07 Mei 2024

HARAMKAH MUSIK?

(LANJUTAN)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏
 
Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Sehubungan adanya sanggahan atas artikel saya tentang “HARAMKAH MUSIK?” dengan memberikan penilaian bahwa hadits-hadits yang disajikan ada yang dha’if, maka saya terbitkan artikel ini sebagai qarinah hukum sebelumnya. Memang saya pun tidak menyangkal akan hal ini.
Untuk memahami artikel ini, wajib baca dahulu di sini
Saya sepakat bahkan sangat sepakat atas penilaian ini berdasarkan sifat “mendengarkan musiknya” juga sebagian ulama hadits mendha’ifkan hadits-hadits pengingkaran musik karena hal ini.
Dengan illat bahwa Allah سبحانه وتعال dan Rasul-Nya  mustahil melakukan sesuatu yang mubadzir dengan menyebutkan "pelakunya". Dan tidak satu pun ulama hadits yang menilai juga dengan mempertimbangkan dari sisi pelakunya, maka ini akan menjadikan konsekuensi hukum berbeda baik sanad atau matannya. Karena hal inilah, maka saya mengevaluasi status hadits juga dengan mempertimbangkan dari sisi pelakunya. Derajat hadis-hadits tentang pengingkaran musik menjadi shahih setidaknya hasan secara sanad, juga matannya tidak hanya sekedar syadz tetapi shahih. Sebagaimana hadis di bawah:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْغُدَانِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ نَافِعٍ قَالَ
سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ مِزْمَارًا قَا فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ عَلَى أُذُنَيْهِ وَنَأَى عَنْ الطَّرِيقِ وَقَالَ لِي يَا نَافِعُ هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا قَالَ فَقُلْتُ لَا قَالَ فَرَفَعَ إِصْبَعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ وَقَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا قَالَ أَبُو عَلِيٍّ الْلُؤْلُؤِيُّ سَمِعْت أَبَا دَاوُد يَقُولُ هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا مُطْعِمُ بْنُ الْمِقْدَامِ قَالَ حَدَّثَنَا نَافِعٌ قَالَ
كُنْتُ رِدْفَ ابْنِ عُمَرَ إِذْ مَرَّ بِرَاعٍ يَزْمُرُ فَذَكَرَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو دَاوُد أُدْخِلَ بَيْنَ مُطْعِمٍ وَنَافِعٍ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الرَّقِّيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْمَلِيحِ عَنْ مَيْمُونٍ عَنْ نَافِعٍ قَالَ
كُنَّا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ صَوْتَ زَامِرٍ فَذَكَرَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو دَاوُد وَهَذَا أَنْكَرُهَا (سنن أبي داوود ٤٢٧٨)

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ubaidullah Al Ghudani berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abdul Aziz dari Sulaiman bin Musa dari Nafi' ia berkata,
“Ibnu Umar mendengar suara seruling, lalu ia meletakkan jarinya pada dua telinganya seraya menjauh dari jalan. Lalu ia berkata kepadaku, “Wahai Nafi', apakah kamu mendengar sesuatu?” Aku menjawab, “Tidak” Nafi' melanjutkan, “Ibnu Umar lalu mengangkat kembali jarinya dari kedua telinganya”, lantas ia berkata, “Aku pernah bersama Nabi ﷺ, lalu beliau mendengar suara seperti ini dan beliau juga melakukan seperti ini.” Abu Ali Al Lu`lu`I berkata, “Aku mendengar Abu Daud berkata, ‘Hadits ini derajatnya munkar.’”
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Bapakku berkata, telah menceritakan kepada kami Muth'im Ibnul Miqdam ia berkata, telah menceritakan kepada kami Nafi' ia berkata,
“Aku membonceng di belakang Ibnu Umar, maka ketika melewati seorang pengembala yang meniup seruling …lalu ia menyebutkan seperti hadits tersebut.” Abu Daud berkata, “Antara Muth'im dan Nafi' di sisipi (nama) Sulaiman bin Musa.”
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja'far Ar Raqqi ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abul Malih dari Maimun dari Nafi' ia berkata,
“Aku bersama Ibnu Umar, lalu ia mendengar suara orang berseruling…lalu ia menyebutkan seperti hadits tersebut.” Abu Daud berkata, “Dan inilah yang paling mungkar.”
(Sunan Abu Daud 4.278)

Hadits ini mempunyai 3 jalur, 1 jalur dha’if karena disisipi 1 perawi, sedangkan 2 jalur lain shahih sehingga sanadnya dinilai shahih. 
Karena matannya dinilai mungkar oleh imam Abu Daud dikarenakan hanya berdasarkan penilaian mendengar musiknya saja. Padahal pada hadits-hadits shahih yang dibandingkan dengan hadits ini, semua menyebutkan bahwa pelakunya yaitu “BUDAK PEREMPUAN YANG MASIH ANAK-ANAK”. Ini yang menjadikan pertimbangan dalam penilaian matannya sehingga wajar jika dinilai sahih.
Hadits ini saya istinbathkan berdasarkan sisi pelakunya, bahwa  pelakunya adalah gembala sehingga dipastikan laki-laki yang  menunjukkan 2 hal:

1. Mempertegas bahwa yang diperbolehkan memainkan musik  hanya perempuan
2.  Haram mendengarkan musik dari pelaku yang haram memainkannya

Hadits ini juga saling menguatkan dengan hadits [17] Sunan Ibnu Majah 1.891 pada artikel sebelumnya. 

Untuk mendefinisikan musik, maka ini sangat luas sekali karena setiap zaman dan tempat selalu berlainan baik dzat, nama dan cara memainkanya. Musik adalah bagian dari bunyi. Untuk itu bunyi yang juga mencakup musik, saya definisikan berdasarkan ushul fiqh yaitu: “Sesuatu (benda) yang bisa bersuara karena ia sendiri atau ada yang membunyikan.”
Bunyi terdiri dari 2 unsur, yaitu alat (dzat)nya dan aktivitas (amalan)nya.
Karena bunyi merupakan amalan dunia, maka hukumnya mubah (boleh). Hukum mubah bisa berubah sunnah hingga wajib jika ada perintah, begitu pula sebaliknya jika ada larangannya akan menjadi makruh hingga haram. Berhubung menyangkut hukum syari’at, maka hanya berlaku untuk yang terkena taklif, sehingga di luar ini hukumnya tetap mubah. Karena taklif hanya khusus manusia, maka pembahasan kita fokuskan pada mulut karena yang bisa mengeluarkan berbagai bunyi. Hal ini untuk membedakan antara berbicara dengan musik.

A.  ALAT

Alat ada 2 yaitu benda bernyawa dan benda mati. Maka hukumnya bisa halal bisa haram berdasarkan dzatnya.
Misal rebana, jika dibuat dari kulit babi atau anjing, maka hukumnya haram.
Contoh: hadits [1] dalam artikel sebelumnya yaitu tentang hukum biduan yang dihukumi sebagai alat. Begitu pun dengan budak yang juga dihukumi sebagai alat, ketika ia melakukan yang haram atas tuntutan tuannya, maka yang menanggung dosanya adalah tuannya.

B.  AMALAN

Dalam amalan, ini ada 2 yaitu perlakuan terhadap alat dan mendengarkannya. Sedang perlakuan terhadap alat ini pun ada 2 yaitu memainkan dan mengadakan peralatannya.

Dalam pengadaan alat seperti membuat, menyimpan, yang meminjamkan, peminjam, membeli, menjual, yang menyewakan, penyewa, maka hukumnya mengikuti pelakunya. Jika yang diperbolehkan, maka hukumnya bisa sunah atau wajib, jika dilarang bisa makruh atau haram.

Dalam memainkan musik, maka ini perlu penjabaran yang lebih detil agar tidak salah pemahamannya. 
Hal ini untuk membedakan antara berbicara, sya’ir dan nyanyian.
Karena mulut adalah salah satu yang bisa dijadikan alat musik, maka definisinya adalah: “Suara yang tidak ada maknanya tetapi berirama.” 
Berkata atau berbicara itu bunyi yang ada arti atau makna. Berbicara bisa monolog atau dialog sedang sya’ir adalah bagian dari berbicara. Nyanyian atau lagu tergolong berbicara tetapi yang dilagukan (nasyid).
Agar mudah dipahami orang awam, maka saya contohkan sebagai berikut:
Lagu Indonesia Raya, ketika dibaca mendatar dikategorikan sya’ir. Jika sya’irnya diganti dengan suara yang tidak bermakna seperti “na... na... na...” atau lainnya tetapi dilagukan, maka ini termasuk musik sebagaimana bersiul.
Tetapi sekarang kan ada kata-kata yang tidak bermakna semisal: “PRIQITIUW” dan lainnya, apakah ini juga termasuk musik? Tidak!!! Yang seperti ini dan yang sejenisnya masuk dalam kategori berbicara dengan bahasa “GAUL” (gaya bahasa) tetapi jika diulang-ulang dan dilagukan, maka tergolong musik.
Lalu apa hukum menyanyikan lagu Indonesia Raya? Hukumnya adalah “MAKRUH“ karena ada unsur musik. Yang haram itu yang mengiringinya dengan musik baik dengan mulut apalagi jelas-jelas dengan alat musik.

Hukum mendengarkan musik sama dengan pengadaan alat musik yaitu mengacu pada pelakunya, karena ada pemain musik yang bukan mukalaf seperti non muslim, maka hukum mendengarnya disetarakan mendengarkan pemain yang tidak diperbolehkan, maka hukumnya sama, haram.
Juga karena ada bunyi yang dikategorikan musik yang terjadi oleh benda mati atau dilakukan oleh pelaku yang tidak berakal, maka mendengarnya dihukumi amalan dunia yaitu mubah seperti tangisan bayi, kicau burung, angin, air dan lainnya. Begitu pun dengan alat yang bukan ditujukan untuk musik seperti klakson, sirine ambulans/ polisi atau yang lain, maka ini diperbolehkan.

Tetapi kalau berupa rekaman maka hukumnya dikembalikan sebagai alat dan hukumnya berdasarkan illat alatnya
Contoh:
Bacaan al Qur’an hukumnya sunnah baik membuat, memainkan atau mendengarnya.
Lagu tanpa musik hukumnya makruh baik membuat, memainkan atau mendengarnya.

KESIMPULAN

1. Hukum berbicara tergantung kontennya (isinya), bisa wajib, sunah, mubah, makruh dan haram
2.  Hukum berbicara bisa berubah ketika dikolaborasikan dengan musik, seringan-ringannya makruh yaitu berbicara yang dilagukan, sedangkan selainnya haram
3. Hukum musik tergantung pelakunya, ketika diperbolehkan pun hanya pada momen yang diizinkan (penjelasan klik di sini)
 
Demikianlah semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin.
تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......
“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”
 
Wallahu a’lam bish shawwab
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Muara Bulian (Jambi), 27 Syawwal 1.445 H

ابى اكبر الختمي
 
email 1: agung_swasana@outlook.co.id.
email 2: agungswasana@gmail.com

13 Desember 2023

 ADAKAH DZIKIR SETELAH SHALAT JUM'AT?

 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏

 

Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Artikel ini saya share untuk melengkapi bahasan sebelumnya yang seutamanya dipahami agar sinkron dengan tema artikel ini (klik  👉 di sini)
Dalam suatu postingan di medsos bulan April 2020 (lupa tanggal) yang berjudul "BACAAN DZIKIR SETELAH SHALAT JUM'AT" oleh seorang ustadz yang kemudian saya komentari begini:

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ini saya kutipkan dari tulisan ustadz:
Tentunya di dalam mengatakan surat ini atau ayat itu sebagai bagian dari dzikir yang disunahkan dibaca setelah selesai shalat, harus berpedoman kepada nash-nash shahihah yang dapat dijadikan hujjah, bukan semata-mata berpegang kepada pendapat ulama, apalagi kebiasaan orang awam tanpa dalil.
Adapun terkait dzikir-dzikir setelah shalat Jum'at dalam hal ini yang kita bahas adalah bacaan Al Qur'an sebagai dzikir selesai shalat Jum'at, maka tim fatwa Islam web telah melakukan studi di kitab-kitab khusus yang berisi dzikir-dzikir dan doa yaitu "Al-Adzkaar" karya Imam Nawawi, "al-Kalim ath-Thayyib" karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, "al-Waabil ash-Shoyyib" dan "Zaad al-Ma'aad" karya Imam Ibnul Qoyyim, "al-Mutajar ar-Raabih" karya ad-Dimyaathi, "Tuhfah adz-Dzaakiriin" karya asy-Syaukani, dan kitab-kitab kontemporer seperti "Muktashor an-Nashiihah" dan "Hishnul Muslim", maka kesimpulan yang mereka dapatkan adalah :

ﻟﻢ ﻧﺠﺪ ﺃﺣﺪﺍً ﻣﻨﻬﻢ ﺃﻭﺭﺩ ﺫﻛﺮﺍً ﺧﺎﺻﺎً ﻣﻘﻴﺪﺍً ﺑﻌﺪ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ، ﻓﺘﺒﻘﻰ ﺩﺍﺧﻠﺔ ﻓﻲ ﻋﻤﻮﻡ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ، ﻓﻴﺸﺮﻉ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﺑﻌﺪﻫﺎ ﻣﺎ ﻳﻘﺎﻝ ﺑﻌﺪ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ

"Kami tidak mendapati satu pun dari kitab-kitab di atas dzikir khusus yang terkait dengan shalat Jum'at, sehingga tetaplah ini masuk ke dalam keumuman shalat lima waktu, sehingga disyariatkan dzikir setelahnya sebagaimana yang dikatakan dzikir setelah shalat lima waktu"
(http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=233020).

Al-'Alamah Shalih al-Fauzan Hafizhahullah juga memberikan fatwa yang senada, kata beliau :

ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﻟﻴﺲ ﻟﻬﺎ ﺃﺫﻛﺎﺭ ﻣﺨﺼﻮﺻﺔ ﺗﻘﺎﻝ ﺑﻌﺪﻫﺎ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﻘﺎﻝ ﺑﻌﺪﻫﺎ ﻣﺎ ﻳﻘﺎﻝ ﺑﻌﺪ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﻣﻦ ﺃﺫﻛﺎﺭ .... ﻭﺇﻥ ﻗﺮﺃ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻹﺧﻼﺹ ﻭﺍﻟﻤﻌﻮﺫﺗﻴﻦ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻣﺮﺓ ﻣﺮﺓ ﻓﺤﺴﻦ، ﺃﻣﺎ ﺗﻜﺮﺍﺭﻫﺎ ﺳﺒﻌﺎً ﻓﻼ ﺃﻋﻠﻢ ﻟﻪ ﺃﺻﻼً....

"Shalat Jum'at tidak ada dzikir khusus yang dibaca setelahnya, hanyalah ia dibaca setelahnya apa yang menjadi bacaan setelah shalat pada umumnya ... Jika ia membaca surat Al Ikhlas dan Mu'awwidzatain setelah shalat Jum'at satu kali satu kali, maka ini bagus, adapun mengulanginya sebanyak tujuh kali, maka aku tidak mengetahui bahwa itu memiliki asal...".
(https://ar.islamway.net/fatwa/9943/هل-هناك-أذكار-مخصوصة-تقال-بعد-صلاة-الجمعة).

Bagaimana tanggapan ustadz akan hal di bawah ini?

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ  {١٠}

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS. Al Jumu’ah [62]: 10)

صحيح مسلم ١٤٦٣: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ عَطَاءِ بْنِ أَبِي الْخُوَارِ أَنَّ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ أَرْسَلَهُ إِلَى السَّائِبِ ابْنِ أُخْتِ نَمِرٍ يَسْأَلُهُ عَنْ شَيْءٍ رَآهُ مِنْهُ مُعَاوِيَةُ فِي الصَّلَاةِ فَقَال
نَعَمْ صَلَّيْتُ مَعَهُ الْجُمُعَةَ فِي الْمَقْصُورَةِ فَلَمَّا سَلَّمَ الْإِمَامُ قُمْتُ فِي مَقَامِي فَصَلَّيْتُ فَلَمَّا دَخَلَ أَرْسَلَ إِلَيَّ فَقَالَ لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
و حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ عَطَاءٍ أَنَّ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ أَرْسَلَهُ إِلَى السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ ابْنِ أُخْتِ نَمِرٍ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِهِ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ فَلَمَّا سَلَّمَ قُمْتُ فِي مَقَامِي وَلَمْ يَذْكُرْ الْإِمَامَ

Shahih Muslim 1.463: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Ibnu Juraij ia berkata: telah mengabarkan kepadaku Umar bin Atha` bin Abul Khuwar bahwa Nafi' bin Jubair mengutusnya kepada Sa`ib putra saudara perempuan Namir untuk menanyakan sesuatu yang pernah dilihat oleh Mu'awiyah dalam shalat, maka Sa`ib berkata:
"Benar aku pernah shalat Jum'at bersama Mu'awiyah di dalam Maqshurah (suatu ruangan yang dibangun di dalam masjid). Setelah imam salam aku berdiri di tempatku kemudian aku menunaikan shalat sunnah. Ketika Mu'awiyah masuk, ia mengutus seseorang kepadaku dan utusan itu mengatakan, 'Jangan kamu ulangi perbuatanmu tadi. Jika kamu telah selesai mengerjakan shalat Jum'at, janganlah kamu sambung dengan shalat sunnah sebelum kamu berbincang-bincang atau sebelum kamu keluar dari masjid. Karena Rasulullah ﷺ memerintahkan hal itu kepada kita yaitu 'Janganlah suatu shalat disambung dengan shalat lain, kecuali setelah kita mengucapkan kata-kata atau keluar dari Masjid.'"
Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Muhammad ia berkata: Ibnu Juraij berkata: telah mengabarkan kepadaku Umar bin Atha` bahwa Nafi' bin Jubair telah mengutusnya kepada Sa`ib bin Yazid bin Ukhti Namir. Ia pun menyebutkan hadits yang semisalnya, hanya saja ia mengatakan: "Ketika ia salam, saya langsung berdiri di tempatku." Ia tidak menyebutkan kata Imam.

سنن أبي داوود ٩٥٢: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ وَسُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ
رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِي مَقَامِهِ فَدَفَعَهُ وَقَالَ أَتُصَلِّي الْجُمُعَةَ أَرْبَعًا وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُصَلِّي يَوْمَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَيَقُولُ هَكَذَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Sunan Abu Daud 952: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaid dan Sulaiman bin Daud sedangkan maksud haditsnya sama, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Nafi' bahwa

Ibnu Umar melihat seorang laki-laki shalat dua raka'at di tempat (shalat) nya, maka Ibnu Umar mendorongnya sambil berkata: "Apakah kamu hendak shalat Jum'at empat raka'at? Abdullah biasa mengerjakan shalat Jum'at (sunnah ba'da Jum'at) dua raka'at di rumahnya, lalu dia berkata: "Demikianlah yang pernah di lakukan Rasulullah ﷺ."

سنن أبي داوود ٩٥٨: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَسَنِ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ
أَنَّهُ رَأَى ابْنَ عُمَرَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَيَنْمَازُ عَنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي صَلَّى فِيهِ الْجُمُعَةَ قَلِيلًا غَيْرَ كَثِيرٍ قَالَ فَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ قَالَ ثُمَّ يَمْشِي أَنْفَسَ مِنْ ذَلِكَ فَيَرْكَعُ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَمْ رَأَيْتَ ابْنَ عُمَرَ يَصْنَعُ ذَلِكَ قَالَ مِرَارًا
قَالَ أَبُو دَاوُد وَرَوَاهُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ وَلَمْ يُتِمَّهُ

Sunan Abu Daud 958: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al Hasan telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku 'Atha` bahwa
Dia melihat Ibnu Umar mengerjakan shalat setelah (shalat) Jum'at, lalu dia bergeser sedikit dari tempat ia mengerjakan shalat Jum'at." 'Atha` berkata: "Kemudian ia shalat dua raka'at." 'Atha` melanjutkan: "Setelah itu Ibnu Umar berjalan sedikit dari tempat tersebut dan mengerjakan shalat empat raka'at." Tanyaku kepada 'Atha`: "Berapa kalikah anda melihat Ibnu Umar melakukan hal itu?" 'Atha` menjawab: "Sering."
Abu Daud mengatakan: "Di riwayatkan pula oleh Abdul Malik bin Abu Sulaiman, namun tidak selangka hadits di atas."

Kejadian ini sesudah masa Rasulullah , hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa setelah shalat Jum’at itu tidak ada dzikir apapun, jika dzikir itu disyari'atkan setelah shalat Jum’at tentunya matan hadits Muslim akan mengatakan berdzikir bukan disuruh berbicara atau keluar masjid. Begitu pun pada hadits Abu Daud 592, dengan mengatakan shalat Jum’at empat rakaat berarti tidak ada sesuatu di antara shalat fardhu Jum’at dan shalat sunnah ba’da Jum’at. Juga pada hadits Abu Daud 958 hanya menyebutkan “Lalu bergeser sedikit dari tempat ia mengerjakan shalat Jum'at, kemudian ia shalat dua raka'at” dan seterusnya.
 
Kaidah umum dzikir setelah shalat tidak berlaku di sini (menyalahi kaidah), karena ini kekhususan untuk shalat Jum’at, seandainya ada tentu sudah dinukilkan oleh para shahabat juga apa-apa bacaan dzikirnya, selain dari alasan di atas dan hal ini ditegaskan dalam Qur’an sebagaimana ayat di atas.
Justru yang disunnahkan pada hari Jum`at itu amalan sebelum shalat Jum’at seperti datang lebih awal dengan mengerjakan shalat sunnah sebanyak-banyak rakaat yang ia mampu, bershalawat, berdoa, berdzikir, membaca Al Qur’an dan sebagainya.

Tidak satu pun ulama yang membahas hadits-hadits yang saya hadirkan di atas untuk berhujjah, artinya hadits-hadits tersebut dimungkinkan tidak sampai pada ulama mujtahid di kurun waktu mana pun, seandainya sampai bisa jadi terlupa atau tidak terlintas untuk menyertakan dalam menghukumi masalah ini.
Sekiranya memang sudah ada ulama yang membahas hadits-hadits yang saya hadirkan untuk berhukum dengannya, mohon untuk disampaikan di sini karena saya belum menjumpainya. Jika hadits-hadits yang saya hadirkan sudah di-nasakh, mansukh atau telah expired, maka saya akan sangat berterima kasih bila ada yang meluruskan pemahaman saya selama ini. Jika memang tidak ada, saya tetap berpegang teguh dengan nash-nash shahihah sebagaimana hadits-hadits yang saya hadirkan.
Se-alim apa pun ulamanya dan seberapa pun banyaknya mereka bersekutu dalam berpendapat jika menyelesihi hadits, maka wajib gugur. Terima kasih.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Al-hasil tidak ada tanggapan berikutnya oleh ustadznya, maka saya cukupkan sampai di sini.

Demikianlah semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin.
تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......
“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”
 
Wallahu a’lam bish shawwab
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Muara Bulian (Jambi), 29 Jumadhil Awwal 1.445 H

ابى اكبر الختمي
 

28 Oktober 2023

SIRRIY  ATAU JAHRKAH DZIKIR SETELAH SHALAT FARDHU?
 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ‏

 

Puja dan puji kepada Maha Agung pemilik semesta alam, yang menggenggam hidup semua makhluk di tangan-Nya, tiada tuhan patut disembah kecuali Allah سبحانه وتعال. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri teladan kita, manusia pilihan Allah, imam kita, Nabi Muhammad  beserta keluarga, shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Untuk yang kesekian kalinya saya coba untuk meluruskan ikhtilaf hukum fiqh ibadah shalat, kali ini tentang niat, dzikir, doa, bacaan shalat dan amalan yang berupa bacaan apakah dibaca jahr ataukah sirriy ?
Berawal dari postingan Shahih Bukhari 796 sebagai dasar dzikir jahr berjamaah selepas shalat fardhu di suatu medsos berikut

صحيح البخاري ٧٩٦: حدثنا إسحاق بن نصر قال حدثنا عبد الرزاق قال أخبرنا ابن جريج قال أخبرني عمرو أن أبا معبد مولى ابن عباس أخبره أن ابن عباس رضي الله عنهما أخبره
أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم وقال ابن عباس كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته

Shahih Bukhari 796: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Nashir berkata: telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij berkata: telah mengabarkan kepadaku 'Amru bahwa Abu Ma'bad mantan budak Ibnu 'Abbas, mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما mengabarkan kepadanya, bahwa
Mengeraskan suara dalam berdzikir setelah orang selesai menunaikah shalat fardhu terjadi di zaman Nabi . Ibnu 'Abbas mengatakan: "Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari shalat itu karena aku mendengarnya." ... [1]
Juga dalam Shahih Muslim 919; Sunan Abu Daud 851 dan Musnad Ahmad  3.298 

Hadits ini mempunyai mutaba’ah hadits berikut

صحيح البخاري ٧٩٧: حدثنا علي بن عبد الله قال حدثنا سفيان حدثنا عمرو قال أخبرني أبو معبد عن ابن عباس رضي الله عنهما قال
كنت أعرف انقضاء صلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالتكبير
قال علي حدثنا سفيان عن عمرو قال كان أبو معبد أصدق موالي ابن عباس قال علي واسمه نافذ

Shahih Bukhari 797: Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Abdullah berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami 'Amru berkata: telah mengabarkan kepadaku Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما berkata: "Aku mengetahui selesainya shalat Nabi ﷺ dari suara takbir.
'Ali berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru ia berkata: "Abu Ma'bad adalah salah satu budak Ibnu 'Abbas yang paling jujur." 'Ali berkata: "Nama aslinya adalah Nafidz." ... [2] 
Juga dalam Shahih Muslim 917, 918; Sunan Abu Daud 850; Sunan Nasa’i 1.318 dan Musnad Ahmad  1.832

Dan hadits ... [1, 2] ini ada syahidnya sebagai berikut

صحيح مسلم ٩٣٥: و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ قَالَ كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ حِينَ يُسَلِّمُ 

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ 
وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ  
و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ مَوْلًى لَهُمْ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ يُهَلِّلُ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ بِمِثْلِ حَدِيثِ ابْنِ نُمَيْر  وَقَالَ فِي آخِرِهِ ثُمَّ يَقُولُ ابْنُ الزُّبَيْرِ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ 
و حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَبِي عُثْمَانَ حَدَّثَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ يَخْطُبُ عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ أَوْ الصَّلَوَاتِ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ 
و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ أَنَّ أَبَا الزُّبَيْرِ الْمَكِّيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَهُوَ يَقُولُ فِي إِثْرِ الصَّلَاةِ إِذَا سَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِهِمَا وَقَالَ فِي آخِرِهِ وَكَانَ يَذْكُرُ ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Shahih Muslim 935: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Abu Zubair katanya: Seusai shalat setelah salam, Ibn Zubair sering memanjatkan do'a:
LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA 'ALAA KULLI SYAI'IN QADIIR, LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH, LAA-ILAAHA ILALLAAH WALAA NA'BUDU ILLAA IYYAAH, LAHUN NI'MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA'UL HASAN, LAA-ILAAHA ILLALLAAH MUKHLISIHIINA LAHUD DIINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUNA." (Tiada sesembahan yang hak selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya selaga puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tiada sesembahan yang hak selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain kepada-Nya, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, hanya bagi-Nya ketundukkan, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai)."
Rasulullah ﷺ selalu mengeraskan suara dengan kalimat ini setiap selesai shalat."
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Abu Sulaiman dari Hisyam bin 'Urwah dari Abu Zubair mantan budak mereka, bahwa Abdullah bin Zubair biasa bertahlil sehabis shalat dengan seperti hadis Ibnu Numair, dan di akhir beliau berkata: "Kemudian Ibnu Zubair mengatakan: "Rasulullah ﷺ mengeraskan suaranya dengan kalimat ini sehabis shalat."
Dan telah menceritakan kepadaku Ya'kub bin Ibrahim Ad Dauraqi telah menceritakan kepada kami Ibn 'Ulayyah telah menceritakan kepada kami Al Hajjaj bin Abu Usman telah menceritakan kepadaku Abu Zubair katanya: Aku mendengar Abdullah bin Zubair berkhutbah di atas mimbar ini seraya berkata: "Apabila Rasulullah ﷺ selesai salam yaitu sehabis shalat atau beberapa shalat…" lalu ia menyebutkan seperti hadis Hisyam bin 'Urwah.
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Salamah Al Muradi telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb dari Yahya bin Abdullah bin Salim dari Musa bin 'Uqbah, bahwa Abu Az Zubair Al Makki menceritakan bahwa ia mendengar Abdulah bin Zubair mengatakan: "Yaitu seusai shalat setelah mengucapkan salam, seperti hadist keduanya. Dan ia katakan di akhir haditsnya: "Abu Zubair selalu membaca bacaan ini dari Rasulullah" ... [3] ... [1, 2, 3]  👉 ... {1}
Juga dalam Sunan Nasa'i 1.323; Musnad Ahmad 15.523, 15.538; Shahih Ibnu Khuzaimah 739; Shahih Ibnu Hibban 2.008, 2.009, 2.010

Sebelum membahas inti masalahnya, mari cermati kejadian sehari-hari sekitar kita untuk diambil ibrah dalam mendasari hukum hal ini. Mayoritas orang pernah mendengar suara petir, petasan/ mercon; ban sepeda, motor atau mobil yang pecah bahkan ada beberapa yang mendengar letupan senjata api hingga ledakan bom. Apa reaksinya? Juga ketika kita berbicara dengan orang, ada dengan nada dan intonasinya sangat keras, keras, sedang, pelan, sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar. Dan ada orang yang terbuai dengan alunan musik, tetapi jika sedang sakit gigi bagaimana? Lalu bisakah kita mendengar suara orang berbisik dari kejauhan atau mendengar suara televisi yang di-mute atau volumenya dinolkan?
Dalam hal ini kita ambil kesimpulan bahwa sesuatu yang didengar pasti adanya sesuatu yang bersuara/ berbunyi. Hal ini pasti tidak akan disangkal bahkan oleh orang yang jahil sekali pun dan ini berlaku untuk umum juga untuk orang kafir. Jangankan orang kafir bahkan binatang peliharaan akan merespon ketika kita panggil.
Lantas apa hubungannya dengan hukum yang kita bahas?
Na’am ..... antum benar sekali!!!
Inilah kaidah yang mendasari bahwa niat, dzikir, doa, bacaan shalat atau amalan yang berupa bacaan, jika diriwayatkan dengan sifat mendengar pasti dibaca jahr (bersuara). Berbeda ketika kita melihat orang berbisik dari kejauhan atau melihat berita di televisi yang di-mute atau volume dinolkan, maka kita hanya akan tahu maksudnya ketika ada yang memberitahukan baik orang lain atau yang bersangkutan. Begitu pun ketika kita berhadapan dengan orang yang diam saja atau mulutnya tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara sama sekali. Apakah kita bisa menebak apa yang dikatakan, dibaca atau diniatkan orang tersebut? Apalagi kalau orang itu membelakangi kita!!!
Hal ini untuk mendasari kaidah bahwa niat, dzikir, doa, bacaan shalat atau amalan yang berupa bacaan, jika diriwayatkan dengan sifat diajarkan, maka dibaca sirriy  (tidak bersuara / hanya gerakan bibir). Pengecualian jika adanya penjelasan lain dari matan haditsnya atau dari hadits lain.
Karena hukum berlaku untuk semua mukalaf, maka suatu hal yang aneh bin ganjil alias nyleneh jika bacaan jahr diamalkan rutin berjamaah dan tidak seorang shahabat yang meriwayatkan dengan sifat mendengar apalagi dzikirnya berlainan dan banyak. Maka niat, dzikir, doa, bacaan shalat atau amalan yang berupa bacaan yang diamalkan secara sirriy atau dalam hati pasti hanya diketahui secara diajarkan, maknanya jika tidak ada yang mengajarkan berarti tidak ada bacaan yang diamalkan.

Yuk kita bahas hadits di atas!!!
Tegas sekali bahwa dalam matan disebutkan “MENDENGAR” yang artinya tegas bahwa dzikir yang dimaksud dibaca jahr (bersuara). Dan disebutkan bahwa amalan ini dilakukan sejak zaman Rasulullah ﷺ, lalu apakah amalan ini hanya di zaman Rasulullah ﷺ dan tidak setelahnya ataukah tetap disunnahkan hingga akhir zaman?

Hal ini menjadikan tiga opsi yaitu:

1.   Amalan ini hanya pada zaman Rasulullah

2.   Amalan ini terus diamalkan hingga akhir zaman

3.  Amalan ini terus diamalkan hingga akhir zaman hanya pada momen tertentu


Kita uraikan tiga opsi di atas!!!

Syarah one
Ada ulama berpendapat dengan opsi (1) dikarenakan adanya hadits di bawah

مسند أحمد ١١٤٦١: حدثنا عبد الرزاق حدثنا معمر عن إسماعيل بن أمية عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن أبي سعيد الخدري قال
اعتكف رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد فسمعهم يجهروا بالقراءة وهو في قبة له فكشف الستور وكشف وقال ألا كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفعن بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة

Musnad Ahmad 11.461: Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq berkata: telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Isma'il bin Umayyah dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata: 
"ketika Rasulullah ﷺ sedang beri'tikaf di masjid, beliau mendengar orang-orang mengeraskan bacaannya, sementara beliau sedang berada di dalam kubahnya, kemudian beliau membuka tirainya dan bersabda: "Ingatlah, bahwa kalian semuanya sedang bermunajat kepada Rabb kalian, maka sekali-kali janganlah kalian mengganggu yang lain, dan jangan meninggikan suara dalam membaca Al Qur`an, atau mengatakan: "dalam shalat." ... [4]
Juga dalam Musnad Ahmad 18.249; Muwatha' Malik 163; Shahih Ibnu Khuzaimah 1.160.

Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa Rasulullah ﷺ sedang beri'tikaf termasuk para shahabat yang sedang qiyamul lail Ramadhan dengan shalat, qira’ah al Qur’an, dzikir, doa atau lainnya dengan bacaan jahr. Kalau sesama shalat sunnah dilarang saling mengganggu juga bacaan al Qur’an, apalagi shalat fardhu diganggu dengan shalat sunnah atau bacaan al Qur’an terlebih diganggu selain keduanya.
I’tikaf disyariatkan beberapa tahun akhir sebelum Rasulullah wafat, artinya dzikir keras yang didengar Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما dalam hadits ... [1, 2], turun lebih dahulu. Hal ini ditandai bahwa ketika itu Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما masih anak-anak yang belum terbebani syariat wajibnya shalat sehingga dzikir keras di masjid terdengar hingga rumah Rasulullah .
Hadits-hadits ini shahih, artinya tidak mungkin saling bertolak belakang dan tidak mungkin ditarjih. Yang mungkin hanya di-nasakh atau di-mansukh karena diketahui mana yang lebih dahulu turun. LOGIS pendapat ini.

Saya tidak sertakan hadits di bawah dalam argumen opsi 1 karena peristiwa ini ketika safar dengan berkendara kuda atau unta yang tidak ada keterkaitan dengan shalat. 

 صحيح البخاري ٢٧٧٠: حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن عاصم عن أبي عثمان عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه قال  
كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا وكبرنا ارتفعت أصواتنا فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أيها الناس اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنه معكم إنه سميع قريب تبارك اسمه وتعالى جده 

Shahih Bukhari 2.770: Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Yusuf telah bercerita kepada kami Sufyan dari 'Ashim dari Abu 'Utsman dari Abu Musa Al Asy'ariy رضي الله عنه berkata:
Kami pernah bepergian bersama Rasulullah ﷺ dan apabila menaiki bukit kami bertalbiyah dan bertakbir dengan suara yang keras. Maka Nabi ﷺ bersabda: "Wahai sekalian manusia, rendahkanlah diri kalian karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan juga bukan Dzat yang jauh. Dia selalu bersama kalian dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha suci nama-Nya dan Maha Tinggi kebesaran-Nya" ... [5]
Juga dalam Shahih Bukhari 3.883, 5.905, 6.120; Shahih Muslim 4.873; Musnad Ahmad 18.774, 18.940

Syarah two
Dari hadits ... [1, 2], apakah dzikir keras hanya pada masa Rasulullah atau terus berlanjut hingga akhir zaman? Opsi ke 2 ini menjadikan 2 opsi. Opsi 1 sebagaimana  Syarah one, sedang ke 2-nya diamalkan hingga akhir zaman, argumennya?
Ketika Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما masih kecil dan belum mukalaf dan tidak shalat berjamaah di masjid dan berada di rumah pamannya, ketika setiap kali hadits ... [1, 2] terjadi, maka beliau selalu mendengar dzikir keras dimaksud. Ketika beliau shalat di masjid atau setelah beliau baligh, apakah dzikir keras yang dimaksud tidak terdengar lagi? Saya meyakini bahkan memastikan bahwa tidak hanya mendengar, justru beliau sangat antusias mengamalkan dzikir keras tersebut bersama para shahabat lain. Maka beliau meriwayatkan sebagaimana dalam hadits ... [1, 2]. Dan saya lebih menguatkan opsi ke 2 ini dari pada opsi 1, hal ini diperkuat hadits ... [3] yang menunjukkan bahwa amalan ini terus diamalkan sepeninggalan Rasulullah .

Syarah three
Karena lebih menekankan opsi ke 2, maka seutamanya kita amalkan sunnah ini secara istiqamah.
Yup .... antum benar lagi!!!
Demi menggapai pahala maksimal, maka kita lakukan setiap habis shalat fardhu!!!
E ... e ... mengko disik .... !!!
Dalam hal ini memang ada benarnya, tetapi mayoritas justru tidak dilakukan. Lalu shalat fardhu yang mana dan apakah ada shalat fardhu selain lima waktu dan Jum’at? Benar .... yaitu dikarenakan nadzar yang pada umumnya manusia melakukan ini pada shalat tahajud untuk tujuan tertentu. Tetapi apakah ini yang dimaksud? Dipastikan bukan, karena sama sekali tidak ada tuntunan dari para shahabat apalagi Rasulullah dan jika dilakukan pun, bukan hanya ahli bait yang terganggu tetapi juga tetangga sekitar bahkan orang bisa saja mengatai majnun. Jadi adakah pengkhususan shalat fardhu untuk mengamalkan dzikir keras? Berikut penjelasannya.
Perhatikan hadits Bukhari 796 .. [1], hadits ini ada mutaba’ah hadits ... [2] dan syahid hadits ... [3] yang menunjukkan bahwa dzikir atau takbir selesai shalat yang dikumandangkan berjamaah secara keras. Apakah dimaksudkan adalah takbir yang dibaca tiga puluh tiga kali pada hadits ... [8]? Dipastikan bukan, karena dzikir ini diriwayatkan dengan sifat diajarkan dan yang meriwayatkan Abu Hurairah sedang takbir yang keras diriwayatkan Ibnu 'Abbas رضي الله عنهم juga matannya masih ada sambungan sebagai berikut
 
صحيح مسلم ٩٣٩: حدثني عبد الحميد بن بيان الواسطي أخبرنا خالد بن عبد الله عن سهيل عن أبي عبيد المذحجي قال مسلم أبو عبيد مولى سليمان بن عبد الملك عن عطاء بن يزيد الليثي عن أبي هريرة 
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم من سبح الله في دبر كل صلاة ثلاثا وثلاثين وحمد الله ثلاثا وثلاثين وكبر الله ثلاثا وثلاثين فتلك تسعة وتسعون وقال تمام المائة لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير غفرت خطاياه وإن كانت مثل زبد البحر
و حدثنا محمد بن الصباح حدثنا إسمعيل بن زكرياء عن سهيل عن أبي عبيد عن عطاء عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بمثله 

Shahih Muslim 939: Telah menceritakan kepadaku Abdul Hamid bin Bayan Al Wasithi telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Abdullah dari Suhail dari Abu 'Ubaid Al Madzhiji. -Muslim menjelaskan bahwa Abu Ubaid adalah mantan budak Sulaiman bin Abdul Malik- dari 'Atha` bin Yazid Al Laitsi dari Abu Hurairah dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda:
"Barangsiapa bertasbih kepada Allah sehabis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, dan bertahmid kepada Allah tiga puluh tiga kali, dan bertakbir kepada Allah tiga puluh tiga kali, hingga semuanya berjumlah sembilan puluh sembilan, -dan beliau menambahkan- dan kesempurnaan seratus adalah membaca Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul walahul hamdu wahuwa 'alaa kulli syai'in qadiir, maka kesalahan-kesalahannya akan diampuni walau sebanyak buih di lautan."
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabh telah menceritakan kepada kami Ismail bin Zakariya dari Suhail dari Abu 'Ubaid dari Atha` dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda seperti hadits di atas ... [6]
Juga dalam Musnad Ahmad 8.478; Shahih Ibnu Khuzaimah 749; Shahih Ibnu Hibban 2.016

Dzikir dan takbir yang dibaca keras setelah shalat fardhu ini padahal sudah dilakukan secara rutin mayoritas kaum muslim di seluruh dunia hingga sekarang, tetapi mengapa tidak seorang ulama pun yang berpendapat dengan hal ini?
Jadi dzikir dan takbir dimaksud yaitu pada momen Iedain dan hari tasyriq.
Yaitu diamalkan setelah shalat fardhu Maghrib dan Isya’ sehari sebelum Iedul Fitri dan Subuhnya. Begitu pun pada shalat fardhu dimulai Maghrib sehari sebelum Iedul Adha, hari Nahr dan 3 hari tasyriq yang diakhiri setelah shalat Asar, maka disunnahkan berdzikir dengan keras yaitu yang dalam kosa kata bahasa kita disebut “TAKBIR(AN)” sebagaimana dalam Sunan Daruquthni 1.717. Bahkan Ibnu Umar رضي الله عنه juga melakukan pada hadits di bawah 

سنن الدارقطني ١٧٠٠: حدثنا محمد بن القاسم بن زكريا , ثنا أبو كريب , ثنا حاتم بن إسماعيل , عن ابن عجلان , عن نافع , عن ابن عمر , «أنه كان إذا غدا يوم الأضحى ويوم الفطر يجهر بالتكبير حتى يأتي المصلى ثم يكبر حتى يأتي الإمام»

Sunan Daruquthni 1.700: Muhammad bin Al Qasim bin Zakaria menceritakan kepada kami, Abu Kuraib menceritakan kepada kami. Hatim bin Isma'il menceritakan kepada kami, dari Ibnu Ajlan, dari Nafi'. Dari Ibnu Umar,
"Bahwa jika berangkat pada hari Idul Adha dan Idul Fitri dia mengeraskan takbir hingga datang ke mushalla. Kemudian bertakbir hingga imam datang." ... [7]

Apakah takbir(an) ini dilakukan setelah salam shalat fardhu?
Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa setelah salam diam sejenak, membaca dzikir atau doa ini dan itu yang menunjukkan bahwa hal ini adalah prioritas berdasarkan kondisional. Juga menunjukkan bahwa dzikir setelah shalat itu diamalkan secara sirriy dan munfarid (sendiri-sendiri). Jika secara jahr pasti akan berjamaah dan susunannya pun pasti sama. Juga pasti ada shahabat yang hafal dan mustahil lalai meriwayatkan urutannya.
Karena setelah salam shalat fardhu dimungkinkan adanya masbuk sehingga bukan hanya mengganggu bahkan berpotensi membuyarkan shalat si masbuk ketika takbir(an). Dalam Syarah one, hadits Ahmad 11.461 ... [4] ini sharihnya sebagai penyangkalan akan hal ini bukan penyangkalan hadits ... {1}
Apakah setelah salam shalat fardhu pada momen hadits ... {1} ini tetap disunnahkan berdzikir sebagaimana pada shalat fardhu setiap harinya dan apakah dzikir ini dibaca jahr atau sirriy?
Karena tidak satu pun hadits yang mengabarkan tentang adanya perubahan atau berita peniadaan dzikir setelah shalat, begitu juga tidak adanya atsar tentang hal ini sehingga dipastikan dilakukan sebagaimana biasa. Setelah salam bisa langsung takbir(an) ketika Iedul Adha atau hari tasyriqnya pada hari Jum’at yang dilaksanakan shalat Jum’at, karena setelah shalat Jum’at tidak ada dzikir kecuali shalat sunnah ba’diyahnya (artikel: “ADAKAH DZIKIR SETELAH SHALAT JUM’AT” klik di sini). Pada shalat sunnah ba’diyah Jum'at, jika ada musafir diprioritaskan dan yang mukim boleh menyertainya jika tidak ada, maka dilakukan setelah takbir(an) bahkan di rumah itu lebih utama.
Dan apakah dzikir setelah shalat fardhu ini dibaca jahr atau sirriy?
Selaras dengan penjabaran takbir(an), maka juga dipastikan bahwa dzikir setelah shalat fardhu dibaca sirriy, karena jika dibaca jahr, maka akan berjamaah sehingga mengganggu si masbuk, artinya bertentangan juga dengan hadits ... [4]. Jika tidak ada masbuk apakah boleh dibaca jahr?  Seandainya tidak ada masbuk bisa jadi ada musafir, jika tidak ada musafir apakah boleh dijahrkan?
Yang pasti bahwa dzikir keras telah diajarkan pada waktu-waktu tertentu seperti telah dijelaskan di atas juga niat dan talbiyah ketika berhaji, pujian kepada Allah ketika gerhana. Begitu juga dengan doa yang dijahrkan telah diajarkan pada momen tertentu seperti dalam shalat istisqa' (minta hujan), doa pada khutbah Jum’at dan Iedain, doa qunut shubuh dan lainnya.
Secara kaidah ushul bahwa kalau amalan yang bersifat khusus, tertentu atau insidentil saja diriwayatkan, maka mana mungkin amalan yang sifatnya rutin tidak diriwayatkan (diajarkan) bahkan atsar hanya sekedar untuk pengajaran pun tidak ada. Opo memper lan tumon to mas brooo?

Untuk tidak banyak berpolemik yuk kita sisir hadits-hadits amalan berupa bacaan setelah shalat.

Dalam Shahih Muslim 939 ... [6] di atas  menunjukkan bahwa dzikir tasbih, tahmid, takbir hingga akhir hadits bersifat diajarkan pada hadits ... [8], juga karena tidak ada yang meriwayatkan secara mendengar bahkan atsar pun tidak ada, juga diperkuat dari perselisihan jumlah dzikirnya. Shahabat yang aghniya untuk mengetahui dzikir ini bukan dari mendengar tetapi telah sampainya hadits ini pada mereka atau durasi dzikirnya lebih lama darinya. Jika dzikrnya jahr, maka akan ditegur Rasulullah atau shahabat yang fakir langsung protes saat itu hingga tidak perlu mendatangi lagi Rasulullah , ini ditegaskan dalam hadits berikut

 

صحيح مسلم ٩٣٦: حدثنا عاصم بن النضر التيمي حدثنا المعتمر حدثنا عبيد الله قال ح و حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا ليث عن ابن عجلان كلاهما عن سمي عن أبي صالح عن أبي هريرة وهذا حديث قتيبة
أن فقراء المهاجرين أتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا ذهب أهل الدثور بالدرجات العلى والنعيم المقيم فقال وما ذاك قالوا يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ويتصدقون ولا نتصدق ويعتقون ولا نعتق فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أفلا أعلمكم شيئا تدركون به من سبقكم وتسبقون به من بعدكم ولا يكون أحد أفضل منكم إلا من صنع مثل ما صنعتم قالوا بلى يا رسول الله قال تسبحون وتكبرون وتحمدون دبر كل صلاة ثلاثا وثلاثين مرة
قال أبو صالح فرجع فقراء المهاجرين إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا سمع إخواننا أهل الأموال بما فعلنا ففعلوا مثله فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذلك فضل الله يؤته من يشاء وزاد غير قتيبة في هذا الحديث عن الليث عن ابن عجلان قال سمي فحدثت بعض أهلي هذا الحديث فقال وهمت إنما قال تسبح الله ثلاثا وثلاثين وتحمد الله ثلاثا وثلاثين وتكبر الله ثلاثا وثلاثين فرجعت إلى أبي صالح فقلت له ذلك فأخذ بيدي فقال الله أكبر وسبحان الله والحمد لله الله أكبر وسبحان الله والحمد لله حتى تبلغ من جميعهن ثلاثة وثلاثين قال ابن عجلان فحدثت بهذا الحديث رجاء بن حيوة فحدثني بمثله عن أبي صالح عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم و حدثني أمية بن بسطام العيشي حدثنا يزيد بن زريع حدثنا روح عن سهيل عن أبيه عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنهم قالوا يا رسول الله ذهب أهل الدثور بالدرجات العلى والنعيم المقيم بمثل حديث قتيبة عن الليث إلا أنه أدرج في حديث أبي هريرة قول أبي صالح ثم رجع فقراء المهاجرين إلى آخر الحديث وزاد في الحديث يقول سهيل إحدى عشرة إحدى عشرة فجميع ذلك كله ثلاثة وثلاثون

 

Shahih Muslim 936: Telah menceritakan kepada kami Ashim bin Nadhr At Tamimi telah menceritakan kepada kami Al Mu'tamir telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dia berkata: (Dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Laits dari Ibn 'Ajlan, keduanya dari Sumay dari Ibnu Shalih dari Abu Hurairah -dan ini adalah hadits Qutaibah-

Bahwa orang-orang fakir Muhajirin menemui Rasulullah ﷺ sambil berkata: "Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat ketinggian dan kenikmatan yang abadi." Rasulullah ﷺ bertanya: "Maksud kalian?" Mereka menjawab: "Orang-orang kaya shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dan kami tidak bisa melakukannya, mereka bisa membebaskan tawanan dan kami tidak bisa melakukannya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang karenanya kalian bisa menyusul orang-orang yang mendahului kebaikan kalian, dan kalian bisa mendahului kebaikan orang-orang sesudah kalian, dan tak seorang pun lebih utama daripada kalian selain yang berbuat seperti yang kalian lakukan?" Mereka menjawab: "Baiklah wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap habis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali." Abu shalih berkata: "Tidak lama kemudian para fuqara' Muhajirin kembali ke Rasulullah ﷺ dan berkata: "Ternyata teman-teman kami yang banyak harta telah mendengar yang kami kerjakan, lalu mereka mengerjakan seperti itu!" Rasulullah ﷺ bersabda: "Itu adalah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya!"

Dan selain Qutaibah menambahkan dalam hadits ini dari Al Laits dari Ibn 'Ajlan. Sumay mengatakan: "Lalu aku ceritakan hadits ini kepada beberapa keluargaku, maka keluargaku berkata: "Engkau salah, yang benar beliau bersabda: "Engkau bertasbih kepada Allah sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid kepada Allah sebanyak tiga puluh tiga kali, bertakbir kepada Allah sebanyak tiga puluh tiga kali." Aku lalu kembali menemui Abu Shalih dan aku katakan kepadanya, Abu Shalih menarik tanganku dan berkata: "Allahu akbar, subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu akbar, subhanallah, Alhamdulillah, hingga semuanya berjumlah tiga puluh tiga." Kata Ibn 'Ajlan: "Lalu kuceritakan hadits ini kepada Raja' bin Haiwah, ia menceritakan kepadaku hadits seperti di atas dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Rasulullah ﷺ Dan telah menceritakan kepadaku Umayyah bin Bustham Al 'Aisyi, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Rauh dari Suhail dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Rasulullah ﷺ, bahwa para shahabat berkata: "Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong derajat tinggi dan kenikmatan yang tiada habis…" seperti hadits Qutaibah dari Al Laits, hanya ia memudrajkan ucapan Abu Shalih dalam hadits Abu Hurairah. "Kemudian orang faqir Muhajirin kembali, hingga akhir hadits." Dalam hadits itu ia tambahkan, Suhail mengatakan: "Sebelas sebelas, hingga semuanya berjumlah tiga puluh tiga." ... [8]

Juga dalam Shahih Muslim 938; Sunan Tirmidzi 375, 3.334; Sunan Nasa'i 1.332; Sunan Ibnu Majah 917; Musnad Ahmad 26.243; Shahih Ibnu Khuzaimah 747; Shahih Ibnu Hibban 2.019

 

Dari matannya kita ketahui bahwa hadits ... [8] ini lebih dahulu turun dari pada hadits ... [6], sehingga diketahui jumlah dzikirnya seratus yaitu masing-masing tiga puluh tiga kali ditambah Laa ilaaha ..... bukan masing-masing sebelas kali dan ini juga menunjukkan urutannya. Dzikir ini boleh masing-masing dua puluh lima (Sunan Tirmidzi 3.335; Sunan Nasa'i 1.333, 1.334; Musnad Ahmad 20.617, 20.672; Sunan Darimi 1.320) atau masing-masing sepuluh (Shahih Bukhari 5.854l Sunan Tirmidzi 3.332; Sunan Abu Daud 4.404; Sunan Nasa'i 1.331; Sunan Ibnu Majah 916; Musnad Ahmad 6.210, 6.616).

 

صحيح البخاري ٧٩٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ وَرَّادٍ كَاتِبِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ أَمْلَى عَلَيَّ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فِي كِتَابٍ إِلَى مُعَاوِيَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
وَقَالَ شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ بِهَذَا وَعَنْ الْحَكَمِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُخَيْمِرَةَ عَنْ وَرَّادٍ بِهَذَا وَقَالَ الْحَسَنُ الْجَدُّ غِنًى 

Shahih Bukhari 799: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Abdul Malik bin 'Umair dari Warrad penulisnya Al Mughirah bin Syu'bah, berkata: Al Mughirah bin Syu'bah meminta aku untuk menulis (hadits) untuk dikirim kepada Mu'awiyyah
bahwa Nabi ﷺ berdo'a setiap selesai dari shalat fardlu: LAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA 'ALAA KULLI SYAI'IN QADIIR. ALLAHUMMA LAA MAANI'A LIMA A'THAITA WA LAA MU'THIYA LIMA MANA'TA WA LAA YANFA'U DZAL JADDI MINKAL JADDU (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, yang Tunggal dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, dan milik-Nya segala pujian. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menahan dari apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang dapat memberi dari apa yang Engkau tahan. Dan tidak bermanfaat kekayaan orang yang kaya di hadapan-Mu sedikitpun)."
Syu'bah berkata dari 'Abdul Malik bin 'Umair dengan lafadh seperti ini. Dan dari Al Hakam dari Al Qasim bin Mukhaimirah dari Warrad dengan seperti ini juga. Al Hasan berkata: "Al Jaddu artinya adalah kekayaan." ... [9]
Juga dalam Shahih Bukhari 5.855, 6.748; Sunan Darimi 1.315; Shahih Ibnu Khuzaimah 741; Shahih Ibnu Hibban 2.005

Hadits ini pun tidak luput bahwa diriwayatkan secara diajarkan sebagaimana dalam bentuk surat untuk dikirim ke Mu’awiyah رضي الله عنه. Sekiranya dzikir ini dibaca jahr tentunya Mu’awiyah رضي الله عنه telah hafal ketika beliau sering berjamaah dengan Rasulullah . Ini juga menunjukkan urutan dzikir.
 
سنن الترمذي ٣٣٩٦: حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو الرَّقِّيُّ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْمٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ قَالَ فِي دُبُرِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ ثَانٍ رِجْلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ كُتِبَتْ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ وَكَانَ يَوْمَهُ ذَلِكَ كُلَّهُ فِي حِرْزٍ مِنْ كُلِّ مَكْرُوهٍ وَحُرِسَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَلَمْ يَنْبَغِ لِذَنْبٍ أَنْ يُدْرِكَهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ إِلَّا الشِّرْكَ بِاللَّهِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ صَحِيحٌ

Sunan Tirmidzi 3.396: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepada kami Ali bin Ma'bad telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin 'Amr Ar Raqqi dari Zaid bin Abu Unaisah dari Syahr bin Hausyab dari Abdurrahman bin Ghanm dari Abu Dzar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa yang setelah shalat Subuh dengan menyilangkan kedua kakinya ia mengucapkan: LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHU LAA SYARIIKA LAH, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU YUHYII WA YUMIITU WA HUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagiNya, milikNya semua kerajaan dan bagiNya seluruh pujian, Dia Yang menghidupkan, serta mematikan, dan Dia Maha Mampu melakukan segala sesuatu) sepuluh kali, maka tercatat baginya sepuluh kebaikan dan terhapus darinya sepuluh kesalahan serta diangkat baginya sepuluh derajat, dan pada hari itu ia berada dalam perlindungan dari segala yang tidak disukai, serta terjaga dari syetan, dan tidak layak ada dosa yang menjumpainya pada hari itu kecuali syirik kepada Allah."
Abu Isa berkata: hadits ini adalah hadits hasan gharib shahih. ... [10]
Juga pada Sunan Tirmidzi 3.457 disebutkan bahwa dibaca setelah shalat maghrib sebanyak sepuluh kali.

Ini menunjukkan bahwa hadits ... [10] yang ada lafadz “YUHYII WA YUMIITU” dibaca setiap setelah shalat subuh dan maghrib sebanyak sepuluh kali dan bacaan setelahnya seperti akhir hadits ... [9]. Ini juga menunjukkan sunnahnya mulai duduk bersila pada saat membaca LAA ILAAHA ... 

صحيح مسلم ٩٣١: حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ أَبِي عَمَّارٍ اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ 

Shahih Muslim 931: Telah menceritakan kepada kami Dawud bin Rusyaid telah menceritakan kepada kami Al Walid dari Auza'i dari Abu 'Ammar namanya Syaddad bin Abdullah dari Abu Asma` dari Tsauban dia berkata:
"Jika Rasulullah ﷺ selesai shalat, beliau akan meminta ampunan tiga kali dan memanjatkan doa ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM WAMINKAS SALAAM TABAARAKTA DZAL JALAALI WAL IKRAAM (Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha Besar Engkau wahai Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan."
Kata Walid: maka kukatakan kepada Auza'i "Lalu bagaimana bila hendak meminta ampunan?" Jawabnya: 'Engkau ucapkan saja Astaghfirullah, Astaghfirullah." ... [11]

Dari hadits ini sangat gamblang bahwa diriwayatkan secara diajarkan, karena jika diriwayatkan secara mendengar, mengapa Walid bertanya cara istighfar? Tentang bacaan istighfar boleh sebagaimana hadits ini atau yang lain, karena pada hadits ini merupakan ijtihad dari Auza'i رحمه الله sedangkan Rasulullah mengajarkan beberapa bacaan istighfar. Karena dzikir setelah shalat dipastikan tidak berjamaah, maka istighfar boleh memilih mana yang lebih sesuai kebutuhannya atau mengamalkan yang paling banyak/ panjang demi meraih keutamaan dan wajibnya sesuai hadits, ini juga menunjukkan urutan dzikir.
Hadits [12] di bawah mempertegas opsl bacaan istighfar lainnya juga menunjukkan bukan dibaca pertama kali setelah salam. Berikut bacaan istighfar dimaksud 

مسند أحمد ٢٣٣٤٦: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْحَضْرَمِيُّ عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي عِمْرَانَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا جَلَسَ مَجْلِسًا أَوْ صَلَّى تَكَلَّمَ بِكَلِمَاتٍ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ الْكَلِمَاتِ فَقَالَ إِنْ تَكَلَّمَ بِخَيْرٍ كَانَ طَابِعًا عَلَيْهِنَّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنْ تَكَلَّمَ بِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَفَّارَةً سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ 

Musnad Ahmad 23.346: Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah telah menceritakan kepada kami Khalid bin Sulaiman Al-Hadrami dari Khalid bin Abi Imran dari Urwah dari Aisyah
bahwasanya Rasulullah ﷺ. jika duduk dalam sebuah majlis atau shalat, beliau mengucapkan beberapa kalimat. Lalu Aisyah bertanya kepada beliau tentang kalimat tersebut, beliau bersabda: "Jika orang berbicara dengan sebuah kebaikan, maka kalimat tersebut sebagai setempel baginya hingga hari kiamat. Namun, jika ia berbicara dengan selain itu maka kalimat tersebut sebagai penghapus dosanya: SUBHAANAKA WABIHAMDIKA LAA ILAAHA ILLAA ANTA ASTAGHFIRULLOHA WA ATUUBU ILAIH (maha suci Engkau Allah dan dengan memuji-Mu tiada Ilah selain Engkau, saya memohon ampunan kepada Allah dan saya bertaubat kepada-Nya)." ... [12]
 

صحيح البخاري ٥٨٣١: حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ الْعَدَوِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي شَدَّادُ بْنُ أَوْسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الِاسْتِغْفَارِ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
قَالَ وَمَنْ قَالَهَا مِنْ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَمَنْ قَالَهَا مِنْ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

Shahih Bukhari 5.831: Telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar telah menceritakan kepada kami Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Al Husain telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah dia berkata: telah menceritakan kepadaku Busyair bin Ka'b Al 'Adawi dia berkata: telah menceritakan kepadaku Syaddad bin Aus رضي الله عنه dari Nabi ﷺ:
"Sesungguhnya istighfar yang paling baik adalah: kamu mengucapkan: 'ALLAHUMMA ANTA RABBI LAA ILAAHA ILLA ANTA KHALAQTANI WA ANA 'ABDUKA WA ANA 'ALA 'AHDIKA WA WA'DIKA MASTATHA'TU A'UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANA'TU ABUU`U LAKA BIDZANBI WA ABUU`U LAKA BINI'MATIKA 'ALAYYA FAGHFIRLI FA INNAHU LAA YAGHFIRU ADZ DZUNUUBA ILLA ANTA (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui dosaku kepada-Mu dan aku akui nikmat-Mu kepadaku, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain-Mu) '."
Beliau bersabda: 'Jika ia mengucapkan di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk dari penghuni surga. Dan jika ia membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk dari penghuni surga.' ... [13] 

سنن الترمذي ٢٨٢٨: حدثنا قتيبة حدثنا ابن لهيعة عن يزيد بن أبي حبيب عن علي بن رباح عن عقبة بن عامر قال
أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقرأ بالمعوذتين في دبر كل صلاة
قال أبو عيسى هذا حديث حسن غريب 

Sunan Tirmidzi 2.828: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Yazid bin Abu Habib dari Ali bin Rabah dari 'Uqbah bin Amir ia berkata:
"Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadaku agar aku membaca AL MU'AWWIDZATAIN (surat Al Falaq dan An Naas) setiap selesai shalat." ... [14]
Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib. 
Juga diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud 1.302; Sunan Nasa'i 1.319; Musnad Ahmad 16.776, 17.124; Shahih Ibnu Khuzaimah 754; Shahih Ibnu Hibban 2.004 

صحيح البخاري ٥٣٠٧: حدثنا عبد العزيز بن عبد الله الأويسي حدثنا سليمان عن يونس عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عائشة رضي الله عنها قالت
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أوى إلى فراشه نفث في كفيه بقل هو الله أحد وبالمعوذتين جميعا ثم يمسح بهما وجهه وما بلغت يداه من جسده قالت عائشة فلما اشتكى كان يأمرني أن أفعل ذلك به
قال يونس كنت أرى ابن شهاب يصنع ذلك إذا أتى إلى فراشه 

Shahih Bukhari 5.307: Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah Al Uwaisi telah menceritakan kepada kami Sulaiman dari Yunus dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari 'Aisyah رضي الله عنها dia berkata:
"Apabila Rasulullah ﷺ hendak tidur, maka beliau akan meniupkan ke telapak tangannya sambil membaca QUL HUWALLAHU AHAD (QS Al Ikhlas 1-4) dan Mu'awidzatain (Al Falaq dan An Nas), kemudian beliau mengusapkan ke wajahnya dan seluruh tubuhnya. Aisyah berkata: Ketika beliau sakit, beliau menyuruhku melakukan hal itu." Yunus berkata: aku melihat Ibnu Syihab apabila hendak tidur, ia melakukan hal itu juga." ... [15]

Yang dibaca setelah shalat fardhu itu Mu'awidzatain (dua surah perlindungan) yaitu Al Falaq dan An Nas sedangkan Al Ikhlas (surah tauhid) tidak dibaca karena perintah yang dimaksud hanya dua surah sebagaimana ditegaskan dalam hadits ... [15] 

سنن النسائي ١٣٣٠: أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُثْمَانَ الشَّحَّامِ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ
كَانَ أَبِي يَقُولُ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ فَكُنْتُ أَقُولُهُنَّ فَقَالَ أَبِي أَيْ بُنَيَّ عَمَّنْ أَخَذْتَ هَذَا قُلْتُ عَنْكَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُهُنَّ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ 

Sunan Nasa'i 1.330: Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin 'Ali dia berkata: telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Utsman Asy Syahham dari Muslim bin Abu Bakrah dia berkata:
Bapakku ketika selesai shalat mengucapkan (doa): 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran, dan adzab kubur'. Aku juga mengucapkannya, lalu Bapakku berkata: 'Wahai anakku, dari siapa kamu mengambil ini?' Aku menjawab: 'Darimu'. bapakku kemudian berkata: 'Rasulullah ﷺ senantiasa mengucapkannya setiap selesai shalat." ... [16]
Juga dalam Sunan Nasa'i 1.332; Musnad Ahmad 19.514, 19.549; Shahih Ibnu Khuzaimah 746 

سنن النسائي ٥٣٨٤: أَخْبَرَنِي هِلَالُ بْنُ الْعَلَاءِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ وَعَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ الْأَوْدِيِّ قَالَا
كَانَ سَعْدٌ يُعَلِّمُ بَنِيهِ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ كَمَا يُعَلِّمُ الْمُكْتِبُ الْغِلْمَانَ وَيَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَعَوَّذُ بِهِنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ

Sunan Nasa'i 5.384: Telah mengabarkan kepadaku Hilal Ibnul 'Ala ia berkata: telah menceritakan kepada kami Bapakku ia berkata: telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dari Isra'il dari Abdul Malik bin Umair dari Mush'ab bin Sa'd dan 'Amru bin Maimun Al Audi keduanya berkata:
Sa'd pernah mengajarkan kalimat-kalimat tersebut kepada anak-anaknya sebagaimana seorang tuan mengajarkan kepada budak-budaknya, ia berkata: "Rasulullah ﷺ selalu berlindung dengan kalimat-kalimat tersebut setiap selesai shalat: "ALLAHUMMA INNI A'UUDZU BIKA MINAL BUKHLI WA A'UUDZU BIKA MINAL JUBNI WA A'UUDZU BIKA MIN AN URADDA ILAA ARDALIL 'UMURI WA A'UUDZU BIKA MIN FITNATID DUNYA WA ADZAABIL QABRI (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kebakhilan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari kepikunan, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan siksa kubur)." ... [17].

مسند أحمد ٢١١٠٣: حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا المقري حدثنا حيوة قال سمعت عقبة بن مسلم التجيبي يقول حدثني أبو عبد الرحمن الحبلي عن الصنابحي عن معاذ بن جبل
أن النبي صلى الله عليه وسلم أخذ بيده يوما ثم قال يا معاذ إني لأحبك فقال له معاذ بأبي أنت وأمي يا رسول الله وأنا أحبك قال أوصيك يا معاذ لا تدعن في دبر كل صلاة أن تقول
اللهم أعني على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك
قال وأوصى بذلك معاذ الصنابحي وأوصى الصنابحي أبا عبد الرحمن وأوصى أبو عبد الرحمن عقبة بن مسلم 

Musnad Ahmad 21.103: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah telah menceritakan kepadaku ayahku. Telah menceritakan kepada kami Al Muqri telah menceritakan kepada kami Haiwah berkata: Saya mendengar 'Uqbah bin Muslim At Tujibi berkata: Telah menceritakan kepadaku 'Abu 'Abdur Rahman dari Ash Shunabihi dari Mu'adz bin Jabal bahwa Nabi ﷺ meraih tangannya pada suatu hari kemudian bersabda:
"Hai Mu'adz! aku mencintaimu." Mu'adz bin Jabal berkata kepada beliau: Engkau lebih aku muliakan melebihi ayah dan ibuku wahai Rasulullah! Saya juga mencintai tuan. Rasulullah ﷺ bersabda: "Aku berwasiat kepadamu wahai Mu'adz! Jangan kau tinggalkan setiap usai shalat untuk berdoa:
Ya Allah! Tolonglah aku untuk mengingatMu, mensyukuriMu dan beribadah padaMu dengan baik."
Berkata Ash Shunabihi: Mu'adz bin Jabal mewasiatkannya pada Ash Shunabihi. Ash Shunabihi mewasiatkannya kepada Abu 'Abdur Rahman, dan Abu 'Abdur Rahman mewasiatkannya pada 'Uqbah bin Muslim. ... [18]
juga dalam Sunan Abu Daud 1.301; Musnad Ahmad 21.103; Shahih Ibnu Hibban 2.020, 2.021

سنن ابن ماجه ٩١٥: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي عَائِشَةَ عَنْ مَوْلًى لِأُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا 

Sunan Ibnu Majah 915: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata: telah menceritakan kepada kami Syababah berkata: telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Musa bin Abu 'Aisyah dari Mantan budak Ummu Salamah, dari Ummu Salamah berkata: Ketika salam dalam shalat subuh Nabi ﷺ mengucapkan:
"ALLAHUMMA INNI AS`ALUKA 'ILMAN NAAFI'AN WA RIZQAN THAYYIBAN WA 'AMALAN MUTAQABBALAN (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima)." ... [19]
Juga dalam Musnad Ahmad 25.312, 25.477

صحيح ابن حبان ٢٠٢٢: أخبرنا أبو يعلى، قال: حدثنا داود بن رشيد، قال: حدثنا الوليد بن مسلم، عن عبد الرحمن بن حسان الكناني، عن مسلم بن الحارث بن مسلم التميمي، عن أبيه، قال: بعثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في سرية، فلما بلغنا المغار، استحثثت فرسي، فسبقت أصحابي، فتلقاني الحي بالرنين، فقلت: قولوا: لا إله إلا الله تحرزوا، فقالوها، فلامني أصحابي، وقالوا: حرمنا الغنيمة بعد أن ردت بأيدينا، فلما قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم، أخبروه بما صنعت، فدعاني، فحسن لي ما صنعت، وقال: أما إن الله قد كتب لك بكل إنسان منهم كذا وكذا.قال عبد الرحمن: فأنا نسيت الثواب، قال: ثم قال لي: إني سأكتب لك كتابا، وأوصي بك من يكون بعدي من أئمة المسلمين قال: فكتب لي كتابا، وختم عليه، ودفعه إلي وقال:
إذا صليت المغرب، فقل قبل أن تكلم أحدا: اللهم أجرني من النار سبع مرات، فإنك إن مت من ليلتك تلك كتب الله لك جوازا من النار، وإذا صليت الصبح فقل قبل أن تكلم أحدا: اللهم أجرني من النار سبع مرات، فإنك إن مت من يومك ذلك كتب الله لك جوازا من النار
قال: فلما قبض الله رسوله، أتيت أبا بكر بالكتاب، ففضه، فقرأه وأمر لي بعطاء وختم عليه، ثم أتيت به عمر، فقرأه، وأمر لي، وختم عليه، ثم أتيت به عثمان، ففعل مثل ذلك.قال مسلم بن الحارث: توفي الحارث بن مسلم في خلافة عثمان، وترك الكتاب عندنا، فلم يزل عندنا حتى كتب عمر بن عبد العزيز إلى الوالي ببلدنا يأمره بإشخاصي إليه والكتاب، فقدمت عليه، ففضه، وأمر لي، وختم عليه، وقال: أما إني لو شئت أن يأتيك ذلك وأنت في منزلك فعلت، ولكن أحببت أن تحدثني بالحديث على وجهه، قال: فحدثته. 

Shahih Ibnu Hibban 2.022: Abu Ya'la mengabarkan kepada kami, dia berkata: Daud bin Rusyaid menceritakan kepada kami, dia berkata: Al Walid bin Muslim menceritakan kepada kami dari Abdurrahman bin Hassan Al Kinani, dari Muslim bin Al Harits bin Muslim At-Tamimi, dari ayahnya, dia berkata,
“Rasulullah ﷺ mengirim kami dalam sariyyah (detasemen). Setelah kami sampai di target penyerangan, aku menghentak kudaku sehingga aku mendahului teman-temanku. Aku lalu bertemu dengan orang-orang kampung (yang hendak diserang) dengan teriakan keras kepada mereka. Aku lalu berkata, “Ucapkanlah, ilaha illallah', maka kalian akan dijaga (aman)” Mereka pun mengucapkannya. Teman-temanku kemudian mencelaku dan berkata, “Kita tidak jadi mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) yang hampir kita dapatkan." Setelah kami sampai di hadapan Rasulullah ﷺ, mereka memberitahu beliau tentang peristiwa tersebut. Beliau lalu memanggilku dan menganggap baik perbuatanku. Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mencatat (pahala) untukmu, yaitu untuk setiap orangnya ini dan itu" Abdurrahman berkata, “Aku lupa pahalanya.” Dia (ayahnya) melanjutkan perkataannya, “Kemudian beliau bersabda kepadaku, 'Aku akan menulis untukmu sebuah surat yang menjadi wasiatku bagi Imam-Imam kaum muslim yang datang sesudahku'. Beliau pun menulis surat tersebut untukku dan memberinya stempel, lalu menyerahkannya kepadaku, kemudian bersabda,
'Bila selesai shalat Maghrib, bacalah doa ini sebanyak 7 kali sebelum kamu berbicara dengan seseorang, "Allaahumma ajirnii minan-naar (Ya Allah, selamatkanlah aku dari neraka). Apabila kamu telah (selesai) shalat Subuh, bacalah doa ini sebanyak 7 kali sebelum kamu berbicara dengan seseorang, "Allaahumma ajirnii minan-naar". (Ya Allah, selamatkanlah aku dari neraka). Apabila kamu meninggal pada hari itu, Allah akan memberimu pahala bebas dari neraka'.
Setelah Rasulullah   wafat, aku mendatangi Abu Bakar dan menyerahkan surat tersebut kepadanya. Dia lalu membukanya dan membacanya. Setelah itu dia menyuruh memberikanku hadiah, kemudian memberi stempel pada surat tersebut. Aku lalu membawa surat tersebut kepada Umar. Dia pun membacanya, lalu menyuruh memberikan hadiah kepadaku. Kemudian dia memberi stempel pada surat tersebut. Aku lalu menemui Utsman dengan membawa surat tersebut. Dia pun melakukan hal yang sama (seperti yang dilakukan Abu Bakar dan Umar)." Muslim bin Al Harits berkata, “Al Harits bin Muslim wafat pada masa pemerintahan Utsman, dan dia meninggalkan surat tersebut kepada kami. Surat tersebut tetap ada pada kami, sampai Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada gubernur di wilayah kami, yang menyuruhnya memerintahkan kami menghadapnya dengan membawa surat tersebut. Aku pun menghadap kepadanya. Dia membuka surat tersebut, kemudian menyuruh memberikan hadiah untukku. Setelah itu dia memberi stempel pada surat tersebut, lalu berkata, 'Sebenarnya kalau aku mau, hadiah tersebut akan sampai ke rumahmu saat kamu sedang berada di rumahmu. Tapi aku ingin kamu menceritakan kepadaku tentang hadits tersebut sesuai aslinya". Muslim bin Al Harits berkata, “Aku pun menceritakan hadits tersebut kepadanya." ... [20]
(juga diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud 4.417)

Saya sengaja menghadirkan Shahih Ibnu Hibban 2.022 karena matannya lebih lengkap dari Sunan Abu Daud 4.417 selain itu hadits Abu Daud ini didha’ifkan oleh Syaikh Albani padahal perawinya tidak ada yang diperbincangkan. Atas dasar apa hadits Abu Daud ini didha’ifkan saya tidak tahu. Menurut saya secara makna bahwa hadits ini hanya terkhusus bagi para shahabat tertentu. Tetapi dalam hadits Ibnu Hibban ternyata Rasulullah ﷺ juga mengajarkan kepada shahabat Muslim At-Tamimi رضي الله عنه berarti juga sunnah diamalkan selain imam-imam muslim terkemudian. Dan bacaan ini menunjukjan akhir dari dzikir karena diamalkan sebelum berbicara dengan manusia.

Adakah yang meragukan hadits-hadits di atas diriwayatkan secara diajarkan?
Dari beberapa hadits-hadits di atas ada yang menunjukkan urutan sebagai berikut, pada Shahih Muslim 936, setelah bertasbih, bertahmid dan takbir masing-masing tiga puluh tiga kali (33 X) hadits ... [8], lalu bersila (menyilangkan kaki) sambil membaca “LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHU LAA SYARIIKA LAH, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR” pada hadits [9] atau “LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHU LAA SYARIIKA LAH, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU YUHYII WA YUMIITU WA HUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR” sebanyak sepuluh kali (10 X) khusus subuh dan maghrib pada hadits [10]. Dilanjutkan membaca “ALLAHUMMA LAA MAANI'A LIMA A'THAITA WA LAA MU'THIYA LIMA MANA'TA WA LAA YANFA'U DZAL JADDI MINKAL JADDU” yaitu akhir hadits [9]. Kemudian istighfar tiga kali (3 X) silahkan pilih mana yang sesuai kebutuhan pada hadits [11, 12, 13 dan lainnya] berikutnya membaca “ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM WAMINKAS SALAAM TABAARAKTA DZAL JALAALI WAL IKRAAM” pada hadits [11].
Sebagaimana kebiasaan Rasulullah dalam mengamalkan dzikir atau doa yaitu setelah pujian lalu istighfar, kemudian memohon perlindungan kemudian baru bermohon.
Setelahnya membaca Al Falaq dan An Nas (MU'AWWIDZATAIN) pada hadits ... [14] lalu membaca “ALLAHUMMA INNIY A’UUDZUBIKA MINNAL KUFRI WAL FAQRI WA ‘ADZAABIL QABRI” pada hadits ... [16] dan atau ALLAHUMMA INNI A'UUDZU BIKA MINAL BUKHLI WA A'UUDZU BIKA MINAL JUBNI WA A'UUDZU BIKA MIN AN URADDA ILAA ARDALIL 'UMURI WA A'UUDZU BIKA MIN FITNATID DUNYA WA ADZAABIL QABRI” pada hadits ... [17]
Dan ditutup dengan doa  "ALLAHUMMA A’INNIY ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNIY IBADATIK” pada hadits ... [18], selanjutnya membaca "ALLAHUMMA INNI AS`ALUKA 'ILMAN NAAFI'AN WA RIZQAN THAYYIBAN WA 'AMALAN MUTAQABBALAN” khusus untuk subuh pada hadits ... [19] dan diakhiri bacaan. "ALLAAHUMMA AJIRNII MINAN-NAAR” sebanyak tujuh kali (7 X) dibaca khusus untuk subuh dan maghrib pada hadits ... [20].

Untuk ayat kursi ada yang menyertakan dibaca setiap setelah shalat, demikian haditsnya 

مَنْ قَرَأَ آيَةَ الكُرْسِيِّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ الجَنَّةِ الاَّ اَنْ يَمُوْتَ 

“Siapa membaca Ayat Kursi setiap selesai Shalat, tidak ada yang menghalanginya masuk Syurga selain kematian ”.  ( HR. An Nasai ).

Saya coba mencari matan dengan lafadz hadits ini di Sunan Nasa’i dan Abu Daud tetapi tidak ketemu bahkan di kitab hadits lain yang saya punyai pun tidak ketemu. Hal ini untuk mencari urutan sanad juga sekiranya ada syahid dari hadits lain namun hasilnya nihil. Berhubung demikian, maka saya tidak berani untuk menghukuminya. Jika hadits ini ada dan shahih, maka secara hierarki dibaca paling awal setelah salam kemudian baru sebagaimana urutkan di atas. Hanya saja kejanggalannya bahwa harusnya kesempurnaan dzikir pada "LAA ILAAHA ILLALLAAHU ..." bukan 100 (seratus) melainkan 101 (seratus satu). Hal ini juga penegas bahwa turunnya hadits ... [8] lalu [6] adalah asbabul wurud awal dibacanya dzikir setelah shalat fardhu yang sebelumnya tidak pernah ada.

KESIMPULAN

1.  Niat, dzikir, doa dan bacaan shalat yang diriwayatkan secara mendengar dipastikan dibaca jahr

2.  Niat, dzikir, doa dan bacaan shalat yang diriwayatkan secara diajarkan dibaca sirriy (gerakan bibir tanpa suara) pengecualian matannya menjelas lain.

3.  Amalan hati yang yang tidak diajarkan lafadznya, maka tidak ada bacaan yang diamalkan.

4.  Urutan dzikir setelah shalat fardhu lima waktu sebagai berikut

a.  Hadits ... [8]

b.  Hadits ... [9] atau [10] dan akhir hadits [9]

c.   Hadits ... [11 atau 12 atau 13 atau istighfar lainnya]

d.  Hadits ... [14]

e.  Hadits ... [16] dan atau [17]

f.    Hadits ... [18]

g.  Hadits ... [19]

h.  Hadits ... [20]


Demikianlah semoga bermanfaat untuk diri dan semua kaum muslimin. Amin.
تَرَكْتُكُمْ عَلَى البَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِ هَا .......
“Saya tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya ........”
 
Wallahu a’lam bish shawwab
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَالرَّحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kramat Jati (Jakarta Timur), 12 Rabi'ul Akhir 1.445 H
ابى اكبر الختمي