, maka tiba-tiba Imam Ahmad berkomentar: 'Hah ! siapa yang membawa hadits ini?'
Perhatikan baik-baik pernyataan Imam Ahmad ini. Mengapa beliau mengomentari hadits ini dengan lafadz “Hah ! siapa yang membawa hadits ini ?”.
Setelah saya (penulis) cari, ternyata hadits yang ada lafadz: “Nabi  membaca dalam witir beliau” ini adalah riwayat Ali bin Abi Thalib bukan riwayat ‘Aisyah, maka beliau membantahnya.
Inilah hadits yang disangkakan diriwayatkan oleh ‘Aisyah sebagaimana di bawah:

Telah menceritakan kepada kami Yazid telah memberitakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin 'Amru dari Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dari Ali رضي الله عنه,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي آخِرِ وِتْرِهِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوذُ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Bahwa Nabi ﷺ di akhir witirnya membaca: "Ya Allah sesungguhnya aku berlindung dengan Ridha-Mu dari murka-Mu, dan aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu aku tidak mampu menghitung pujian kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau puji pada diri-Mu." (juga diriwayatkan dari beberapa jalan) ........ [4]

Kedua (perumusan dalil)

Ditinjau dari sudut penarikan hukum (istimbath), tentu harus mengacu pada kaidah. Dalam menentukan kaidah gerakan dipastikan syarat utama adalah penglihatan, yang kemudian disampaikan lewat ucapan atau kata-kata.
Jika dengan ucapan tanpa melihat kejadian maka ia hanya boleh meneruskan apa yang disampaikan oleh yang punya kewenangan pembuat syariat yaitu Rasulullah ﷺ.

Dalam hadits {1} dipastikan penglihatannya terhalang oleh gelapnya malam hingga tidak terlihat sesuatu apa pun, secara kaidah ini telah menggugurkan persyaratan utama dalam penentuan hukum. Dalam masalah ini penglihatan adalah syarat utama untuk menjelaskan proses gerakan dari mulai i’tidal/berdiri hingga sujud. Lalu di manakah tempat gerakan merapatkan tumit dilakukan? Apakah dilakukan ketika masih berdiri, jika ya, bagaimana caranya dan jika tidak berarti ketika sujud. Jika ketika sujud, bagaimana caranya dan di sujud manakah dilakukannya? Apakah sujud pertama atau kedua, atau pada sujud akhir setiap rakaatnya, atau pada sujud akhir shalatnya, atau pada semua sujud, yang selanjutnya diriwayatkan secara ucapan.
Jika pensyariatan ini memang ada, maka hadits {1} dipastikan tidak mungkin berdiri sendiri, karena harus ada hadits lain untuk menjelaskan bagaimana cara merapatkan tumit dan di mana tempat melakukannya, namun hingga sekarang tidak ditemukan satu pun.
Yang ada justru hadits [4] yang menyebutkan: “..... di akhir witirnya membaca: ...”, ini menjelaskan bahwa doa yang didengar ’Aisyah رضي الله عنها pada hadits {1} dibaca ketika sujud di rakaat terakhir pada shalat witir dan ini menandakan kekhususan bukan berlaku umum apalagi mutlaq.

Dalam hikayat orang buta dengan gajah yang sangat populer di kalangan santri dalam melandasi kaidah hukum dasar ilmu, agar dipahami bahwa yang seperti ini adalah suatu kemustahilan. Padahal ini hanya untuk menjelaskan bentuk benda, apalagi untuk menjelaskan suatu gerakan dipastikan penglihatan merupakan pokok dasar pengambilan kepastian hukum.
Coba perhatikan matan hadits [3] pada: “.... maka tiba-tiba aku mendapati beliau sedang sujud, dan menyatukan kedua tumit kakinya .....” jelas ini suatu kedustaan dari perawi karena semua hadits yang meriwayatkan tentang sujud yang kejadiannya disaksikan oleh sekian banyak shahabat dengan perawi yang tsiqah baik hadits-hadits yang mutawatir maupun hadits-hadits ahad, tidak satu pun yang menyebutkan “menyatukan kedua tumit kakinya”.

Di bawah ini saya berikan contoh dua hadits dari sekian banyaknya hadits yang meriwayatkan tentang sujud, bahwa gerakan itu hanya bisa diketahui berdasarkan pengamatan melalui penglihatan yang kemudian dijelaskan lewat ucapan atau kata-kata, demikian haditsnya:

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Ibnu Abi Umar semuanya meriwayatkan dari Sufyan berkata Yahya, telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Ubaidullah bin Abdullah bin al-Ashamm dari Pamannya, Yazid bin al-Ashamm dari Maimunah dia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ لَوْ شَاءَتْ بَهْمَةٌ أَنْ تَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لَمَرَّتْ

"Dahulu Nabi ﷺ apabila sujud, lalu seekor anak kambing bermaksud lewat (di bawah) antara dua tangannya niscaya ia bisa lewat." (Shahih Muslim 765)

Telah bercerita kepada kami Ishaq Al Arzaq dan Yahya bin Sa'id berkata Ishaq telah bercerita kepada kami Husain bin Al Muktib dari Budail dari Abu Al Jauza` dari 'Aisyah berkata:

.....وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يَرْفَعْ رَأْسَهُ وَقَالَ يَحْيَى يُشْخِصُ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا
قَالَتْ وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عَقِبِ الشَّيْطَانِ وَكَانَ يَفْتَرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ أَحَدُنَا ذِرَاعَيْهِ كَالْكَلْبِ وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلَاةَ بِالتَّسْلِيِ

..... saat ruku' beliau tidak mengangkat kepala, berkata Yahya dalam riwayatnya: Beliau tidak mengangkat dan menundukkan tapi pertengahan di antara ke duanya, saat mengangkat kepala dari ruku', beliau tidak sujud hingga berdiri lurus dan bila mengangkat kepada dari sujud, beliau tidak sujud hingga duduk lurus.
Berkata 'Aisyah: Beliau membaca tahiyyat di setiap dua rakaat, beliau melarang tumit setan, beliau menghamparkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanan, beliau melarang salah seorang dari kami untuk menghamparkan lengannya seperti anjing, beliau menutup shalat dengan salam. (Musnad Ahmad 22.903)

Bahkan dalam hadits ini tidak hanya menjelaskan tentang sujud, tetapi juga gerakan lain dalam shalat yang tentunya semua berdasarkan penglihatan. Dalam hadits tentang sujud ada lebih dari 300 hadits dan tidak satu pun yang menyebutkan tentang menyatukan kedua tumit.
Jangankan hukum syariat, yang umum saja, apakah ia orang Arab, orang Indonesia, orang China dan lain-lain bahkan orang kafir pun berlaku hukum bahwa yang namanya gerakkan itu penentunya adalah penglihatan. Contohnya tidak ada komentator atau pengamat sepak bola yang buta, bahkan komentator atau pengamat catur yang gerakannya bisa sangat lambat pun tidak ada yang buta. Bahkan olah raganya orang buta pun tidak diwasiti oleh orang buta. Dan saya yakin sepenuhnya bahwa orang kafir pun tidak akan mengambil kesimpulan dengan cara seperti dalam kasus ini buktinya seperti contoh.

Dengan tidak adanya yang meriwayatkan sabda dari Rasulullah tentang merapatkan tumit ketika sujud dalam shalat dan beliau tidak menjelaskan hadits {1}, juga dengan tidak satu pun para shahabat yang meriwayatkan hal ini sedangkan mereka melihat gerakkan tata cara shalat Rasulullah setiap harinya. Maka acuan hukum untuk mendasari gerakan yang disampaikan dengan kata-kata tidak terpenuhi.

Ketiga hadits {1} di atas menunjukkan bahwa ini adalah satu kejadian/ peristiwa yang bersifat insidentil atau kebetulan yang artinya bukan kejadian yang berulang. Kejadian seperti ini sangat kecil terulang, seandainya terulang pun belum tentu dalam keadaan shalat dan yang terpegang pun belum tentu kedua kakinya, bisa hanya satu kakinya saja, juga bisa kepala, tangan, badan atau lainnya dengan keadaan dan posisi yang sangat beragam. Maka peristiwa yang seperti ini hanya bisa mendasari hukum kejadian semisal atau yang sifatnya juga insidentil dan bukan yang bersifat pengulangan atau kebiasaan.

Dari uraian di atas sudah sangat gamblang sebagai penyangkalan adanya syariat ini. Namun agar lebih meyakinkan kita runut masalah ini, di mana kejadian pada satu malam dan lebih khusus pada shalat witir.
Dari hadits-hadits shahih yang diriwayatkan, bahwa Rasulullah ﷺ berwitir 1, 3, 5, 7 dan 9 rakaat. Artinya sujud yang dilakukan minimal 2 kali dan maksimal 18 kali, dan shalat yang satu rakaat dikarenakan khawatir jika waktunya masuk subuh.
Abu Hurairah رضي الله عنه dalam haditsnya menyebutkan salah satu amalan dari tiga amalan yang tidak pernah ia tinggalkan hingga wafat yaitu shalat witir sebelum tidur. Dan dari hadits-hadits shahih lain juga diriwayatkan bahwa para shahabat sering melakukan shalat witir di awal, di pertengahan dan di akhir malam. Para shahabat adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam ibadah, jadi tidak mungkin mendawamkan amalan yang paling ringan bahkan diyakini mengamalkan yang paling banyak demi meraih keutamaan. Dalam shalat witir yang dilakukan oleh Abu Hurairah رضي الله عنه dan para shahabat yang lain, mengapa tidak satu pun yang meriwayatkan merapatkan kedua tumit ketika sujud? Dari hal ini saja kita sudah menemukan kejanggalan padahal shalat witir adalah amalan yang sering dilakukan  dan merupakan kebiasaan.

Jika ‘Aisyah رضي الله عنها meriwayatkan hadits {1} ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa ketika sujud merapatkan tumit dalam shalat witir, mengapa tidak dalam keadaan bermakmum dengan Rasulullah ﷺ?, sedangkan beliau ﷺ sering membangunkan ahli bait ketika shalat witir. Atau mengapa ‘Aisyah رضي الله عنها tidak meriwayatkan ketika ia sendiri yang melakukannya dengan menyandarkan kepada Rasulullah ﷺ?

Apalagi jika dibandingkan dengan shalat fardhu yang dilakukan lima kali dengan 17 raka’at setiap hari yang artinya melakukan 34 kali sujud dengan kesadaran penuh dan kekhusu’an yang tinggi yang dilakukan oleh para shahabat. Mengapa juga tidak satu pun para shahabat yang meriwayatkan hal ini, apakah mereka lalai semua dan selamanya?
Terkhusus pada shalat fardhu Dzuhur dan Ashar, para shahabat yang berada di belakang persis Rasulullah ﷺ, sangat jelas melihat gerakan kaki beliau baik pada sujud pertama juga sujud ke dua setiap rakaatnya karena para shahabat bergerak untuk sujud setelah Rasulullah ﷺ sujud sempurna. Gerakkan ini dilakukan delapan kali untuk shalat Dzuhur dan delapan kali untuk shalat Ashar setiap harinya. Apakah dalam kondisi seperti ini kita meyakini para shahabat lalai dalam meriwayatkan merapatkan tumit atau bagaimana cara dan di mana tempat melakukannya ketika sujud?
Begitu juga pada shalat sunnah rawatib, shalat dhuha dan shalat-shalat sunnah lainnya, mengapa juga tidak satu pun yang meriwayatkan merapatkan tumit ketika sujud, apakah kesemuanya juga kelalaian dalam meriwayatkannya?

Simak hadits tata cara gerakan sujud, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah yang meriwayatkan adanya gerakan menghadapkan jari-jari kakinya ke kiblat (membuka jari-jari kakinya) sebagaimana di bawah.

Ini adalah hadits ketika sujud pada shalat fardhu yang disaksikan dan ditakrirkan oleh sekelompok shahabat yaitu hadits Abu Humaidi رضي الله عنه berikut:

..... فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ .....

“...........Apabila sujud beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menelungkupkan dan tidak pula merapatkannya, dan menghadapkan jari-jari kakinya ke kiblat ..........” (Shahih Bukhari 785)

Dan perhatikan pula nukilan hadits ketika sujud pada shalat sunnah yang juga dibenarkan oleh sepuluh shahabat yang juga hadits Abu Humaidi رضي الله عنه berikut:

..... ثُمَّ يَهْوِي إِلَى الْأَرْضِ، فَيُجَافِي يَدَيْهِ عَن جَنبَيْهِ، ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا وَيَفْتَحُ أَصَابِعَ رِجْلَهُ إِذَا سَجَدَ وَيًسْجُدُ .....

“....... Kemudian beliau turun menuju ke tanah, dan beliau merentangkan kedua tangannya di sampingnya, kemudian beliau mengangkat kepalanya, dan menyilangkan kaki kirinya dan duduk di  atasnya. Dan, beliau membuka jari-jari kakinya sewaktu sujud, kemudian sujud ....” (Musnad Ahmad 22.493; Sunan Abu Daud 627; Sunan Ibnu Majah 1.051; Sunan Tarmidzi 280; Sunan  Darimi 1.322)

Bahwa gerakan merapatkan tumit itu jauh lebih besar dari pada menghadapkan jari-jari ke kiblat, tetapi mengapa justru yang menghadapkan jari-jari ke kiblat yang diriwayatkan? Apalagi kalau merapatkan tumit ketika masih berdiri, maka gerakannya jauh lebih besar lagi. Lalai jugakah dalam meriwayatkan?

Jika dipandang dari segi syariat dan adab, waktu yang paling tepat pensyariatan hal ini yaitu ketika hadits [5] diturunkan.
Ketika shalat witir, jika kekhawatiran auratnya terlihat maka dengan gelapnya malam tentunya tidak akan terlihat, seandainya terlihat pun hanya oleh ahli bait.
Berbeda ketika shalat pada siang hari dengan berjama'ah laki-laki dan perempuan sebagaimana hadits berikut:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ كَانَ رِجَالٌ يُصَلُّونَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاقِدِي أُزْرِهِمْ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ كَهَيْئَةِ الصِّبْيَانِ وَيُقَالُ لِلنِّسَاءِ لَا تَرْفَعْنَ رُءُوسَكُنَّ حَتَّى يَسْتَوِيَ الرِّجَالُ جُلُوسًا

Dari Sahal bin Sa'd berkata, "Kaum laki-laki shalat bersama Nabi ﷺ dengan mengikatkan kain pada leher-leher mereka seperti bayi. Lalu dikatakan kepada kaum wanita: "Janganlah kalian mengangkat kepala kalian hingga para laki-laki telah duduk." (HR: Bukhari 349, 772, 1.139; Muslim 665; Abu Daud 535; Nasa’i 758; Ahmad 15.011, 21.744) .......... [5]

Ini menandakan bahwa jamaah laki-laki dan wanita tidak berhijab saat itu. Walau kain sempit pastinya minimal menutupi aurat. Jika sekiranya merapatkan tumit bisa mengantisipasi terlihatnya aurat, untuk apa Rasulullah ﷺ memerintahkan wanita untuk menunda bangun dari sujud sebelum laki-laki duduk sempurna? Jangankan dengan wanita, dengan sesama laki-laki tetap saja aurat.
Dalam keadaan darurat saja, mengapa Rasulullah ﷺ tidak memerintahkan merapatkan tumit, apalagi dalam keadaan normal.

Ini syubhat yang dilontarkan beberapa ulama dengan mengedepankan ra’yunya seolah lebih baik dari syariat yang dibawa oleh nabi dengan mengatakan, dengan merapatkan tumit akan lebih terjaga auratnya. Ini bentuk pelecehan terhadap syariat. Syariat yang dibawa Rasulullah ﷺ itu adalah syariat yang sempurna, mulia dan sangat agung yang pasti terbebas dari semua cela, cacat dan kesalahan. Coba bandingkan dengan syariat isbal, apa urgennya pelarangan menutupi mata kaki? Adakah keistimewaan mata kaki laki-laki diumbar? Apakah tidak lebih utama syariat isbal ditiadakan agar lebih terjaga auratnya ketika sujud, tetapi mengapa justru ancamannya begitu besar? Atau juga mengapa kaum laki-laki tidak disyariatkan seperti perempuan agar pasti terjaga dari auratnya? Wallahu a’lam, tak terjangkau akal kita untuk mencernanya.

Ketiga (takhrij hadits)

Perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi di dalam al-Musykil (1/30), {Ibnu Khuzaimah (no. 654)}, al-Hakim (1/228), al-Baihaqi (2/116) dengan sanad al-Hakim, dari jalan Sa’ad bin Abi Maryam, dia berkata: ‘Umarah bin Ghasiyyah menceritakan kepadaku, dia berkata: Saya mendengar Abu an-Nadhar berkata: Saya telah mendengar ‘Urwah bin az-Zubair berkata: ‘Aisyah berkata:

قَدْتُ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم َكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي فَوَجَدْتُهُ سَاجَدَا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ القِبْلَةَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِن سَخَطِكَ، بِمُعَافَاتِكَ مِن عُقُوبَتِكَ، وَبِكَ مِنكَ أُثْنِي عَلَيْكَ لاَ أَبْلُغُ كُلُّ مَا فِيكَ فَلَمَّ انْصَرَفَ قَلَ يَا عَائِشَةَ أَخَجَكِ شَيْطَانُكِ؟ فَقُلْتُ أَمَالَكَ شَيْطَانٌ؟ فَقَالَ مَا مِن آدَمِيِّ إِلاَّ لَهُ شَيْطَانٌ فَقُلْتُ وَإِيَّاكَ يَا رَسُولُ الله؟ قَلَ وَإِيَّايَ لَكِّنِي أَعَانَنِيَ

“Saya tidak menjumpai Rasulullah  yang sebelumnya denganku di pembaringan kemudian saya mendapati beliau sedang sujud, dan merapatkan kedua tumit kakinya serta ujung jari-jari kakinya diarahkan ke kiblat. Dan saya mendengar beliau mengucapkan: ‘Saya berlindung dengan  keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dan dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, dan berlindung kepada-Mu dari adzab-Mu. Saya memuji-Mu, namun setiap pujian itu tidak akan mencapai dengan  dengan segala yang ada pada-Mu’. Setelah beliau menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda: ‘Wahai ‘Aisyah, syaithanmukah yang menuntun dirimu?’ Saya bertanya: ‘Apakah anda tidak mempunyai syaitan’ Beliau menjawab: ‘Tidak seorang pun dari bani Adam kecuali ada syaitan menyertainya’.  Saya berkata: ‘Kalau begitu tuan juga wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Demikian juga saya, akan tetapi Allah telah memberikan pertolongan-Nya kepadaku hingga syaitan itu memeluk Islam’.”   ........ [8]

Dengan adanya hadits [8] ini, lebih memperuncing khilafiah dalam masalah ini. Hadits [8] ini dihukumi shahih sesuai kriteria Muslim, betulkah demikian? Inilah yang akan kita buktikan.

Mari kita takhrij dengan hadits-hadits lain dan benarkah hadits  [8] ini shahih?, perhatikan hadis berikut:

صحيح مسلم ٥٠٣٥: حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي أَبُو صَخْرٍ عَنْ ابْنِ قُسَيْطٍ حَدَّثَهُ أَنَّ عُرْوَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَتْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا لَيْلًا قَالَتْ فَغِرْتُ عَلَيْهِ فَجَاءَ فَرَأَى مَا أَصْنَعُ فَقَالَ مَا لَكِ يَا عَائِشَةُ أَغِرْتِ فَقُلْتُ وَمَا لِي لَا يَغَارُ مِثْلِي عَلَى مِثْلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَدْ جَاءَكِ شَيْطَانُكِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْ مَعِيَ شَيْطَانٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَمَعَ كُلِّ إِنْسَانٍ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَمَعَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ وَلَكِنْ رَبِّي أَعَانَنِي عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ

Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa'id Al Aili telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab telah mengabarkan kepadaku Abu Shakr dari Ibnu Qusaith telah menceritakan kepadanya bahwa Urwah telah menceritakan kepadanya bahwa ‘Aisyah رضي الله عنها, istri Nabi ﷺ, telah menceritakan kepadanya
Bahwa Rasulullah ﷺ keluar dari kediamannya pada suatu malam. ‘Aisyah رضي الله عنها berkata: “Aku merasa cemburu pada beliau, lalu beliau datang dan aku melihat yang beliau lakukan. Beliau bertanya: ‘Kau kenapa, wahai Aisyah?’ Aku menjawab: ‘Orang sepertiku mengapa tidak mencemburui orang seperti Tuan?’ Rasulullah  bersabda: ‘Apa setanmu mendatangimu?’ ‘Aisyah رضي الله عنها bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah ada setan menyertaiku?’ Beliau menjawab: ‘Ya’. ‘Aisyah رضي الله عنها bertanya: ‘Juga menyertai semua manusia?’ Beliau menjawab: ‘Ya’ Ia bertanya: ‘Menyertai Tuan juga?’ Beliau menjawab: ‘Ya, hanya saja Rabbku menolongku mengalahkannya hingga ia masuk Islam’." (Shahih Muslim: 5.035, Musnad Ahmad: 23.701) ......... [9]

Perhatikan matan hadits [9] pada, “Rasulullah ﷺ keluar dari kediamannya pada suatu malam. ‘Aisyah رضي الله عنها berkata: Aku merasa cemburu pada beliau, lalu beliau datang dan aku melihat yang beliau lakukan” Ini menandakan bahwa ‘Aisyah رضي الله عنها tidak tidur ketika itu karena mengetahui kepergian dan kedatangan Rasulullah ﷺ dan melihat apa yang beliau lakukan. Ini bertolak belakang dengan hadits-hadits .....{1}. Juga terdapat perbedaan lain, pada hadits [9] menyebutkan tentang kecemburuan karena qarin sedang hadits-hadits .....{1} menyebutkan tentang amalan do’a dalam sujud. Dari hadits-hadits ini tidak mungkin dijamak atau saling dijadikan penguat karena kontradiksi maknanya dan sama sekali tidak ada korelasinya. Ini dipastikan kejadian yang berbeda. Ternyata didapati hadits lain dari jalan Sa’id bin Abi Maryam yang di dalamnya terkumpul matan dari hadits-hadits tersebut sebagaimana hadits [8] yang dijadikan landasan hukum masalah ini dalam Ashlu Shifat Shalat Nabi oleh syaikh Nashiruddin al-Albaniy. Jelas ini terjadi pembaharuan hukum, hal ini tidak mungkin bisa dikompromikan karena isinya bertolak belakang dan sama sekali tidak ada korelasinya.
Jika tidak diketahui mana yang lebih dahulu turun, maka cara lain yang ditempuh yaitu dengan ditarjih.
Jika hadits [8] ini turunnya belakangan berarti me-nasakh hadits-hadits {1} dan [9] maknanya hadits-hadits {1} dan [9] dihapus yang berarti juga tidak bisa dijadikan penguat apalagi hujjah.
Jika hadits-hadits {1} dan [9] ini turun belakangan, maka hadits [8] yang dihapus.
Pe-nasakh-an ke dua ini mustahil, karena tidak mungkin akibat turun mendahului sebab. Tidak mungkin mencela perbuatan (cemburu) yang belum dilakukan atau akan dilakukan kemudian/nantinya.
Jika ditarjih hadits-hadits {1} dan [9] lebih shahih dari hadits [8]. Jadi mana yang dijadikan hujjah?
Jadi bingung yah......!!! Wajar saja, para muhaditsin dahulu pun begitu, apalagi kita.
Sebenarnya bagaimana sih.......? Jawabannya ada pada matan hadits-hadits tersebut.
Perhatikan hadits [9] pada kata-kata, "Apa setanmu mendatangimu?", mengapa Rasulullah ﷺ mencela ‘Aisyah رضي الله عنها? Sebab ‘Aisyah رضي الله عنها cemburu sehingganya dicela, Rasulullah ﷺ sangat tidak pantas dicemburui. Kecemburuan ini disebabkan oleh qarin yang ketika itu lebih menguasai ‘Aisyah رضي الله عنها, dan cemburu berlebihan bisa menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Kemudian perhatikan hadits [8], apakah ada kejanggalan pada matan pada hadits ini?
Pada kata merapatkan tumit ketika sujud ini adalah mungkar, selain itu ada kejanggalan pada kata-kata: “Wahai ‘Aisyah, syaithanmukah yang menuntun dirimu?”.
Di mana janggalnya? Apakah mungkin selesai shalat  lalu tanpa ada sebab Rasulullah ﷺ mencela? Ini sangat bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits, sedangkan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ akhlaknya adalah paling baik terhadap keluarganya (Musnad Ahmad 24.797) juga bahwa Rasulullah bukanlah pencela (Shahih Bukhari 5.571, 5.586), bahkan akhlak beliau sebagai suri teladan manusia diabadikan dalam al-Qur’an (QS: Al Ahzab [33]: 21).
Apa mau berkilah dengan hadits [9]? Sangat tidak masuk akal!!! Kenapa? Setelah dinasakh, bukankah hadits-hadits {1} dan [9] tidak bisa dijadikan penguat karena sudah dihapus. Jika bisa pun sangat tidak relevan, karena dalam hadits [9] hanya menjelaskan masalah kecemburuan dan sama sekali tidak membicarakan masalah shalat.
Hadits [8] ini terdiri dari hadits [3], idraj pada kata “Setelah beliau menyelesaikan shalatnya” dan sebagian dari hadits Ibnu Qusaith (hadits [9]). Jika dinilai secara keseluruhan dihukumi maudhu’ (palsu) karena hadits [3] mungkar, adanya idraj dan yang pasti hadits-hadits ini tidak mungkin bisa dijama’ karena isinya saling bertolak belakang yang menunjukkan ciri-ciri hadits maudhu’.

Keempat (pengambilan keputusan)

Dari pendapat beberapa ulama bahwa perawi hadits [3] Yahya bin Ayyub al Mishriy dinilai bermacam-macam, tetapi dalam masalah ini terbukti cacat, hadits [3] ini dinilai syadz karena menyelisihi hadits [1] dan hadits [2], apalagi bertentangan dengan semua hadits-hadits yang shahih tentang sujud.
Dalam beberapa kasus bisa saja hadits disangkakan hasan bahkan shahih secara sanad, tetapi karena terbukti tertolak untuk disertakan dalam berhujah, maka jatuhlah hadits itu kepada dha’if bahkan maudhu’.
Kecuali hadits itu bisa disertakan dalam menghukumi amalan yang lain dan statusnya berdasarkan sanadnya.
Ditinjau dari beberapa bukti yang ditemukan, maka tidaklah berlebihan jika hadits [3] dinilai munkar bahkan tepatnya maudhu’ karena terbukti dari kedha’ifan perawi, bahkan perawi terbukti berdusta dalam hal ini.

Lebar jarak kaki ketika sujud sebagaimana posisi ketika berdiri, maka apa pun bagian kaki yang terlihat oleh siapa pun, saya pastikan bukan aurat.
Jarak kedua kaki ketika berdiri selebar bahu, baik sebagai imam atau makmum. Berdasarkan nash shahih tentang shaf, ketika bahu bertemu bahu dan kaki bertemu kaki sesama jamaah shalat, maka inilah lebar idealnya jarak kaki kita ketika shalat.

Pada hadits [8] sangat layak untuk ditinggalkan, sekiranya hadits [3] shahih dan tidak adanya idraj, hadits [8] ini tetap dihukumi maudhu’ karena hadits [3] dan hadits [9] tidak mungkin bisa dijama’.
Dan saya meyakini hadits [8] ini adanya tadlis tsawiyyah agar dinilai shahih secara sanad, tetapi saya tidak akan terpedaya dan saya cukupkan dengan mentakhrijnya untuk membuktikan bahwa hadits ini maudhu’.

Dalam perumusan dalil pada hadits {1}, kesalahan yang paling mendasar dan fatal dalam masalah ini dikarenakan mendasari hukum gerakan pada malam hari dengan kondisi tidak bisa melihat apa pun yang merupakan suatu kemustahilan, juga kejadian yang mungkin hanya terjadi sekali (kebetulan) dijadikan dasar  penetapan amalan yang sifatnya rutin (berulang) serta adanya hadits [4] sebagai penekanan bahwa ini adalah kekhususan, bukannya berlaku umum apalagi mutlaq. Jelas ini melanggar kaidah, irasional, sama sekali tidak logis dan pola pikir yang ghairu ilmiyah.

Jika hadits {1} yang notabene pada hadits [3] ada yang diperselisihkan pada merapatkan tumit ketika sujud dan diberlakukan mutlaq, harusnya hadits {1} pada doa yang didengar ‘Aisyah رضي الله عنها yang tidak ada perselisihan tentunya lebih pantas diberlakukan mutlaq hingga harusnya ditetapkan sebagai bacaan dzikir dalam sujud secara mutlaq. Apakah seperti itu? Ternyata tidak!!!

Dan ini saya hadirkan hadits yang semisal dengan kasus ini untuk pembanding hingga bisa jadikan rujukan dalam memutuskan hukum. Demikian haditsnya:

Telah menceritakan kepada kami Abu Mughirah telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Al Ghoz telah menceritakan kepadaku 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata;

.....أَنَّهُ حِينَ هَبَطَ بِهِمْ مِنْ ثَنِيَّةِ أَذَاخِرَ صَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جَدْرٍ اتَّخَذَهُ قِبْلَةً فَأَقْبَلَتْ بَهْمَةٌ تَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا زَالَ يُدَارِئُهَا وَيَدْنُو مِنْ الْجَدْرِ حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى بَطْنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ لَصِقَ بِالْجِدَارِ وَمَرَّتْ مِنْ خَلْفِهِ

...... Dan dia menyebutkan bahwa ketika turun dari Tsaniyah Adzakhir, Rasulullah shalat bersama dengan mereka dan menghadap ke arah tembok yang dijadikan sebagai kiblat. Lalu muncullah seekor anak kambing lewat di hadapan Rasulullah ﷺ, maka Nabi pun berusaha mencegah anak kambing tersebut sambil terus mendekat ke arah tembok. Sehingga aku lihat perut Nabi menempel tembok dan anak kambing itu lewat di belakang beliau. (Musnad Ahmad 6.556) ....... [10]

Hadits [10] ini kejadiannya semisal dengan hadits [3] yang sifatnya juga insidentil (kebetulan). Tidak satu pun hadits yang menyelisihinya dan perawinya juga tidak ada yang diperbincangkan, ternyata hingga sekarang jangankan para shahabat, para ulama salaf atau ulama terkini bahkan orang yang jahil, tidak satu pun yang menghukumi adanya syariat gerakan menempelkan perut ke tembok (sutrah) dalam shalat. Bukankah tidak ada kambing yang akan lewat di depannya? Dalam pembahasan hadits [3] juga tidak disyariatkan membaca doa yang didengar ‘Aisyah? Lalu apa bedanya?

Dalam hadits [10], jelas secara visual sedang mengajarkan suatu amalan gerakan yang juga disaksikan banyak shahabat karena shalat berjamaah. Sedangkan dalam hadits {1} tidak menunjukkan tanda atau ciri-ciri sedang mengajarkan atau menjelaskan suatu amalan gerak hanya memberitahukan suatu keadaan. Dalam hadits [3] dipastikan gerakkan merapatkan tumit hanyalah sangkaan belaka karena dalam hadits shahih yang sejalur perawinya (hadits [1] dan [2]) justru tidak menyebutkannya. Sedangkan sangkaan dalam meriwayatkan hadits adalah merupakan kedustaan yang sangat besar yang diancam dengan menyiapkan tempat duduk di neraka.
Dalam hadits {1} diketahuinya dalam shalat dari hadits lain, pun hanya dijelaskan kekhususannya pada shalat witir di rakaat terakhir bukan di setiap rakaat pada semua shalat.
Secara hukum, syariat dalam hadits [10] ini lebih layak untuk diamalkan secara mutlaq dibanding syariat merapatkan tumit ketika sujud dalam shalat. Lalu kenapa tidak satu pun yang berpendapat degannya?

Dengan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa merapatkan tumit ketika sujud pada shalat witir tidak pernah dilakukan Rasulullah ﷺ dan para shahabat. Juga dalam hadits-hadits tentang shalat-shalat maktubah maupun shalat nafilah tidak ditemukan satu pun yang meriwayatkan hal ini.
Jika khusus untuk shalat witir saja tidak terpenuhi dalam melandasi pensyariatan adanya merapatkan tumit ketika sujud, tentunya akan lebih tidak mungkin untuk melandasi pensyariatan secara umum apalagi mutlaq.

Hadits [1] dan [2] ini hanya bisa diterapkan untuk kejadian yang sifatnya insidentil, yaitu jika seorang yang sedang shalat dan terjamah langsung (apalagi hanya sekedar tersentuh) oleh istri tanpa ada penghalang, tidak menyebabkan batalnya shalat.
Dengan adanya  hadits [1], [2] dan hadits [4], maka dapat diketahui bahwa doa ini hanya dibaca dalam shalat witir di rakaat terakhir ketika sujud bukan dalam qunut atau bukan ketika duduk tasyahud akhir.
Hal ini mengindikasikan bahwa do’a yang dibaca khusus  untuk shalat witir dan bukan shalat selainnya.

Mohon maaf dengan segala kerendahan hati yang sangat dalam, serta pemahaman yang sangat luas dalam hal ini. Bukan berarti saya menuduh kafir tetapi hanya menjabarkan bahwa untuk mengetahui suatu gerakan itu dengan penglihatan dan berlaku bukan hanya untuk syariat Islam saja. Bahkan ketika binatang akan kita pukul, maka ia akan lari atau melawan karena melihat apa yang akan kita lakukan terhadapnya. Dan ternyata pula menjelaskan hukum dengan melibatkan makhluk Allah selain manusia (binatang) bukanlah hal tercela atau tidak beretika tetapi termasuk yang disunnahkan agar penekanan hukum lebih tegas.

Kelima (penetapan)

Bid’ah merapatkan tumit ketika sujud dalam shalat secara mutlaq.

Lantas alasan apa lagi hingga masih bertahan untuk mengamalkan merapatkan tumit ketika sujud dalam shalat, apa lagi mengajarkan dan mengekspos di berbagai media? Ingat semua konsekuensinya akan dipertanggung jawabkan di akhirat!!!

Ya Allah saksikanlah bahwa ini telah aku sampaikan, sekiranya manusia masih melakukan ini aku berlepas diri darinya.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَن فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنهُ 

Dari ‘Aisyah رضي الله عنها, ia berkata bahwa Nabi  bersabda, “Siapa saja yang mengada-ada tentang urusan (agama) kami, yang tidak kami perintahkan, maka hal itu ditolak.” (HR : Bukhari dan Muslim)

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي


“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”


Demikianlah pemaparan saya semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin.


تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......


“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”

 

Wallahu a’lam bish shawwab

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Muara Bulian (Jambi), 7 Shafar 1435 H

اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي


CATATAN: Telah mengalami beberapa kali suntingan

email 2 : agungswasana@gmail.com

8 komentar:

  1. Masya Allah tabarakallah , terimakasih ilmu nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi bidah kah merapatkan tumit kaki?

      Hapus
    2. Ya, karena hadits yang melandasinya terbukti maudhu' secara ushul. Pun dengan bukti-bukti yang telah nyata bahwa syari'at ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para shahabat dan hanya merupakan dugaan semata.

      Hapus
  2. ShubahanAllah, terimakasih rimbunan ilmunya,semoga tidak menjadi ujub bagi yang mengetahui,dan menjadi rahmat bagi yang mendalami,amiin

    BalasHapus
  3. jazakumullah khoir atas penjelasan dan ilmu yang sangat detail ini...

    BalasHapus