28 Agustus 2020

BID’AHNYA DUDUK IFTIRASY PADA TASYAHUD YANG ADA SALAMNYA KETIKA SHALAT


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

 
Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad ﷺ beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Sehubungan dengan seorang yang menanyakan di salah satu TV Islam Nasional tentang: “Apakah ada ulama yang berpendapat bahwa setiap tasyahud duduknya tawarruk dalam shalat?”.
Ustadz di TV itu menjawab: “Benar yaitu pendapat madzhab Imam Malik bahwa setiap tasyahud duduknya tawarruk, sedangkan pendapat madzhab Imam Abu Hanifah setiap tasyahud duduknya iftirasy, sedangkan pendapat madzhab imam Syafi’i duduknya tawarruk untuk tasyahud yang ada salam dan iftirasy untuk tasyahud selainnya”.
Selanjutnya ustadz TV tersebut merajihkan pendapat madzhab Imam Ahmad bahwa tasyahud awal duduknya iftirasy dan tasyahud akhir duduknya tawarruk untuk shalat yang dua tasyahud. Sedangkan untuk shalat yang satu tasyahud duduknya iftirasy seperti shalat Shubuh, shalat Jum’at, shalat sunnah dua rakaat dan shalat yang lebih dari dua rakaat dengan mengutip hadits beliau, “Setiap dua raka’at duduk iftirasy” dan ini dijadikan pengukuh bahwa shalat yang hanya satu tasyahud duduknya iftirasy.
Hadits riwayat Ahmad di atas adalah cuplikan dari hadits di bawah yang juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan selainnya. Mari kita uji seberapa kredibelnya hadits ini bisa dijadikan hujjah dalam hal ini.

Perhatikan benar-benar hadits di bawah ini pada teks yang saya warnai!!!

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ عَنْ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ بِ }الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ { وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشَخِّصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّاتُ وَكَانَ إِذَا جَلَسَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عَقِبِ الشَّيْطَانِ وَعَنْ فَرْشَةِ السَّبُعِ وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلَاةَ بِالتَّسْلِيمِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Abdul Warits bin Sa'id dari Husain Al Mu'allim dari Budail bin Maisarah dari Abu Al Jauza` dari ‘Aisyah dia berkata;
"Rasulullah  memulai shalatnya dengan takbir dan membaca {"AL HAMDULILLAHI RABBIL 'AALAMIIN"}, Dan apabila hendak ruku', beliau tidak menengadah dan tidak pula terlalu menunduk, akan tetapi pertengahan antara keduanya. Apabila mengangkat kepala dari ruku' (i'tidal), beliau tidak langsung sujud sehingga diri beliau berdiri tegap, dan di setiap dua raka'at beliau biasa membaca; "AT TAHIYYAT." Apabila duduk, beliau duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya (iftirasy), beliau juga melarang duduknya syetan (yaitu duduk di atas tumit) dan melarang menghamparkan kedua telapak tangan dan hasta seperti binatang buas (ketika sujud), beliau menutup shalatnya dengan salam."
(Sunan Abu Daud 665, Shahih Muslim 768, Musnad Ahmad 22.903 dan lainnya) ........... (i)

Pembahasan

Penetapan setiap dua raka’at adanya tasyahud dan duduknya iftirasy dimaknai bahwa setiap dua raka’at duduknya iftirasy. Benarkah demikian? 
Apakan hadits ini bisa memastikan bahwa setiap dua raka’at adanya duduk iftirasy?
Untuk Shalat sunnah satu raka’at, dipastikan mustahil adanya duduk iftirasy pada raka’at ke dua karena raka’atnya hanya satu. Begitu pun pada shalat 3, 4, 5 dan seterusnya yang hanya satu tasyahud, tidak mungkin adanya duduk iftirasy pada raka’at ke dua karena tasyahudnya berada di raka’at terakhir. Sebenarnya ini lebih dari cukup sebagai bukti kuat pengingkaran akan penetapan ini.
Namun yang membuat kening saya berkerut yakni bagaimana mungkin menetapkan suatu kaidah yang menyimpang bahkan bertolak belakang dari kaidah yang sudah baku begitu pun dengan kaidah akal. Bagaimana begitu? 
Tentunya untuk menentukan adanya duduk iftirasy, maka wajib hukumnya menghadirkan dahulu kaidah yang menyebabkan adanya duduk iftirasy yaitu adanya tasyahud bukan sebaliknya. Karena tidak mungkin adanya duduk iftirasy tanpa adanya tasyahud. Hal ini saya qiyaskan, tidak mungkin ada anak kalau tidak ada ibunya. Sedangkan ada ibunya saja belum tentu mempunyai anak apalagi menentukan bahwa anaknya pasti laki-laki (diqiyaskan duduk iftirasy), karena bisa jadi anaknya perempuan (diqiyaskan duduk tawarruk).
Sebagaimana dalam kasus ini, dengan adanya tasyahud saja belum tentu adanya duduk iftirasy karena bisa jadi duduknya tawarruk atau bukan keduanya.
Contohnya Rasulullah ﷺ shalat sunnah di atas unta; orang yang shalat duduk di kursi ketika di kendaraan atau di pesawat; Abdullah bin Umar pernah shalat dengan bersila; bahkan ketika shalatnya orang yang sakit/sekarat (posisi umumnya berbaring) tasyahudnya dengan isyarat.
Agar lebih jelas, baiklah kita terapkan hadits tersebut.

Apakah hadits ini bisa menentukan setiap dua raka’at adanya tasyahud dengan duduk iftirasy pada shalat yang hanya satu tasyahud?


💫 Shalat satu raka’at, jelas tidak mungkin

💫 Shalat dua raka’at, mungkin bisa mungkin tidak sebab belum teruji

💫 Shalat tiga raka’at, jelas tidak mungkin

💫 Shalat empat raka’at, jelas tidak mungkin

💫 Shalat lima raka’at dan selanjutnya jelas tidak mungkin.


Apalagi untuk menentukan shalat mutlaq yang dilakukan Abu Dzar رضي الله عنه yang memperbanyak sujudnya (raka’atnya) hingga tidak diketahui apakah beliau mengakhiri shalatnya pada raka’at ganjil atau genap.
Terbukti, semua secara tegas memalingkan penetapan ini kecuali hanya satu dan ini pun meragukan. Secara kaidah bahwa wajib menetapkan yang lebih pasti yaitu, “tidak mungkin”. Seandainya pun toh ditemukan hadits shahih lain yang secara tegas menunjukkan adanya duduk iftirasy pada shalat dua raka’at, maka itu hanya bersifat pengkhususan dan tidak serta merta memutlaqkan semua shalat yang hanya satu tasyahud duduknya iftirasy. Apa sebab? Karena penetapan yang memalingkan, jumlahnya mayoritas dan sifatnya juga pasti.

Apakah hadits ini bisa menentukan setiap dua raka’at adanya tasyahud dengan duduk iftirasy pada shalat yang lebih dari satu tasyahud?


👍 Shalat tiga raka’at, ya bisa

👍 Shalat empat raka’at, ya bisa


Hal di atas sudah sangat jelas bahwa penetapan setiap dua raka’at duduknya iftirasy adalah untuk shalat yang tasyahudnya lebih dari satu. Hal ini memenuhi kaidah yaitu penetapan kaidah harus pasti/jelas (qath’i).
Bagaimana jika kita buktikan dengan kaidah yang sudah dibakukan yaitu menentukan dahulu tasyahudnya baru menentukan sifat duduknya.

Dimanakah letak tasyahudnya untuk shalat yang hanya satu tasyahud?

📡 Shalat satu raka’at, tasyahudnya di raka’at ke satu

📡 Shalat dua raka’at, tasyahudnya di raka’at ke dua

📡 Shalat tiga raka’at, tasyahudnya di raka’at ke tiga

📡 Shalat empat raka’at, tasyahudnya di raka’at ke empat

📡 Shalat lima raka’at, tasyahudnya di raka’at ke lima dan seterusnya.


Ketika dihadapkan shalat mutlaqnya Abu Dzar رضي الله عنه, maka tidak akan terjawab di raka’at berapa tasyahudnya?
Inilah bukti kuat bahwa shalat yang hanya satu tasyahud, penentuan letak tasyahudnya bukan berdasarkan bilangan raka’atnya tetapi berdasarkan raka’at terakhirnya.
Lalu bagaimana menentukan sifat duduk tasyahudnya shalat yang hanya satu tasyahud?

Hujjah yang paling kuat adalah dalil naqli yang shahih dan sharih sebagai berikut:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حَتَّى يَقِرَّ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يَرْكَعُ وَيَضَعُ رَاحَتَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَعْتَدِلُ فَلَا يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلَا يُقْنِعُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَهْوِي إِلَى الْأَرْضِ فَيُجَافِي يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا وَيَفْتَحُ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ إِذَا سَجَدَ وَيَسْجُدُ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ يَصْنَعُ فِي الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ إِذَا قَامَ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا كَبَّرَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي بَقِيَّةِ صَلَاتِهِ حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ قَالُوا صَدَقْتَ هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Apabila Rasulullah  berdiri mengerjakan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar bahunya. Lalu bertakbir hingga setiap ruas tulang berada pada tempatnya masing-masing. Kemudian, beliau memulai membaca bacaan shalat. Kemudian beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya. Kemudian, beliau ruku’ dan meletakkan kedua telapak tangannya pada dua lututnya. Beliau melakukannya hingga i’tidal (sejajar), dan beliau tidak menekuk kepalanya dan tidak pula menengadahkannya. Kemudian, beliau mengangkat kepalanya dan mengucapkan: ((Sami’allahu liman hamidah)). Lalu, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar lurus dengan kedua bahunya. Lalu, beliau mengucapkan: ((Allaahu Akbar)). Kemudian, beliau turun menuju ke tanah, dan beliau merentangkan kedua tangannya di sampingnya, kemudian beliau mengangkat kepalanya, dan menyilangkan kaki kirinya dan duduk di  atasnya. Dan, beliau membuka jari-jari kakinya sewaktu sujud, kemudian sujud. Lalu, beliau mengucapkan: ((Allahu Akbar)), kemudian beliau bangun dan melipat kaki kirinya dan  duduk di atasnya hingga masing-masing tulang kembali ke ruas persendiannya. Kemudian beliau melakukan hal yang serupa pada rakaat yang kedua. Selanjutnya, apabila beliau hendak berdiri dari rakaat yang kedua, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya, seperti takbir beliau pada takbir iftitah -di awal shalat-. Kemudian, beliau melakukan hal yang serupa pada sisa shalat beliau. Hingga pada saat duduk setelah sujud di mana beliau mengucapkan salam, beliau mengakhirkan kaki kirinya, dan duduk tawarruk di atas kaki kirinya.”
Mereka berkata, “Engkau benar, demikian beliau  mengerjakan shalat.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam juz (5), Abu Daud, dan lafaz ini adalah lafaz Abu Daud. Diriwayatkan pula oleh selain mereka berdua. ........... (ii)

Hadits ini diperkuat dengan hadits berikut:

كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ الْأُولَى وَالثَّالِثَةِ الَّتِي لاَ يَقْعُدُ فِيهَا، اسْتَوَى قَاعِدًا، ثُمَّ قَامَ.

Apabila beliau bangkit dari rakaat pertama dan ketiga yang mana tidak dilakukan duduk tasyahud, beliau duduk tegak, kemudian bangkit berdiri.”
Diriwayatkan oleh ath-Thahawi (2/405) dan Ahmad (5/53-54). Hadist ini juga sahih sesuai dengan kriteria al-Bukhari dan Muslim. ............. (iii)

Keterangan hadits:

Hadits (ii)  adalah untuk shalat sunnah empat raka’at satu tasyahud, berikut penetapannya:

1. Pada kalimat: “Selanjutnya, apabila beliau hendak berdiri dari rakaat yang kedua, beliau bertakbir .................”, di sini tidak disebutkan adanya tasyahud pada raka’at ke dua, sebagaimana ditegaskan pada hadits (iii) berikutnya: “Apabila beliau bangkit dari rakaat pertama dan ketiga yang mana tidak dilakukan duduk (tasyahud) (tegas meniadakan tasyahud pada raka’at ke dua)

2. Selain membaca Faatihah juga membaca surah Al Qur’an pada raka’at ketiga dan ke empat sebagaimana disebutkan: melakukan hal yang serupa pada sisa shalat beliau sebagaimana disebutkan: “melakukan hal yang serupa pada rakaat yang kedua”.

3. Inilah penentuan duduk tawarruk pada kalimat: ”Hingga pada saat duduk setelah sujud di mana beliau mengucapkan salam, beliau mengakhirkan kaki kirinya, dan duduk tawarruk di atas kaki kirinya


Untuk lebih jelas dan lebih detilnya pembahasan masalah ini silahkan baca artikel “Duduk Istirahat Bid’ah?” (lihat di sini)

Hadits (ii) yang diperkuat hadits (iii) inilah adalah hujjah yang kuat untuk menentukan shalat yang hanya satu tasyahud duduknya tawarruk, karena tidak satu hadits pun yang menerangkan bagaimana duduk tasyahud untuk shalat yang hanya satu tasyahud kecuali hadits ini.
Bahkan penetapan untuk shalat yang lebih dari satu tasyahud pun berlaku bahwa sifat duduk tasyahud di raka’at terakhir duduknya pun juga tawarruk. Ini mengindikasikan kuat bahwa penetapan sifat duduk tasyahud untuk semua shalat berpedoman pada raka’at terakhir yang indentik dengan tasyahud yang ada salamnya. Sehingga untuk menentukan sifat duduk tasyahud selain di raka’at terakhir adalah duduk iftirasy siapa pun pelakunya, di mana pun raka’atnya dan apa pun shalatnya.

Bagaimana jika hadits (i) di atas dipakai untuk mengukuhkan bahwa semua shalat yang hanya satu tasyahud duduknya iftirasy?
Waduh ....................., bagaimana lagi saya harus menjelaskan?
Untuk shalat yang khusus dua raka’at saja tidak mungkin untuk diterapkan, apalagi dipakai untuk memutlaqkan semua shalat yang hanya satu tasyahud, sangat tidak mungkin!!!

Pokok permasalahan yang ke dua yaitu ketika imam tasyahud akhir, bagaimana  duduk tasyahudnya si masbuk? Hal ini berlaku untuk shalat fardhu dan sunnah berjamaah.

Berdasarkan penetapan di atas jika imam tasyahud pada raka’at terakhir atau raka’at yang ada salamnya dengan duduk tawaruk untuk mengakhiri apa pun shalat yang sedang  dikerjakan, ketentuan berlaku:


👉 Makmum yang juga mengakhiri shalatnya, duduk tasyahudnya sebagaimana imam yaitu tawaruk.

👉 Makmum yang belum mengakhiri shalatnya, duduknya iftirasy pada tasyahud dan raka’at yang mana pun hingga duduk tawaruk pada tasyahud yang ada padanya salam di raka’at terakhir untuk mengakhiri shalatnya.


Apakah ini tidak menyelisihi imam sebagaimana hadits di bawah dan hadits-hadits yang semakna dengannya?

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ وَأَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ

Dari Nabi , beliau bersabda:
"Dijadikannya Imam adalah untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya. Jika ia ruku’ maka ruku’lah kalian, jika ia mengucapkan, 'Sami'allahu liman hamidah' maka ucapkanlah, 'Rabbanaa lakal hamdu'. Jika ia sujud maka sujudlah kalian, jika ia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian semuanya dengan duduk, dan luruskanlah shaf, karena lurusnya shaf merupakan bagian dari sempurnanya shalat" (Shahih Bukhari 680)

Mayoritas orang bahkan ulama-ulama Arab pun keliru dalam memahami hadits ini, karena mereka hanya mendasari penggalan pada kalimat: "Dijadikannya Imam adalah untuk diikuti”, karena adanya riwayat seperti itu. Kalau hanya ini yang dijadikan kaidah, maka maknanya mutlak, sedangkan dalam pengamalannya hal ini tidaklah benar sebagaimana penjelasan di bawah. Hadits ini harus dimaknai secara utuh agar tidak salah dalam menafsirkan. Jadi yang dimaksud wajibnya imam untuk diikuti yaitu bahwa makmum dilarang untuk menyerempaki/menyamai apalagi mendahului gerakan imam. Dan yang dimaksud janganlah kalian menyelisihinya adalah dalam tertib gerakan shalat bukan pada semua gerakannya. Dalam bentuk gerakkan atau doa bisa saja berselisih dengan imam.

Dari awal shalat saja makmum sudah boleh menyelisihi imam, contohnya pada takbiratul ihram imam setentang dada, maka makmum boleh bertakbiratul ihram setentang telinga atau sebaliknya. Begitu pun si masbuk dari awal sudah boleh menyelisi imam, seperti apa? Ketika si masbuk mengawali shalat dengan bertakbiratul ihram, imam dipastikan tidak sedang takbiratul ihram ketika itu. Khusus dalam doa, tidak banyak saya singgung karena banyaknya perbedaan, salah satu contoh seperti dalam hadits ini. Contoh lain seperti ketika imam membaca qunut shubuh dengan mengangkat tangan, makmum hanya meng-aminkan dengan mengangkat tangan dan si masbuk tidak meng-aminkan dan tidak mengangkat tangan ketika itu (posisi irsal, baca artikel “Bid’ahnya bersedekap ketika i’tidal” di sini) dan baru mengangkat tangan ketika membaca qunut shubuh pada raka’at terakhirnya, yang artinya makmum tidak sama dengan imam dan si masbuk menyelisihi imam. Perselisihan lainnya yaitu sewaktu imam mengangkat tangan setentang dada pada takbir intiqal ketika akan ruku’ dan ketika bangkit i’tidal, makmum boleh mengangkat tangan setentang telinga atau sebaliknya, bahkan makmum boleh tidak mengangkat tangan. Juga ketika imam tidak mengangkat tangan, maka makmum tetap sunnah mengangkat tangan setentang dada atau setentang telinga. Ketika duduk antara dua sujud, imam duduk iftirasy dan makmum duduk iq’aa dan sebaliknya. Bahkan ketika imam salam, si masbuk haram salam mengikuti imam karena wajib menyempurnakan raka’at yang tertinggal. Ini membuktikan bahwa yang dilarang menyelisihi adalah tertib gerakan shalat. Yang dimaksud tertib gerakan shalat yaitu ketika imam berdiri makmum berdiri, ketika imam ruku’ makmum ruku’, ketika imam sujud makmum sujud, ketika imam duduk antara dua sujud makmum duduk antara dua sujud hingga imam tasyahud makmum pun tasyahud (pada gerakan yang ditakbiri). Tidak terkecuali mengenai duduk tasyahud, jika imam duduk tawaruk untuk mengakhiri shalatnya, maka si masbuk sangat dimungkinkan untuk menyelisihi imam dengan duduk iftirasy bahkan ini yang sunnah (sunnah takriri), yang berarti duduk tawaruknya dilakukan pada raka’at terakhir shalatnya (si masbuk).

Kesimpulan:

Sifat duduk tasyahud (iftirasy atau tawaruk) bukan ditentukan dengan bilangan raka’atnya.
Pada shalat fardhu dan sunnah dua raka’at (atau berapa pun rakaatnya) satu tasyahud duduknya adalah tawaruk.
Ketika imam tasyahud akhir, maka makmum yang belum mengakhiri shalatnya duduknya iftirasy pada tasyahud yang mana pun hingga duduk tawaruk pada tasyahud yang ada padanya salam di raka’at terakhir.

Dengan adanya shalat yang lebih dari tiga raka’at satu tasyahud dan shalat mutlaqnya Abu Dzar, ini mempertegas bahwa shalat sunnah tidak bisa dimakmumi oleh orang yang shalat fardhu kecuali shalat sunnahnya seorang imam yang telah shalat fardhu di tempat lain diminta mengimami shalat fardhu kaumnya (baca artikel: "Duduk Istirahat Bid’ah?” di sini)

Menetapkan kaidah bahwa duduk tasyahud dalam shalat:


👌 Shalat yang hanya satu tasyahud duduknya tawaruk

👌 Shalat yang lebih dari satu tasyahud berlaku:

💥 Tasyahud yang bukan pada raka’at terakhir atau yang tidak ada padanya salam duduknya iftirasy.

💥 Tasyahud pada raka’at terakhir atau yang ada padanya salam duduknya tawaruk.


Menegaskan bahwa:

👎 Bid’ahnya duduk iftirasy pada tasyahud yang ada salamnya.

👎 Bid’ahnya duduk tawaruk pada tasyahud yang tidak ada salamnya.


Demikianlah tahqiq dari saya semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin.

تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......

Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........” 

Wallahu a’lam bish shawwab

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Muara Bulian (Jambi), 26 Zulhijjah 1436 H

اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي


CATATAN: Telah disuntingan

email 2 : agungswasana@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar