06 September 2020

FARDHU ‘AIN ATAU FARDU KIFAYAHKAH SHALAT BERJAMAAH LIMA WAKTU?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه و تعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.


Bahwasanya shalat adalah merupakan syarat utama diterima atau tidak semua amal ibadah kita, maka kita wajib mempelajarinya dan mendirikannya. Untuk itu dalam mendirikan haruslah sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah  sebagaimana dalam hadits:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Tulisan saya kali ini membahas masalah shalat berjamaah lima waktu apakah fardhu ‘ain ataukah fardhu kifayah.
Dalam menyikapi beberapa pendapat ulama tentang hukum shalat berjamaah, apakah fardhu ‘ain ataukah fardhu kifayah, maka kita harus menghimpun sebanyak mungkin hadits yang berkaitan dengan ini dan harus memilih dan memilah berdasarkan kriteria yang dihukumi.
Mayoritas orang sudah mengetahui apa itu fardhu ‘ain mau pun fardhu kifayah, tetapi umumnya kurang memahami penempatan hukum itu untuk diterapkan.

Agar terselenggaranya shalat berjamaah, maka harus ada tahapan yang dilakukan.

Pertama harus adanya orang yang akan shalat berjamaah, kedua adanya tempat untuk melaksanakan shalat berjamaah dan ketiga adanya petugas penyelenggara shalat berjamaah.
Berdasarkan ketiga hal ini maka penerapan hukum berdasarkan kriteria ini. Untuk menyediakan tempat untuk shalat berjamaah, maka ini berdasarkan keadaan. Jika di daerah yang Islamnya minoritas atau daerah pedalaman yang penduduknya hanya beberapa orang muslim, maka berbeda dengan yang penduduknya mayoritas Islam dan telah tercukupi untuk mendirikan shalat berjamaah baik untuk shalat lima waktu mau pun untuk shalat Jum’at. Karena ini merupakan kewajiban bersama, maka hukumnya fardhu kifayah. Jika di daerah yang Islamnya minoritas dan tertindas, maka kewajiban ini  belum berlaku hingga kondusif jika memungkinkan, tetapi jika sebagaimana di daerah yang mayoritas muslim, maka penyediaan tempat untuk shalat berjamaah tetap fardhu kifayah. Sejalan dengan kewajiban menyediakan tempat, begitu juga degan petugas penyelenggara shalat berjamaah. Jika belum ada yang bisa menjadi mu'adzin/bilal dan imam, maka fardhu kifayah di antara penduduknya untuk untuk mempelajarinya. Juga selanjutnya jika penduduk sudah mencukupi untuk shalat Jum’at, jika belum ada yang bisa menjadi khatib, maka Juga fardhu kifayah untuk mempelajarinya. Dalam hal tempat yang belum atau tidak ada, maka tidak ada kewajiban shalat berjamaah begitu juga dengan petugas penyelenggara, jika belum ada yang bisa menjadi mu’adzin/bilal dan imam, maka tidak ada kewajiban shalat fardhu lima waktu berjamaah dan berlaku pula jika belum ada yang bisa menjadi khatib, maka tidak ada kewajiban shalat Jum’at. Ketika tempat tersedia dan sudah ada yang menjadi imam dan mu’adzin/bilal, jika tidak terselenggara shalat lima waktu berjamaah, maka berdosalah semua kaum muslimin di daerah itu kecuali yang mendatanginya. Demikian juga jika tempat tersedia, adanya mu'adzin/bilal, adanya imam juga sebagai khatib atau adanya khatib dan imamnya orang yang lain, maka jika tidak terselenggaranya shalat Jum’at, maka semua kaum muslimin di daerah itu berdosa kecuali yang mendatangi masjid untuk shalat. Jika suatu negeri atau kaum menerapkan ibadah shalat sebagaimana zaman Rasulullah ﷺ yaitu imam rawatib, maka semua shalat  berjamaah diimami oleh satu orang dan saya sangat berpegang akan hal ini meski sudah sangat langka. Kebanyakan yang diterapkan sekarang adalah beberapa orang ditunjuk untuk mengimami suatu kaum bahkan sekarang satu masjid saja adanya beberapa imam. Jadi shalat berjamaah di awal waktu merupakan tanggung jawab imam rawatib sebagai fardhu ‘ain.

Jadi berapakah batasan jumlah minimal orang yang shalat berjamaah? Saya tidak menemukan hadits yang secara tegas akan hal ini, berdasarkan beberapa hadits yang ada jumhur ulama mendasari bahwa dua orang sudah dihukumi berjamaah salah satunya hadits di bawah:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ حَدَّثَنَا السَّائِبُ بْنُ حُبَيْشٍ عَنْ مَعْدَانَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ الْيَعْمُرِيِّ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
قَالَ زَائِدَةُ قَالَ السَّائِبُ يَعْنِي بِالْجَمَاعَةِ الصَّلَاةَ فِي الْجَمَاعَةِ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Za'idah telah menceritakan kepada kami As-Sa'ib bin Huaisy dari Ma'dan bin Abi Thalhah Al-Ya'muri dari Abu Ad-Darda' dia berkata;
Saya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda; "Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan memakan kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya)."

As-Sa'ib berkata; Maksud berjamaah adalah shalat secara berjamaah. (HR: Abu Daud 460, Nasa’i 838 dan Ahmad 20.719, 26.242)


Meski pun hadits ini tidak secara gamblang membicarakan batasan syarat sahnya shalat berjamaah baik shalat lima waktu apalagi shalat Jum’at, namun ancaman berupa setan akan menguasai lingkungan mereka yang jumlah penduduk muslimnya minimal tiga orang yang tidak diselenggarakan shalat berjamaah, cukuplah sebagai peringatan.


Mari kita bedah.


Perlu dipahami dengan sungguh-sungguh bahwa “kaidah dasar hukum itu harus berlaku amm/ umum/ general” dan bisa berlaku khusus jika ada yang mengkhususkan. Dan dalil yang khusus tidak bisa mendasari hukum yang berlaku umum.

 

1. Hadits di bawah adalah salah satu dari sekian banyak motivasi untuk berjamaah, karena disifati mutlaq bahwa shalat sendiri mempunyai keutamaan satu derajat artinya shalatnya sah, maka saya angkat dalam masalah ini.


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ أَحَدِكُمْ وَحْدَهُ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا 


Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya katanya; pernah aku menyetorkan kepada Malik dari Ibnu Syihab dari Said bin Musayyab dari Abu Hurairah,

bahwa Rasulullah  bersabda: "Shalat jama'ah lebih utama dua puluh lima derajat daripada shalat salah seorang di antara kalian dengan sendiri." (HR: Muslim 1.034)


Hadits ini dan hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Sa’id al-Khudri رضي الله عنه dalam shahih Bukhari 610 adalah hadits yang bersifat umum, jika disifati secara muqqayat maka akan menjadikan multi tafsir yang dipastikan tidak akan ada penyelesaiannya. Jika disifati secara mutlaq jelas tidak mungkin karena ada hadits lain yang meriwayatkan pahalanya 27 derajat. Dengan tidak bisa disifati secara mutlak, maka hadits ini juga tidak bisa memastikan apakah ini shalat fardhu atau shalat sunnah. Hadits ini membicarakan tentang balasan pahala sebagaimana matannya bukan tentang sah atau tidaknya shalat. Jika hadits ini dimaknai tentang sah atau tidaknya shalat, maka akan keluar dari konteks hadits. Jika akan membahas sah dan tidaknya shalat, maka kita harus menghadirkan hadits yang membahas tentang itu, contoh: sebelum shalat berwudhu’; setiap rakaat wajib membaca al-Fatihah; bertakbir ketika memulai shalat dan masih banyak yang lain, maka yang seperti ini jelas membahas sah atau tidaknya shalat. Jadi kita harus mendudukkan hukum secara qath’i/jelas dengan menghadirkan hadits yang shahih lagi sharih tentang masalah yang dihukumi. Jadi hadits ini mendasari tentang balasan pahala bukan sah atau tidaknya shalat.

 

2. Bolehkah shalat fardhu lima waktu sendiri di rumah tanpa udzur?, perhatikan hadits di bawah:

 

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنِي يَعْلَى بْنُ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ

أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ غُلَامٌ شَابٌّ فَلَمَّا صَلَّى إِذَا رَجُلَانِ لَمْ يُصَلِّيَا فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَدَعَا بِهِمَا فَجِئَ بِهِمَا تُرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا قَالَا قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا فَقَالَ لَا تَفْعَلُوا إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِي رَحْلِهِ ثُمَّ أَدْرَكَ الْإِمَامَ وَلَمْ يُصَلِّ فَلْيُصَلِّ مَعَهُ فَإِنَّهَا لَهُ نَافِلَةٌلَمْ يُصَلِّ فَلْيُصَلِّ مَعَهُ فَإِنَّهَا لَهُ نَافِلَةٌ


Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah mengabarkan kepadaku Ya'la bin 'Atha' dari Jabir bin Yazid bin Al-Aswad dari Ayahnya

bahwasanya dia pernah shalat bersama Rasulullah  sementara ketika itu dia masih muda. Tatkala shalat telah selesai dilaksanakan, ada dua orang laki-laki yang berada di salah satu sudut masjid tidak melaksanakan shalat, maka beliau memanggil keduanya dan keduanya pun didatangkan dalam kondisi ketakutan (menggigil), lalu beliau bersabda: "Apakah yang menghalangi kalian berdua untuk melaksanakan shalat bersama kami?" Mereka menjawab; Kami sudah melaksanakannya di rumah kami. Beliau bersabda: "Janganlah kalian melakukannya lagi, apabila seseorang di antara kalian sudah melaksanakan shalat di rumahnya, lalu mendapatkan imam sedang shalat, maka shalatlah bersamanya, karena yang ini baginya adalah nafilah (shalat sunnah). (HR: Abu Daud 488 & Ahmad 16.830, 16.831) ..... (1)

 

Perlu dipahami bahwa menghukumi sesuatu itu juga harus mempertimbangkan hadits lain, apalagi hadits lain juga shahih dan sharih membahas hal yang sama. Perhatikan hadits di bawah:

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ يِسَافٍ عَنْ أَبِي الْمُثَنَّى عَنِ ابْنِ امْرَأَةِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِنْ أَبِي الْمُثَنَّى عَنِ ابْنِ امْرَأَةِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ تَشْغَلُهُمْ أَشْيَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ تَطَوُّعًاوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ تَطَوُّعًا

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ عَنْ أَبِي الْمُثَنَّى عَنِ ابْنِ امْرَأَةِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ مِثْلَهُ


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Manshur dari Hilal bin Yisaf dari Abu Al Mutsanna dari seorang putra dari istri 'Ubadah bin Ash Shamit

dari Nabi , akan ada para pemimpin sesudahku yang disibukkan oleh perkara-perkara sehingga mereka mengakhirkan shalat dari waktunya, maka shalatlah kalian tepat pada waktunya, dan jadikan shalat kalian bersama mereka sebagai amalan sunnah."

Telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Manshur dari Hilal bin Yasaf dari Abu Al Mutsanna dari seorang putra dari istri 'Ubadah bin Ash Shamit dari Nabi , ia menyebutkan hadits serupa. (Ahmad 21.625; Ibnu Majah 1.247) .....(2)

 

Kalau hanya hadits (1) yang dipakai untuk dalil tentunya akan bermakna bolehnya shalat fardhu sendiri di rumah tanpa udzur. Hadits (2) ini menjelaskan bahwa jika adanya pemimpin yang mengakhirkan shalat fardhu, maka diperintahkan untuk shalat di awal waktu. Dalam hadits (1) perintah ini merupakan kewajiban meski pun sebagai shalat nafilah, hal ini ditandai dengan ketakutannya mereka ketika dipanggil karena tidak ikut shalat berjamaah juga perintah dilarang mengulangi untuk meninggalkan dan dipertegas dengan hadits (2) yang memerintahkan akan hal ini. Kalau shalat sunnah dimaksud saja ditegaskan seperti itu apalagi shalat wajibnya.

Dalam hadits (1) harus dipahami bahwa ketika itu Rasulullah ﷺ menunda shalat berjamaah karena sesuatu hal yang tidak mungkin ditinggalkan sehingganya kedua orang itu memutuskan shalat fardhu di rumah. Dalam riwayat Abu Daud 369 disebutkan bahwa pemimpin yang mengakhirkan shalat berjamaah karena perkara dunia. Juga disebutkan ada dua orang bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Apakah kami shalat bersama mereka?” Beliau menjawab: “Jika engkau mau”.


Perlu dipahami dengan sungguh-sungguh bahwa wajibnya shalat berjamaah sebagai shalat nafilah ini jika ia ada di tempat atau mendapati imam atau mendatangi shalat berjamaah, jika tidak maka sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Daud 369, Jika engkau mau. Dan shalat berjamaah ini harus diniatkan sebagai shalat nafilah karena ada larangan shalat fardhu yang sama dua kali. Tata caranya pelaksanaannya dijelaskan sebagaimana hadits di bawah:

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ وَعَلْقَمَةَ قَالَا أَتَيْنَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فِي دَارِهِ فَقَالَ أَصَلَّى هَؤُلَاءِ خَلْفَكُمْ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَقُومُوا فَصَلُّوا فَلَمْ يَأْمُرْنَا بِأَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ

قَالَ وَذَهَبْنَا لِنَقُومَ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِأَيْدِينَا فَجَعَلَ أَحَدَنَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخَرَ عَنْ شِمَالِهِ قَالَ فَلَمَّا رَكَعَ وَضَعْنَا أَيْدِيَنَا عَلَى رُكَبِنَا قَالَ فَضَرَبَ أَيْدِيَنَا وَطَبَّقَ بَيْنَ كَفَّيْهِ ثُمَّ أَدْخَلَهُمَا بَيْنَ فَخِذَيْهِ قَالَ فَلَمَّا صَلَّى قَالَ إِنَّهُ سَتَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مِيقَاتِهَا وَيَخْنُقُونَهَا إِلَى شَرَقِ الْمَوْتَى فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ قَدْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِمِيقَاتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ سُبْحَةً وَإِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَصَلُّوا جَمِيعًا وَإِذَا كُنْتُمْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَلْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ .....


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-'Ala' al-Hamdani Abu Kuraib dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dari al-A'masy dari Ibrahim dari al-Aswad dan Alqamah keduanya berkata,

"Kami mendatangi Abdullah bin Mas'ud di rumahnya, lalu dia bertanya, 'Apakah mereka itu shalat di belakangmu?' Jawab kami, 'Tidak.' Dia berkata, 'Bangunlah, lalu shalatlah, lalu dia tidak menyuruh kami adzan dan tidak pula iqamah'.

Lalu kami berdiri di belakangnya. Kemudian dia menarik tangan kami, lalu dia menempatkan masing-masing kami di sebelah kanan dan kirinya. Ketika dia rukuk, kami meletakkan tangan kami di lutut'. Dia berkata, 'Tetapi Abdullah memukul tangan kami, dan dia mempertemukan kedua telapak tangannya lalu memasukkannya ke antara dua pahanya'. Tatkala telah selesai shalat dia berkata, 'Sesungguhnya nanti akan datang para penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya dan mengundur-undur pelaksanaannya hingga hampir habis. Apabila kalian menyaksikan mereka melakukan hal tersebut, maka kalian shalatlah tepat pada waktunya, kemudian shalat pulalah berjamaah bersama-sama dengan mereka dan jadikanlah shalatmu bersama mereka sebagai suatu kesunatan. Apabila kamu bertiga, shalatlah bersama-sama, dan apabila kamu lebih banyak, angkatlah salah seorang menjadi imam ..... (HR: Muslim 830)

 

Ada juga peristiwa yang terjadi di zaman seorang perawi (Ziyad bin Fairuz) ketika shalat Jum’at (lihat riwayat Muslim 1.033).

Sebagai penjelas bahwa ini menerapkan satu imam sehingga dilarang mendirikan shalat berjamaah kecuali diimami oleh pemimpinnya (imamnya adalah pemimpinnya) atau imam rawatib yang ditunjuk oleh amirul mukminin kecuali adanya udzur syar’i atau sebagaimana hadits di bawah:

 

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا رَبَاحٌ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ

أَنَّ الْوَلِيدَ بْنَأَنَّ الْوَلِيدَ بْنَ عُقْبَةَ أَخَّرَ الصَّلَاةَ مَرَّةً فَقَامَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ فَثَوَّبَ بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ الْوَلِيدُ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ أَجَاءَكَ مِنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَمْرٌ فِيمَا فَعَلْتَ أَمْ ابْتَدَعْتَ قَالَ لَمْ يَأْتِنِي أَمْرٌ مِنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ وَلَمْ أَبْتَدِعْ وَلَكِنْ أَبَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْنَا وَرَسُولُهُ أَنْ نَنْتَظِرَكَ بِصَلَاتِنَا وَأَنْتَ فِي حَاجَتِكَ


Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Khalid telah menceritakan kepada kami Rabah dari Ma'mar dari Abdullah bin Utsman dari Al Qosim dari ayahnya

bahwa Al Walid bin Uqbah pernah sekali mengakhirkan shalat, lalu Abdullah bin Mas'ud berdiri dan mengumandangkan iqamah lalu mengimami shalat. Kemudian Al Walid mengirim surat kepadanya; Apa yang menyebabkanmu melakukan hal itu, apakah ada perintah dari amirul mukminin atau engkau telah berbuat bid'ah? Ia (Ibnu Mas'ud) membalas; Tidak ada perintah dari amirul mukminin dan aku pun tidak berbuat bid'ah, akan tetapi Allah عز وجل dan Rasul-Nya enggan menunggu shalatmu sementara engkau sibuk dengan urusanmu. (HR: Ahmad 4.071)

 

Hadits ini juga sebagai penegas bahwa pada zaman shahabat pun masih diterapkan imam rawatib tunggal sehingganya wajib mendirikan shalat di awal waktu dengan imam yang disepakati saat itu jika imam rawatib berhalangan. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menghadiri shalat berjamaah.

Disimpulkan bahwa jika imam mengakhirkan shalat berjamaah hingga hampir habis waktunya karena disibukkan dengan perkara dunia, maka shalatlah di awal waktu meski di rumah sendirian dan shalatlah bersama mereka sebagai shalat sunnah.  

 

3. Kisah para shahabat  yang terkena hukuman karena tidak ikut perang Tabuk tanpa udzur.

 

Dalam hadits Bukhari 13/328 (Shahih Bukhari 4.066) yang sangat panjang dan juga saya temukan di Shahih Muslim 4.973 (muttafaqun ‘alaih), meriwayatkan tiga shahabat yang tidak ikut perang Tabuk tanpa adanya udzur yaitu Ka’b bin Malik, Murarah bin Rabi'ah Al Amin dan Hilal bin Ummayah Al Waqifi رضي الله عنهم yang kemudian dihukum muqatha’ah (tidak diajak berbicara) dan menghindari istrinya (istrinya dipulangkan ke orang tuanya) tetapi tidak dicerai.

Karena hadits ini sangat panjang, maka saya menukilnya hanya yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Silakan merujuk Shahih Bukhari 4.066 atau Shahih Muslim 4.973.

Dalam hadits ini, saya tidak menemukan yang menyebutkan apakah Murarah dan Hilal رضي الله عنهم shalat sendiri di rumah. Hanya saja Ka’ab bin Malik menjelaskan kebiasaan yang dilakukan baik sebelum atau sesudah terkena hukuman baik shalat atau kegiatan kesehariannya. Untuk Murarah dan Hilal رضي الله عنهم tidak bisa dipastikan apakah mereka shalat sendiri di rumah. Bahkan secara keumuman bahwa para shahabat tidak mungkin melalaikan terutama amalan yang agung. Yang perlu dipahami di sini bahwa Murarah dan Hilal رضي الله عنهم tidak melakukan aktivitas sosial sebagaimana Ka’ab bin Malik karena dalam keadaan terhukum. Dalam kajian ushul fiqh, hadits ini juga tidak bisa melandasi akan hal ini karena masih multi tafsir dengan kedudukan yang sepadan, kecuali ada hadits shahih lain yang sharih menguatkan akan hal ini.

 

4. Diwajibkannya menghadiri shalat berjamaah bagi orang buta yang mendengar adzan, simak beberapa  hadits di bawah:

 

مَحْمُودٌ أَنَّهُ سَمِعَ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ ..... يَقُولُ

كُنْتُ أُصَلِّي لِقَوْمِي بِبَنِي سَالِمٍ وَكَانَ يَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ وَادٍ إِذَا جَاءَتْ الْأَمْطَارُ فَيَشُقُّ عَلَيَّ اجْتِيَازُهُ قِبَلَ مَسْجِدِهِمْ فَجِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَإِنَّ الْوَادِيَ الَّذِي بَيْنِي وَبَيْنَ قَوْمِي يَسِيلُ إِذَا جَاءَتْ الْأَمْطَارُ فَيَشُقُّ عَلَيَّ اجْتِيَازُهُ فَوَدِدْتُ أَنَّكَ تَأْتِي فَتُصَلِّي مِنْ بَيْتِي مَكَانًا أَتَّخِذُهُ مُصَلًّى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَفْعَلُ فَغَدَا عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ مَا اشْتَدَّ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى قَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ فِيهِ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ وَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ وَسَلَّمْنَا حِينَ سَلَّمَسَلَّمْنَا حِينَ سَلَّمَ


Mahmud mengabarkan bahwa dia mendengar 'Itban bin Malik ..... berkata:

"Aku sering memimpin shalat kaumku bani Salim sedangkan tempat aku dan mereka dipisahkan oleh lembah yang apabila turun hujan akan menghalangi aku mengunjungi masjid mereka. Maka aku menemui Rasulullah , dan aku berkata kepada Beliau: "Pandanganku sudah buruk, sementara lembah yang ada antara aku dan kaumku saat turun hujan akan menghalangiku mengunjungi mereka. Maka aku menginginkan anda dapat mengunjungiku lalu shalat di rumahku yang akan aku jadikan sebagai tempat shalat. Maka berkata, Rasulullah "Akan saya penuhi". Maka Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar berangkat ketika siang hari lalu Rasulullah ﷺ meminta izin, maka aku izinkan. Beliau tidaklah duduk hingga Beliau berkata: "Mana tempat yang kau sukai untuk aku shalat di rumahmu?" Maka Beliau aku tunjukkan tempat yang aku sukai untuk aku shalat di sana. Maka Nabi ﷺ berdiri lalu bertakbir. Dan kami pun berdiri membuat shaf di belakang Beliau, lalu Beliau shalat dua raka'at kemudian memberi salam dan kami pun memberi salam ketika Beliau memberi salam. (HR: Bukhari 407, 1.113, 4.982; Muslim 1.052) .....(3)

 

Pada hadits (3) jika ‘Itban bin Malik رضي الله عنه mendapati hujan, maka terjadi banjir hingga tidak bisa mengunjungi masjid kaumnya, ini menandakan bahwa adanya udzur syar’i (hujan) yang memperbolehkan untuk meninggalkan kewajiban. Jika tidak hujan maka ia tetap wajib memenuhinya, sebagaimana ditegaskan hadits di bawah:

 

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي رَزِينٍ عَنْ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ قَالَاصِمٍ عَنْ أَبِي رَزِينٍ عَنْ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ قَالَ

قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي كَبِيرٌ ضَرِيرٌ شَاسِعُ الدَّارِ وَلَيْسَ لِي قَائِدٌ يُلَاوِمُنِي فَهَلْ تَجِدُ لِي مِنْ رُخْصَةٍ قَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ مَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً


Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Za'idah dari 'Ashim dari Abu Razin dari Ibnu Ummi Maktum ia berkata;

Aku berkata kepada Nabi  aku orang yang sudah tua, tidak dapat melihat, rumahku jauh, dan aku juga tidak memiliki pemandu yang dapat menuntunku. Maka apakah aku bisa mendapatkan keringanan?" Beliau menjawab: "Apakah kamu mendengar adzan?" Aku menjawab; "Iya." Beliau bersabda: "Aku tidak mendapatkan adanya keringanan bagimu" (HR: Ahmad 14.943, Abu Daud 465 dan Ibnu Majah 784) .....(4), hadits semakna pada HR: Muslim 1.044)

 

Dalam hal ini ada dua peristiwa yaitu yang terjadi pada ‘Itban bin Malik dan Ibnu Ummi Maktum رضي الله عنهم. Saya tidak mendapati kedua hadits ini terjadi pada hari Jum’at. Jika ada yang bisa membuktikan kedua hadits ini terjadi pada hari Jum’at, maka kewajiban orang buta untuk shalat berjamaah hanya khusus pada hari Jum’at dimungkinkan benar. Perhatikan hadits (4) makna panggilan tidak lain adalah adzan, artinya yang dimaksud adalah khusus shalat fardhu lima waktu dan shalat Jum’at karena shalat yang diserukan adzan hanya kedua shalat ini. Sedangkan makna "Aku tidak mendapatkan adanya keringanan bagimu", adalah penetapan kewajiban sebagaimana orang yang normal akan hadirnya berjamaah dalam shalat yang diadzani. Dalam hal ini saya tekankan bahwa saya tidak menemui kedua hadits (3) dan (4) di atas yang terjadi pada hari Jum’at, tetapi ada hadits lain sebagai berikut:

 

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ أَبُو سَلَمَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ أَبِيهِ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَالَ

كُنْتُ قَائِدَ أَبِي حِينَ ذَهَبَ بَصَرُهُ فَكُنْتُ إِذَا خَرَجْتُ بِهِ إِلَى الْجُمُعَةِ فَسَمِعَ الْأَذَانَ اسْتَغْفَرَ لِأَبِي أُمَامَةَ أَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ وَدَعَا لَهُ فَمَكَثْتُ حِينًا أَسْمَعُ ذَلِكَ مِنْهُ ثُمَّ قُلْتُ فِي نَفْسِي وَاللَّهِ إِنَّ ذَا لَعَجْزٌ إِنِّي أَسْمَعُهُ كُلَّمَا سَمِعَ أَذَانَ الْجُمُعَةِ يَسْتَغْفِرُ لِأَبِي أُمَامَةَ وَيُصَلِّي عَلَيْهِ وَلَا أَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ لِمَ هُوَ فَخَرَجْتُ بِهِ كَمَا كُنْتُ أَخْرُجُ بِهِ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمَّا سَمِعَ الْأَذَانَ اسْتَغْفَرَ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَتَاهُ أَرَأَيْتَكَ صَلَاتَكَ عَلَى أَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ كُلَّمَا سَمِعْتَ النِّدَاءَ بِالْجُمُعَةِ لِمَ هُوَ قَالَ أَيْ بُنَيَّ كَانَ أَوَّلَ مَنْ صَلَّى بِنَا صَلَاةَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَكَّةَ فِي نَقِيعِ الْخَضَمَاتِ فِي هَزْمٍ مِنْ حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ قُلْتُ كَمْ كُنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعِينَ رَجُلًاوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعِينَ رَجُلًا


Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Khalaf Abu Salamah berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la dari Muhammad bin Ishaq dari Muhamad bin Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif dari bapaknya Abu Umamah dari 'Abdurrahman bin Ka'b bin Malik ia berkata,

"Aku adalah pemandu bapakku tatkala penglihatannya telah hilang. Jika aku keluar dengannya untuk shalat Jum'at dan ia mendengar adzan, maka ia memintakan ampun dan berdo'a untuk Abu Umamah As'ad bin Zurarah. Sejenak aku terdiam untuk mendengarkannya, kemudian aku berguman di dalam hatiku, "Demi Allah, ia (bapakku) adalah orang yang lemah, setiap ia mendengar adzan Jum'at dan meminta ampun bagi Abu Umamah aku mendengarnya, namun aku tidak pernah bertanya kenapa ia melakukan hal itu. " Lalu aku berangkat bersama untuk shalat Jum'at sebagaimana biasa, ketika mendengar adzan ia juga meminta ampun sebagaimana yang biasa dilakukannya. Maka aku pun bertanya kepadanya, "Wahai bapakku, kenapa engkau selalu mendo'akan As'ad bin Zurarah setiap kali engkau mendengar adzan pada hari Jum'at?" ia menjawab, "Wahai putraku, dia adalah orang yang pertama kali mengimami kami shalat Jum'at sebelum kedatangan Rasulullah ﷺ dari Makkah di Naqi' Al Khadlamat daerah gurun dataran rendah bani Bayadlah." Aku bertanya kembali, "Berapakah jumlah kalian saat itu?" ia menjawab, "Empat puluh orang. " (HR: Ibnu Majah 1.072) .....(5)

 

Hadits (5) ini statusnya hasan, perawi Muhammad bin Ishaq dinilai shaduq tetapi juga dinilai yudalis oleh Ibnu Hajar al-Asqalani. Hadits (5) ini hanya menceritakan kejadian yang hanya berhubungan dengan peristiwa di hari Jum’at sebagaimana tersebut dalam hadits. Harus diingat bahwa Ka'b bin Malik رضي الله عنه ketika masih muda pernah terkena hukuman muqatha’ah dan menghindari istrinya, karena tidak ikut perang Tabuk tanpa udzur. Setelah mendapat ampunan akan hukuman ini, mungkinkah ia akan menyia-nyiakan sisa umurnya untuk mengulang lagi melanggar syariat yang telah ditetapkan di atas dengan tidak berjamaah shalat fardhu lima waktu di masjid? Meskipun ia buta tetapi ia mempunyai pemandu (kisah ini sebagaimana hadits riwayat Bukhari (13/328) pada poin 3 di atas).

Dalam beristimbath tentunya wajib mengedepankan hadits yang lebih shahih dari pada hadits yang status di bawahnya, apalagi hadits ini juga tidak bisa memastikan bahwa Ka’b bin Malik hanya berjamaah ketika shalat Jum’at saja, bahkan dengan adanya hadits lain sebagai penguat, justru lebih menekankan bahwa beliau istiqamah shalat berjamaah lima waktu di masjid karena para shahabat adalah yang paling bersemangat dalam ibadah dan tidak mungkin akan melanggar syariat apalagi ketika mudanya pernah terkena hukuman juga karena melanggar syariat.

Kesamaan udzur yang terdapat pada hadits ‘Itban bin Malik dan Ibnu Ummi Maktum رضي الله عنهم yaitu buta, sedang perbedaannya pada hadits ‘Itban bin Malik رضي الله عنه adanya hujan sedangkan hadits Ibnu Ummi Maktum رضي الله عنه yaitu orang yang sudah tua, rumahnya jauh dan tidak punya pemandu. Ini menjelaskan adanya korelasi hukum dan saling menguatkan dari kedua hadits bahwa jika tidak hujan maka ‘Itban bin Malik رضي الله عنه wajib hadir shalat berjamaah begitu pun dengan Ummi Maktum رضي الله عنه jika mendapati hujan maka ia boleh untuk tidak menghadiri shalat berjamaah.

Dan ini mendasari hukum wajibnya orang buta yang sudah tua untuk menghadiri shalat fardhu lima waktu dan shalat Jum’at berjamaah jika masih terdengar adzan dari rumahnya meski tidak ada pemandu kecuali jika hujan.

 

5. Shalat di persinggahan ketika safar di malam hari dan hujan, perhatikan hadits di bawah:

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَالَ

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ

و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ بِضَجْنَانَ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِهِ وَقَالَ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ وَلَمْ يُعِدْ ثَانِيَةً أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ مِنْ قَوْلِ ابْنِ عُمَرَ


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah telah menceritakan kepadaku Nafi' dari Ibnu Umar, bahwa ia menyeru shalat pada malam yang sangat dingin dan hujan angin, di akhir seruannya ia berkata; 'Alaa tushalluu fii rihaalikum, 'Alaa tushalluu fir rihaal, (Tidak sebaiknyakah kalian shalat di persinggahan kalian, tidak sebaiknyakah kalian shalat di persinggahan kalian?) " Kemudian katanya;

"Dahulu Rasulullah  juga pernah menyuruh mu'adzinnya jika malam sangat dingin atau terjadi hujan, yaitu ketika safar untuk mengumandangkan 'Alaa tushalluu fii rihaalikum (Tidak sebaiknyakah kalian shalat di persinggahan kalian?)."

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa ia menyerukan shalat di Dlajnan. kemudian ia menyebutkan hadits semisalnya, lalu ia menyerukan; 'Alaa tushalluu fii rihaalikum (Tidak sebaiknyakah kalian shalat di persinggahan kalian?)." Namun dia tidak mengulang untuk kedua kalinya, dan kalimat; 'Alaa tushalii Fiirrihaal adalah ucapan Ibnu Umar sendiri. (HR: Muslim 1.126)

 

Dalam hadits di atas menjelaskan bahwa Ibnu Umar رضي الله عنه dalam keadaan safar di malam hari dan hujan (kekhususan), artinya tidak boleh disamakan dalam keadaan selainnya juga ketika mukim. Ketika safar ada beberapa hal yang boleh dilakukannya, contoh ketika safar shalat boleh dijama’, diqashar atau dijama’-qashar, boleh berbuka (tidak puasa) pada bulan Ramadhan.

Apa yang Ibnu Umar رضي الله عنه lakukan pernah terjadi di zaman Rasulullah  ketika perang Hunain seperti yang ia riwayatkan dari jalur lain. Keadaan saat itu juga pada malam hari dan hujan, maka wajar jika adanya rukhshah untuk shalat di persinggahan masing-masing.

Kita flashback safar pada zaman Rasulullah  ketika malam di padang pasir terjadi hujan dan musafir hanya bisa berteduh di tenda masing-masing lalu datang waktu shalat. Penerangan saat itu hanya sejenis obor jika kena hujan pasti mati, belum lagi kalau suara imam tidak terdengar hingga shaf belakang karena tersaingi suara hujan, ditambah lagi jika ada musafir baju yang kering hanya yang ia pakai, lalu bagaimana bisa mendirikan shalat berjamaah dalam kondisi seperti ini dan apakah sekejam itu syariat diberlakukan? Berbeda ketika safar yang kondusif untuk shalat berjamaah, maka shalat berjamaah tetap disyariatkan. Bahkan ketika orang safar sendirian pun disyariatkan untuk berjamaah dengan musafir lain untuk shalat yang sama atau jika ditemui beberapa orang setempat, maka hanya boleh mengajak seorang untuk menjadi makmumnya.

Jika hal ini dikaitkan dengan syariat haji jelas tidaklah relevan karena syariat haji itu tempat dan waktu ditentukan pada satu waktu yaitu di Arafah tanggal 9 Zulhijjah, maka apa pun kondisinya harus dilakukan jika ingin hajinya sah. Jika dikaitkan dengan puasa Ramadhan masih ada relevansinya yang notabene juga fardhu ‘ain. Apakah ada yang meninggalkan/tidak puasa Ramadhan? Ya..., seperti orang sakit, musafir, anak yang belum baligh, orang tua yang lemah, ibu hamil atau yang menyusui karena khawatir,  perempuan haid atau nifas. Apakah dengan semua ini puasa Ramadhan menjadi fardhu kifayah atau sunnah muakkadah atau hanya sekedar sunnah?

 

6. Hadits-hadits yang ada ancaman membakar rumah, ini ada beberapa riwayat di bawah:

 

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ فِتْيَتِي أَنْ يَجْمَعُوا حُزَمَ الْحَطَبِ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى أَقْوَامٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَمَّ أُحَرِّقَ عَلَى أَقْوَامٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ

قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَمُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ وَجَابِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ قَالُوا مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْ فَلَا صَلَاةَ لَهُ و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا عَلَى التَّغْلِيظِ وَالتَّشْدِيدِ وَلَا رُخْصَةَ لِأَحَدٍ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍخْصَةَ لِأَحَدٍ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ


Telah menceritakan kepada kami Hannad berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' dari Ja'far bin Burqan dari Yazid bin Al Asham dari Abu Hurairah

dari Nabi , beliau bersabda: "Aku sangat berkeinginan untuk memerintahkan para pemudaku mengumpulkan kayu bakar, lalu aku perintahkan agar shalat didirikan, setelah itu aku membakar rumah orang-orang yang tidak ikut melaksanakan shalat berjama'ah."

Abu Isa berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin Mas'ud, Abu Darda, Ibnu Abbas, Mu'adz bin Anas dan Jabir." Abu Isa berkata; "Hadits Abu Hurairah ini derajatnya hasan shahih. Telah diriwayatkan dari sahabat Nabi dengan banyak jalur, mereka mengatakan, "Barang siapa mendengar adzan lalu tidak memenuhi panggilannya, maka tidak ada shalat baginya." Dan sebagian para ahli ilmu berkata; "Hal ini sangat ditekankan dan tidak ada keringanan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat berjama'ah kecuali dengan udzur." (HR: Tirmidzi 201) .....(6)

 

حَدَّثَنَا النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْمَلِيحِ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ فِتْيَتِي فَيَجْمَعُوا حُزَمًا مِنْ حَطَبٍ ثُمَّ أَاتِيَ قَوْمًا يُصَلُّونَ فِي بُيُوتِهِمْ لَيْسَتْ بِهِمْ عِلَّةٌ فَأُحَرِّقَهَا عَلَيْهِمْهِمْ لَيْسَتْ بِهِمْ عِلَّةٌ فَأُحَرِّقَهَا عَلَيْهِمْ

قُلْتُ لِيَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ يَا أَبَا عَوْفٍ الْجُمُعَةَ عَنَى أَوْ غَيْرَهَا قَالَ صُمَّتَا أُذُنَايَ إِنْ لَمْ أَكُنْ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَأْثُرُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا ذَكَرَ جُمُعَةً وَلَا غَيْرَهَالَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا ذَكَرَ جُمُعَةً وَلَا غَيْرَهَا


Telah menceritakan kepada kami An-Nufaili telah menceritakan kepada kami Abu Al-Malih telah menceritakan kepadaku Yazid bin Yazid telah menceritakan kepadaku Yazid bin Al-Asham dia berkata; Saya telah mendengar Abu Hurairah berkata;

Rasulullah  bersabda; "Sungguh saya ingin sekali memerintahkan para pemudaku untuk mengumpulkan tumpukan tumpukan kayu bakar, kemudian saya pergi mendatangi kaum yang mengerjakan shalat di rumah rumah mereka tanpa udzur, lalu saya membakar rumah rumah mereka."

Kata Yazid bin Yazid saya katakan kepada Yazid bin Asham; Wahai Abu Auf, apakah Shalat Jumat yang dimaksud Nabi ﷺ ataukah lainnya? Dia menjawab; Kedua telingaku tersumbat, sekiranya saya tidak mendengar Abu Hurairah meriwayatkannya dari Rasulullah ﷺ, sama sekali beliau tidak menyebutkan shalat Jumat dan juga shalat yang lain. Ini lafas Abu Daud (HR: Abu Daud 462, Ahmad 10.539) ....(7)


 

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِقَوْمٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ

قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقُ أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْ أَبِي الْأَحْوَصِ


Telah meneritakan kepada kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Zuhair dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah

bahwa Nabi  mengatakan kepada kaum yang meninggalkan shalat Jum'at: "Sungguh aku berkeinginan menyuruh seseorang untuk mengimami shalat bersama manusia, kemudian aku akan membakar rumah orang-orang yang meninggalkan shalat Jum'at."

Zuhair berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq bahwa ia mendengarnya dari Abu Al Ahwash. (HR: Ahmad 3.625, 3.805, 4.166) ....(8)

 

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا الْأَعْمَشُ الْمَعْنَى عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَثْقَلُ الصَّلَاةِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْمُؤَذِّنَ فَيُؤَذِّنَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزُمُ الْحَطَبِ إِلَى قَوْمٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الصَّلَاةِ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ


Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy. Dan Ibnu Numair berkata; telah mengabarkan kepada kami secara makna Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata;

Rasulullah  Shalat yang paling berat bagi kaum munafiqin adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui pahala yang terdapat pada keduanya niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Dan aku sangat berkeinginan memerintahkan seorang mu'adzin untuk adzan, kemudian aku perintahkan seorang lelaki mengimami mereka, lalu aku pergi bersama beberapa orang dengan membawa kayu bakar menuju orang-orang yang meninggalkan shalat berjamaah untuk kemudian membakar rumah-rumah mereka." (HR: Ahmad 9.122,  dan Darimi1.243) .....(9)

 

Saya sengaja menghadirkan berapa riwayat walau tidak semua karena masih ada yang lain di antaranya dari Abu Hurairah رضي الله عنه pada shalat Isya’ yang diriwayatkan oleh Malik juga Ahmad. Dan apa yang saya hadirkan telah mencukupi untuk mewakili solusi masalah yang kita hadapi. Hadits (6) dan (7) menjelaskan bahwa ancaman ini bersifat umum untuk orang yang tidak shalat berjamaah tanpa udzur sebagaimana Hadits (6) yang dinyatakan oleh Yazid bin Asham bahwa Abu Hurairah رضي الله عنه tidak menyebutkan shalat Jumat dan juga shalat yang lain. Tetapi dikhususkan dalam hadits (8 dan 9) yang diriwayatkan Abdullah bin Mas'ud رضي الله عنه sebagai shalat Jum’at dan dalam riwayat  Abu Hurairah رضي الله عنه sebagai shalat Isya’ dan Shubuh. Artinya secara hukum kedudukannya sama yaitu fardhu ‘ain karena ancamannya sama yaitu akan dibakar rumahnya jika tidak menghadiri shalat berjamaah baik Jum’at, Isya’ atau Shubuh. Lalu apakah yang mendapatkan ancaman rumahnya akan dibakar hanya untuk orang munafik? Pastinya seperti itu, karena hukum berlaku untuk semua mukallaf, dan yang distempeli munafik oleh Rasulullah  yaitu siapa pun yang tidak hadir shalat berjamaah tanpa udzur.

Dan apakah fardhu ‘ain ini tidak berlaku untuk shalat Dzuhur, Asar dan Maghrib karena tidak tercantum dalam hadits? Semua ulama sepakat tanpa ada perselisihan bahwa kelima shalat fardhu ini kedudukan sama secara hukum, jika shalat Isya’ dan Shubuh dihukumi sebagai fardhu ‘ain tentunya tidak menyalahi jika shalat Dzuhur, Asar dan Maghrib juga dihukumi sebagai fardhu ‘ain. Berikut penjelasan, Rasulullah ﷺ bersabda: "Shalat yang paling berat bagi kaum munafiqin adalah shalat Isya’ dan shalat subuh...”. Artinya hambatan dalam mengerjakan shalat berjamaah Dzuhur, Asar dan Maghrib itu lebih ringan. Jika yang tidak hadir shalat Isya’ dan Shubuh dijuluki Rasulullah ﷺ munafiq lantas julukan apa yang pantas untuk yang tidak menghadiri shalat Dzuhur, Ashar dan Maghrib? Apakah yang lebih ringan hambatannya justru yang terbebas dari kewajiban yang lebih berat? Jika demikian jelas logika yang terbalik.


Simak baik-baik hadits di bawah:

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ بَيَانٍ الْوَاسِطِيُّ أَنْبَأَنَا هُشَيْمٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ


Telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Bayan Al Wasithi berkata, telah memberitakan kepada kami Husyaim dari Syu'bah dari 'Adi bin Tsabit dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu 'Abbas

dari Nabi , beliau bersabda: "Barang siapa mendengar suara adzan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur." (HR: Ibnu Majah 785) .....(10)

 

Hadits (10) sebagaimana dikatakan Imam Tirmidzi dalam hadits (6) secara tegas memutlaqkan semua orang yang mendengar adzan jika tidak mendatanginya berarti tidak shalat kecuali karena udzur. Ini sangat logis jika dibandingkan dengan orang buta yang sudah tua, rumahnya jauh dan tidak ada pemandu tetapi diwajibkan hadir untuk shalat berjamaah kecuali kondisi hujan. Kalau orang yang buta sebagaimana di atas yang shalat di rumah dinilai tidak shalat, bagaimana mungkin orang yang normal rumahnya bertetangga dengan masjid dan tidak ada udzur untuk menghadiri shalat berjamaah dan hanya dinilai tidak sempurna, logiskah?

 

7. Penjabaran oleh Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه tentang menjaga semua shalat yang padanya adanya panggilan shalat (adzan).

 

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ عَنْ أَبِي الْعُمَيْسِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْأَقْمَرِ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ

فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ


Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Al Fadl bin Dukain dari Abu Al Umais dari Ali bin Al Aqmar dari Abu Al Ahwash dari Abdullah, katanya; "Siapa berkehendak menjumpai Allah besok sebagai seorang muslim, hendaklah ia jaga semua shalat yang ada, di mana pun ia mendengar panggilan shalat itu,

sesungguhnya Allah telah mensyari'atkan kepada nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk, dan sesungguhnya semua shalat, di antara sunnah-sunnah petunjuk itu, kalau kalian shalat di rumah kalian sebagaimana seseorang yang tidak hadir di masjid, atau rumahnya, berarti telah kalian tinggalkan sunnah nabi kalian, sekiranya kalian tinggalkan sunnah nabi kalian, sungguh kalian akan sesat, tidaklah seseorang bersuci dengan baik, kemudian ia menuju salah satu masjid yang ada, melainkan Allah menulis kebaikan baginya dari setiap langkah kakinya, dan dengannya Allah mengangkat derajatnya, dan menghapus kesalahan karenanya, menurut pendapat kami, tidaklah seseorang ketinggalan dari shalat, melainkan dia seorang munafik yang jelas kemunafikannya (munafik tulen), sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga didirikan di shaff (barisan) shalat yang ada." (HR: Muslim 1.065)

 

Perhatikan pada kata: "Siapa berkehendak menjumpai Allah besok sebagai seorang muslim, hendaklah ia jaga semua shalat yang ada, di mana pun ia mendengar panggilan shalat itu”.

Di sini yang dimaksud “panggilan shalat” yaitu adzan, jadi shalat yang diserukan adzan yaitu shalat fardhu lima waktu dan shalat Jum’at, karena tidak ada selain itu yang dimaksud sebagaimana telah disampaikan di atas.

Penjabaran yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه telah gamblang sebagaimana yang tercantum dalam paragraf berikutnya, jika ada orang yang menginterpretasikan selain ini berarti ia lebih alim dari Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه karena tidak seorang shahabat pun yang menyanggahnya (ijma’ sukuti).


8. Shalat sendiri (munfarid) yang sah karena udzur

 

💎 Shalat sendiri baik di masjid atau di rumah karena udzur syar’i seperti sakit, menunggui orang sakit, ancaman keselamatan dan sebagainya.

💎Shalat sendiri karena imam (pemimpin) mengakhirkan pelaksanaan shalat berjamaah karena kesibukan dunia

💎 Shalat sendirinya orang tua yang buta yang tidak ada penuntun yang rumahnya jauh dari masjid tetapi masih terdengar panggilan shalat (adzan) dikarenakan hujan

💎 Shalat Dzuhur sendiri di masjid karena tidak mendapati shalat Jum’at disebabkan tidak adanya tempat untuk melakukannya (kehabisan tempat)

Untuk lebih jelasnya untuk poin 8 silahkan baca artikel “BOLEHKAH BERMAKMUM KEPADA SEORANG YANG SHALAT SENDIRI (MUNFARID)?” (klik di sini)

 

9. Lain-lain.

 

a. Apakah benar orang-orang yang tidak shalat berjamaah lima waktu atau shalat Jum’at itu diamkan oleh Rasulullah ? Apakah dengan adzan dan iqamah lima kali setiap hari dan setiap Jum’at itu bermakna didiamkan? Apakah banyaknya ayat al-Qur’an dan hadits-hadits tentang shalat berjamaah yang disampaikan itu belum cukup?

Perlu dipahami bahwa syariat-syariat yang lain itu sangat banyak dan semua wajib juga disampaikan kepada umat, jika hanya ngurusi orang yang tidak hadir berjamaah, kapan akan selesai nubuwahnya. Dan apa yang disampaikan Rasulullah ﷺ telah selesai dan pastilah sempurna sebagaimana QS: Al-Maa’idah [5]: 3. Jika orang tidak berjamaah di zaman Rasulullah ﷺ dinilai suatu kekurangan karena mendiamkan, berarti risalah Islam yang beliau sampaikan tidak sempurna artinya mengingkari QS: Al-Maa’idah [5]: 3.

Rasulullah  itu hanya penyampai dan hidayah itu mutlaq Allah سبحانه وتعال yang menentukan.

Jika apa yang dipikirkan orang seperti itu, maka semua orang di zaman Rasulullah  pasti masuk surga karena shalatnya pasti tidak pernah tertinggal karena semua orang akan shalat berjamaah ke masjid. Realitanya orang yang memusuhi dan memerangi Islam saja banyak.

 

b. Tentang ayat-ayat al-Qur’an yang memerintah untuk shalat berjamaah

 

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ  ٤٣


Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'. (QS. Albaqarah [2]: 43)

 

Tentang ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk shalat berjamaah sebagai fardhu ‘ain, saya tidak mau berpolemik panjang lebar, cukup satu ayat ini.

Apakah yang dimaksud dalam ayat ini mengenai “orang-orang yang ruku’”  adalah orang-orang Islam yang shalat berjamaah? Jika sepakat iya, pertanyaan berikutnya adalah, apakah kita secara pribadi merasa diperintah atau tidak dengan ayat ini?

Tentang ayat perang, maka shalatnya adalah kekhususan, jadi pembahasannnya pun khusus.

 

KESIMPULAN
 

1. Shalat fardhu berjamaah lima waktu yang boleh tidak dihadiri yaitu kekhususan adanya udzur syar’i sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

2. Diwajibkannya shalat berjamaah lima waktu dan Jum’at untuk orang buta yang sudah tua, yang tidak punya pemandu/penuntun yang masih terdengar adzan dari rumahnya kecuali hujan.

3. Tidak ada shalat bagi tetangga masjid yang tidak shalat berjamaah tanpa udzur, artinya dinilai tidak shalat bukan hanya sekedar tidak sempurna.

 
PENETAPAN
 
Hukum shalat fardhu berjamaah lima waktu adalah fardhu ‘ain.
 
ANJURAN
 
Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadikan motivasi agar selalu berjamaah ke masjid bagi yang tidak mempunyai udzur. Terima kasih.
 

Wallahu a’lam bish shawwab

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Muara Bulian (Jambi), 25 Jumadhil Awwal 1441 H

اَبِى اَكْبَر الخَتَمِي

email 2 : agungswasana@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar