TAFSIR AYAT-AYAT AL QUR’AN HISAB FALAQIYAH
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Puja
dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua
makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi
Muhammad ﷺ beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir
zaman.
Hiruk-pikuknya
penetapan awal Syawwal 1.444 H sebagai penetapan Iedul Fitri yang diawali H-1/H-2
dengan terjadinya gerhana matahari total, andil menyemarakkan riuhnya
perdebatan ini. Bukan kali ini saja, entah telah berapa kali bahkan tidak hanya di jagat nyata justru lebih heboh di dunia maya. Bedanya di tahun ini
karena adanya fenomena langka yang dominan mensupport gonjang-ganjingnya soalan
ini. Semoga tulisan yang timbul dari lubuk hati ini dapat melerai dan
mengembalikan hukum pada asalnya agar dapat dipedomani di kemudian hari.
Perhatikan ayat-ayat
al Qur’an berikut:
1. Siklus benda falaq:
ar Ra’d [13]: 2 Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa
tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy,
dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang
ditentukan.
Ibrahin [14]: 33 Dan
Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus
beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
al Anbiya [21]: 33 Dan Dialah yang telah menciptakan malam
dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam
garis edarnya.
Yaasiin [36]: 40 Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
Luqman [31]: 29 Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Fatir [35]: 13 Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan.
as Zumar [39]: 5 Dia menciptakan langit dan bumi dengan
(tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas
malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu
yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
2. Sebagai perhitungan waktu
al An’am [6]: 96 Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan
malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.
Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Yunus [10]: 5 Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
al Isra’ [17]: 12 Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai
dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu
terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui
bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah
Kami terangkan dengan jelas.
ar Rahman [55]: 5 Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
3. Sebagai pedoman penentu waktu ibadah khusus:
al Baqarah [2]: 185 Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.
al Baqarah [2]: 189 Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia
dan (bagi ibadah) haji
an Nisa [5]: 103 Sesungguhnya shalat itu
adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Dari ayat-ayat al
Qur’an di atas dapat kita tadaburi bahwa benda falaq seperti matahari, bumi dan
bulan selalu beredar pada orbitnya yang tak pernah melenceng atau keluar dari
garis edarnya hingga waktu yang ditentukan. Maka dengan ini Allah سبحانه وتعال telah menundukkannya sebagai rahmatan lil alamin bagi semua ciptaannya terutama untuk hamba-nya yang mau berpikir. Bersyukurlah karena
dengannya kita dipermudah dalam kehidupan terutama dalam mempedomani
waktu-waktu ibadah sesuai kehendak-Nya.
Tidaklah kita
beribadah sesuai kalam-Nya yang pastinya dijelaskan atau yang Rasulullah ﷺ
amalkan (sebagai hadits) dengan pemahaman para shahabat.
Maka dari itu jika ada
seseorang, kelompok, golongan, organisasi atau siapa pun beramal dengan
mengambil nash dari al Qur’an berarti ia telah berbuat kebid’ahan yang sangat besar
atau sama saja ia telah menandingi Rasulullah ﷺ bahkan menuduh
Rasulullah berkhianat karena tidak menjelaskan atau mengamalkannya agar diikuti
umatnya.
Hadits dipastikan
tidak mungkin berselisih atau bertentangan dengan hadits lain apalagi dengan al Qur’an. Maka
wajiblah dipahami sebagai penjabar dan mustahil hadits bertentangan dengan al
Qur’an. Begitu pun mustahilnya Rasulullah ﷺ tidak menjabarkan atau mengamalkan
yang kemudian dipahami oleh para shahabat yang selanjutnya diteladani dan diamalkan oleh umat.
Dalam menjalankan
ibadah, Allah سبحانه وتعال pasti mempermudah
dengan fasilitas atau sarana yang sesuai dengan pemahaman, keadaan dan zaman
hamba-Nya. Dalam mempedomani ibadah, maka pasti diturunkan hadits sebagai acuan
dari semua ibadah dari zaman Rasulullah ﷺ hingga kiamat.
Salah satu yang paling
mendasar dalam ibadah yaitu shalat sebagaimana QS an Nisa [5]: 103. Ketika
zaman Rasulullah ﷺ, penentuan waktunya sebagaimana dalam hadits 👉
di sini
dan ketika menetapkan waktu sahur hingga imsa’ (shubuh), maka diturunkan hadits 50 ayat sebagai pengukur waktu saat itu yang mengisyaratkan hisab sebagai solusi ketika ru’yah tidak bisa dipedomani.
Begitu pun pada zaman setelahnya, ada yang melakukan dengan tongkat dan sinar
matahari, jam analog, jam digital, daftar jadwal shalat sepanjang masa, jam jadwal waktu shalat, apk jadwal shalat di smartphone dan
sejenis gadget lainnya. Dalam hal ini penentuan waktu shalat boleh dengan cara
apa pun yang paling mudah baginya asal sesuai ketentuan hadits dan berlaku hingga kiamat.
Juga dengan ibadah
haji sebagaimana QS al Baqarah [2]: 189, ketika pelaksanaan ibadah haji, maka
waktu dan tempat telah ditentukan dalam hadits yaitu tanggal 9 Zulhijjah di
Arafah. Penentu waktu pelaksanaan haji tentunya sangatlah mudah yaitu hanya membilang
dari satu hingga sembilan. Hanya saja yang jadi masalah yaitu ketika menetapkan
awal bulan Zulhijjah yang berpatokan hilal pada ayat ini. Permasalahan bukan hanya ibadah haji tetapi juga
puasa Ramadhan, puasa ayyamul bidh, bekam dan ibadah lain yang ditentukan dengan tanggal.
Penentuan awal bulan
Qamariyah yang salah satunya bulan Ramadhan dengan adanya perintah puasa pada QS al Baqarah [2]: 185 yang tata caranya secara rinci dijelaskan dalam hadits. Awal bulan ini diterangkan dalam hadits [1
s/d 10, 14 dan 15] klik 👉 di sini.
Ketika zaman Rasulullah ﷺ dan para shahabat hingga masa sebelum ditemukan teleskop
(teropong), penentuan awal bulan tidak pernah terjadi ikhtilaf karena semua
penentuan awal bulan berdasarkan standarisasi hadits yaitu ru’yah fi’li hilal
bil ‘ain.
Ketika ditemukan
teropong, mulailah terjadi sedikit gesekan karena standarisasi teropong
tidaklah sama. Di mana teropong dengan zoom lebih tinggi, maka penampakan hilal
pasti lebih nyata apalagi ditopang dengan tehnologi. Puncak perselisihan yang
kuat adalah semenjak ditemukan ilmu hisab astronomi yang bisa menentukan posisi
matahari, bumi dan bulan secara presisi. Bukti ini telah kita rasakan manfaatnya
sebagaimana penentuan jadwal waktu shalat juga gerhana yang bisa diprediksi
hingga lokasi dan durasinya dengan tepat. Bahkan sangat membatu ketika ru'yah bil fi'li dilakukan baik dengan teropong maupun mata telanjang.
Perselisihan sudah sejak lama dan ditengahilah oleh umara dengan sidang itsbat. Karena belakangan hari umara mematok kriteria imkanur ru’yah 3-6,4 hingga persoalan makin meruncing.
Padahal pokok permasalahan ada pada hadits di bawah. Karena tidak dikompromikan tersebab lupa, tidak terlintas atau tidak ketemu hadits lain hingga maknanya justru bertentangan.
Kita rujuki haditsnya
dan kita syarahkan bersama!!!
صحيح البخاري ١٧٨٠: حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا
الأسود بن قيس حدثنا سعيد بن عمرو أنه سمع ابن عمر رضي الله عنهما
عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال إنا أمة أمية
لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
Shahih Bukhari 1.780:
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah
telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami
Sa'id bin 'Amru bahwa dia mendengar Ibnu 'Umar radliyallahu 'anhuma dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
"Kita ini adalah
ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung, satu bulan
itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali waktu berjumlah dua puluh
sembilan dan sekali waktu berjumlah tiga puluh hari." (Juga dalam Shahih
Muslim 1.806; Sunan Abu Daud 1.975; Sunan Nasa'i 2.111, 2.112; Musnad Ahmad
4.775, 4.851, 5.768 dan 5.855)
Tentang kata “UMMI”
yang dimaknai buta huruf sebagaimana kata berikutnya yaitu tidak biasa menulis
dan tidak menghitung, yang diduga adanya illat (alasan) hingga Rasulullah ﷺ tidak mungkin menerapkan hisab (hitungan) apalagi
hisab Astronomi. Mungkinkah Allah سبحانه
وتعال yang maha pengasih lagi penyayang mempersulit hamba-Nya dalam
beribadah baik ketika itu dan masa mendatang? Jawabannya pasti “TIDAK” sebagaimana QS. al Baqarah [2]: 185.
Jika demikian, solusinya sangat mudah dan sederhana sekali yaitu dalam 1 tahun
Qamariyah adalah 12 bulan yang tiap bulannya berumur:
1. 6 bulan pertama 29 hari dan kedua 30 hari atau
2. 6 bulan pertama 30 hari dan kedua 29 hari atau
3. Bergantian berumur 29 dan 30 hari
Ketiga opsi ini semua
benar namun yang dipastikan tidak mungkin salah meski dihitung dengan
kalkulator atau aplikasi komputer
secanggih apa pun yaitu opsi ke 3.
Lantas mengapa hadits
ini dan hadits yang terkait tidak disederhanakan matannya dengan opsi ke
3 yang bisa berlaku dari zaman Nabi ﷺ hingga kiamat?
Karena hadits adalah
wahyu yang redaksi (matannya) dari Rasulullah ﷺ, berarti beliaulah yang mempersulit.
Jelas ini juga mustahil!!!
Atau apakah AGUNG
SWASANA lebih pandai dari Allah سبحانه وتعال atau lebih pintar dari Rasulullah ﷺ? Jangankan
orang awam bahkan orang jahil tak terbersit sedikit pun berpikir demikian, kecuali majnun-man. Islam itu hanya
bisa dipahami oleh orang yang BERAKAL. Maka jawabannya pasti bukan karena
alasan hisab apalagi hisab astronomi, lalu apa?
Kunci istidlal hadits
ini pada kata “UMMI”, yang disandangkan bukan hanya Rasulullah ﷺ saja tetapi juga umatnya. Benarkah demikian?
Tentang tulis
menulis sudah jelas dalam artikel yang telah dibahas
Baik kita bedah!!!
Dari sisi matannya
saja sudah bisa dipastikan tidak mungkin, apa sebab? Yaitu pada kata: “Satu
bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali waktu berjumlah 29 dan
sekali waktu berjumlah 30 hari".
Dalam hadits lain dijelaskan dengan
membentangkan kedua tangan sebanyak 3 kali dan pada kali yang lain bentangan yang ketiga menekuk/ melipat jempolnya yang bermakna hisab yaitu 3 X 10 = 30 dan 2 X 10
+ 9 atau 10 X 3 - 1 = 29 hari.
Kita telusuri dari
sisi sirah berikut:
Rasulullah ﷺ mengalami puasa Ramadhan sebanyak 9 kali yang berarti 9 tahun
disyari’atkan sebelum kewafatannya. Julukan ummi kepada Rasulullah ﷺ pada awal Islam tidak otomatis berarti beliau ummi hisab karena
beliau juga seorang pedagang yang mustahil beliau tidak bisa berhitung bahkan
beliau dijuluki fathanah (smart). Penyandangan ummi awal Islam hanya untuk mempertegas bahwa risalah al Qur’an yang
beliau bawa adalah murni dari wahyu bukan dari hasil informasi membaca
literatur yang ada saat itu atau
sebelumnya.
Nabi diangkat jadi Rasul pada usia 40 tahun dan wafat dalam usia 63 tahun. Jadi puasa Ramadhan disyari’atkan ketika
beliau berusia 63 – 9 = 54 tahun yang artinya sudah 14 tahun kerasulannya.
Jadi benarkah hingga diturunkan syari’at puasa Ramadhan beliau masih ummi? Kasihan
betul Rasulullah ﷺ setelah 14 tahun masih distempeli telmi,
lalu bagaimana dengan umatnya?
Lantas apa gunanya
diturunkan surat al Qadr [97]: 3 “Lailatul qadar itu lebih baik dari 1.000
bulan?” Sementara 1.000 bulan cukup untuk membuat kalender 83 tahun 4
bulan. Begitu pun hadits tentang
penetapan waktu sahur hingga imsa’ yaitu 50 ayat yang mengisyaratkan hisab ketika ru’yah tidak bisa dipedomani.
Lanjut kita bedah dari
sisi ushul fiqh:
Bahwa kematian seseorang itu bisa terjadi kapan saja apalagi
masa awal Islam sering terjadi peperangan. Maka syariat yang menyertai kematian
pun turun seperti penyelenggaraan jenazah dan faraidh (waris). Maka dengan ini bisa
dipastikan hukum waris lebih dulu turun dari pada puasa Ramadhan.
Dalam suatu hadits
diriwayatkan bahwa
صحيح البخاري ٦٢٤٥: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
عَبَّاسٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي قَيْسٍ
عَنْ هُزَيْلٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَأَقْضِيَنَّ فِيهَا بِقَضَاءِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ للْابْنَةِ النِّصْفُ وَلِابْنَةِ الِابْنِ السُّدُسُ
وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ
Shahih Bukhari 6.245:
Telah menceritakan kepada kami Amru bin 'Abbas, telah menceritakan kepada kami
Abdurrahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Qais dari Huzail
mengatakan, Abdullah mengatakan,
'Sungguh aku putuskan
perkara ini dengan keputusan Nabi ﷺ', atau ia mengatakan; Nabi ﷺ bersabda, "Anak
perempuan mendapat separuh dan cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat
seperenam dan sisanya untuk saudara perempuan."
Misal suatu kasus
seorang meninggal yang beristri 4, yang setiap istri mempunyai 5 anak yang dari
setiap anaknya mempunyai 3 cucu. Dari anak dan cucunya berlainan jenis
kelaminnya. Lalu bagaimana cara menghitung warisnya?
Jangankan hanya
membilang umur bulan dengan hisab opsi ke 3 bahkan membuat kalender Hijriyah hingga yang disebut Qur'an al Qadr [97]: 3 pun merupakan hal yang sepele. Apalagi dibandingkan dengan hisab faraidh, hal
ini menunjukkan pekerjaan yang remeh. Jika kalender Hijriyah dipandang maslahat
mengapa tidak dilakukan Nabi ﷺ dan para shahabat saat itu?
Begitu pun dengan
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang pastinya hitungan merupakan aktitivitas
harian dari zaman pra Islam. Ini mempertegas bahwa penyematan “UMMI”
sebagai makna tidak biasa menulis dan
tidak menghitung dalam hadits ini adalah hoax dan tak berdasar.
Jadi makna “UMMI”
ini bahwa Rasulullah ﷺ dan umatnya PASTI
TIDAK TAHU mengapa jumlah hari bulan Qamariyah tidak (jangan) ditulis dan tidak (jangan) dihitung atau mengapa hal ini tidak boleh/dilarang. Bahwa makna “UMMI” adalah ranah keghaiban atau prerogratif Allah سبحانه وتعال yang hanya WAJIB diimani dan
ditaati lewat utusan-Nya. Pemaknaan larangan dikarenakan konsekuensi
pelanggar syari’at ini yang sangat besar. Pelanggaran syari’at ini pun telah
diprediksi 14 abad yang lalu yaitu JANGAN MENDAHULUI sebagaimana dalam
hadits dan selalu terbukti bahwa ketika berselisih, hisab pasti lebih dulu dan
tidak pernah terakhirkan.
Yang sangat tampak
jelas adalah bahwa hadits ini untuk MENGUJI KETAATAN hamba-Nya terhadap
syari’at yang telah dicontohkan Rasul-Nya atau memilih MENUHANKAN AKAL di akhir zaman sebagaimana peristiwa Isra’ dan
mi’raj ketika zaman Nabi ﷺ.
Selain itu jika hari
bulan Qamariyah bisa dihitung, maka akan bisa dibuat kalender yang merupakan TASYABUH
AKBAR. Apa sebab tasyabuh akbar? Karena tasyabuh fitrah seperti perintah mencukur kumis, dimaksudkan agar menyelisihi kaum kafir, apalagi tasyabuh dalam menentukan waktu-waktu ibadah dengan memprediksi bahkan lebih tepatnya meramal.
Bagi kaum muslimin kalender Syamsiyah dibenarkan al Qur'an dan hadits, namun orang-orang kafir telah lebih dahulu menetapkan hari-hari ibadahnya dalam kalender. Ini salah satu argumen agar tidak tasyabuh.
Persoalan berikutnya
yaitu kata ru’yah hilal apakah bisa ditafsiri dengan makna lain sebagai ru’yah
bil ilmi yaitu dengan ilmu hisab astronomi?
Kita bongkar!!!
Dalam ilmu astronomi bahwa metode yang dipakai adalah hisab, yaitu ketika konjungsi dihukumi
sebagai akhir umur bulan sebelumnya menuju bulan baru baik di atas atau di
bawah ufuq. Setelah konjungsi berapa pun kecilnya hilal, maka itu sudah masuk bulan baru (newmoon).
Meski pun
MELENCENG dari disiplin ilmu astronomi karena disesuaikan untuk
menentukan awal bulan Qamariyah, maka kriterianya dirubah di atas ufuq untuk
penekanan bahwa hilal sudah ada/wujud meski tidak terlihat dengan teropong tercanggih sekali pun
apalagi mata telanjang.
Peristiwa hilal adalah
sama persis dengan bulan sabit setelah gerhana bulan total, hanya saja hilal pasti terjadi di
setiap awal bulan sedang gerhana bulan total di waktu selainnya di mana posisi ketiga benda falaq ini berada pada satu garis. Sebagaimana gerhana bulan total bahwa penampakan bentuk dan besarnya hilal tergantung
posisi ketiga benda falaq ini. Hal ini juga untuk menggambarkan bahwa gerhana
bulan total maupun hilal hanya bersifat lokal bukan global yang dibuktikan jika satu
tempat adanya hilal, maka 180 derajat darinya yang selisih waktunya 12 jam
pasti pagi hari dan dipastikan yang terlihat matahari bukan hilal.
Dalam realitanya
penampakan hilal tidak hanya faktor posisi ketiga benda falaq ini saja tetapi juga Crescent
Illuminance yaitu tingkat intensitas cahaya hilal juga Sky Brightness yaitu
tingkat kecerahan langit. Crescent Illuminance sangat tergantung pada intensitas
cahaya matahari terhadap bulan, apakah ada distorsinya atau tidak. Sky Brightness sekeliling hilal juga akan menyebabkan kontrasnya hilal terhadap langit. Penentu utama dalam penampakan hilal yaitu
visibilitas mata terhadap hilal yang sangat tergantung cuaca. Untuk lebih jelas hal ini monggo dirujuk 👉 di sini.
Setelah kita kaji dari sisi saint, mari kita tinjau dari aspek syar'iyahnya.
Ketika ru’yah hilal
ditafsiri bil ilmi, maka faktor Crescent Illuminanc dan Sky Brightness pasti diabaikan terutama ru'yah bil 'ain. Sekecil apa pun hilalnya asal di atas ufuq sekecil apa pun sudutnya asal
melebihi 0 (nol) derajat, dihitung sudah masuk bulan baru meski tidak terlihat dengan super telescope digital sekali pun apalagi mata
telanjang.
Ketika hisab hakiki
wujudul hilal sebagai nash untuk melegalkan hukum adanya newmoon sebagai awal
Ramadhan untuk berpuasa dan awal Syawwal untuk berlebaran, maka metode yang
sama pastinya berlaku juga untuk melegalkan shalat
kusuf (gerhana) dengan hisab hakiki wujudul kusuf.
Gerhana hanyalah
bersifat lokal sebagaimana hilal, bahkan gerhana bisa saja di kawasan yang tak
berpenghuni seperti di laut atau di kutub Utara maupun Selatan. Apakah dengan
hisab hakiki wujudul kusuf menjadikan hukum sunnahnya shalat gerhana di seluruh
muka bumi ini? Bahkan ketika gerhana terjadi di wilayah yang tidak berpenduduk,
apakah di tempat lain tetap juga disunnahkan
shalat kusuf? Ono-ono ae...!!!
Ini membuktikan bahwa penafsiran ru'yah bil ilmi tidak bisa diterima (batil), baik hisab hakiki wujudul hilal maupun hisab hakiki wujudul kusuf!!!
Ini membuktikan bahwa penafsiran ru'yah bil ilmi tidak bisa diterima (batil), baik hisab hakiki wujudul hilal maupun hisab hakiki wujudul kusuf!!!
Perhatikan hadits di bawah:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادٍ الْأَفْرِيقِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
.....إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي"..... sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan", para sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya."
(Sunan Tirmidzi 2.565).
Tidak satu pun para shahabat yang menentukan awal bulan Qamariyah dengan sistem hisab ...... camkanlah ... camkanlah ... camkanlah ... !!!
Demikianlah
semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin.
تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ،
لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......
“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya
bagaikan siangnya ........”
Wallahu
a’lam bish shawwab
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ
Muara Bulian (Jambi), 06 Syawwal 1.444
H
اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي
email 1: agung_swasana@outlook.co.id.
email 2: agungswasana@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar